Susahnya Menjaga Pandangan

Waalaikumussalam Wr Wb

Tidak berlebihan jika ada pepatah yang mengatakan dari mata turun ke hati seperti halnya perkataan seorang salaf,”Pandangan adalah panah beracun yang menembus ke hati.” Dari sebuah pandangan bisa mendorong hati berfikir maksiat yang tidak jarang diakhiri oleh perbuatan zina.

Karena itulah Allah swt menggandengkan antara perintah menjaga pandangan dengan menjaga kemaluan, sebagaimana didalam firman-Nya :

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS. An Nuur : 30)

Perintah menjaga pandangan dan kemaluan didalam ayat tersebut ditujukan kepada semua muslim baik dia tinggal di lingkungan islami yang menerapkan aturan-aturan islam atau di lingkungan yang tidak islami yang meninggalkan penerapan aturan-aturan islam didalam tata pergaulan antara lawan jenis.

Dan jika anda berada didalam suatu lingkungan yang tidak islami maka hendaklah anda berusaha untuk meminimalkan pandangan anda kepada perempuan-perempuan yang bukan mahram anda trlebih lagi terhadap mereka yang tidak menutupi auratnya.

Namun apabila memang anda tidak bisa menghindar dari memandang mereka maka hendaklah pandangan itu tidak dibarengi dengan pandangan berikutnya yang sudah bercampur dengan syahwat. Adapun pandangan anda yang pertama maka—insya Allah—masih mendapat pemakluman karena ia termasuk jenis “pandangan spontanitas”.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir bin Abdullah berkata,”Aku bertanya kepada Rasulullah saw tentang pandangan spontanitas” Maka beliau saw memerintahkanku untuk mengalihkan pandaganku.”

Hadits ini memperkuat pendapat ulama yang mengatakan bahwa makna dari huruf “min” didalam surat An Nuur ayat 30 adalah “sebagian” karena memang ada sebagian pandangan yang dibolehkan atau tidak bisa dihindari seperti pandangan pertama (spontanitas) atau pandangan tanpa maksud seperti didalam hadits Jarir diatas.

Senada dengan hadits Jarir juga apa yang diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa Rasulullah saw bersabda,”Wahai Ali janganlah engkau ikuti pandangan (pertama) dengan pandangan (berikutnya). Sesungguhnya pandangan yang pertama adalah untukmu namun tidak pada pandangan yang lainnya.”

Untuk itu hendaklah anda pandai menempatkan diri disetiap tempat ikhtilath (percampuran antara laki-laki dan perempuan) yang pada saat itu anda berada didalamnya. Tempatkanlah diri anda pada sudut atau sisi yang tidak mengarahkan pandangan anda kepada perempuan asing. Anda bisa tempatkan diri anda pada sisi yang mengarahkan pandangan anda kepada tembok, pohon-pohon, papan tulis, atau benda-benda lainnya agar pandangan anda tetap terjaga dan terpelihara.

Menjaga pandangan ditengah-tengah masyarakat yang tidak menerapkan aturan Allah didalam tata pergaulan mereka memang menjadi tantangan tersendiri yang membutuhkan perjuangan dan kesungguhan bagi seorang mukmin multazhim (yang berkomitmen dengan islam).

Allah tidak memerintahkan manusia untuk memejamkan matanya didalam setiap aktivitasnya karena hal itu pasti akan menyulitkan dirinya. Diantara rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang berada pada keadan yang sulit namun dirinya tetap istiqomah melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya adalah bagaikan orang itu melakukan hijrah kepada Allah swt, sebagaimana apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah saw bersabda,”Beribadah pada zaman yang sulit (terjadi fitnah) bagaikan berhijrah kepada-Ku.”

Sebab dari kelebihan atau keutamaan beribadah pada masa seperti itu adalah dikarenakan manusia pada saat itu telah lalai akan kewajiban agamanya, mengabaikan syariat-Nya, disibukkan oleh urusan-urusan rutin duianya kecuali hanya segelintir orang saja yang masih komitmen dengan agamanya dan istiqomah diatas jalannya.

Mewujudkan masyarakat yang sadar syariah dan memegang nilai-nilai akhlak mulia adalah menjadi kewajiban semua orang yang ada didalamnya termasuk meminimalisir kemaksiatan didalam pergaulan ikhtilath. (baca : Ikhtilath dan Hijab Syar’i). Namun dari mereka semua tentunya tanggung jawab yang lebih besar adalah ada pada para penguasa sebagai pembuat kebijakan dan peraturan tata pergaulan masyarakatnya.

Wallahu A’lam

Ustadz Sigit Pranowo

Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :

Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…