Menjima’ isteri yang sedang haidh, boleh?

Pertanyaan:

Ass.pak ustad sy mau tanya bagaimana hukumnya melakukan jima kepada isteri yg sedang haidh.

Apakah dikenakan denda kafarah? Mhn penjelasannya, trims

Wassalam

Abdullah

Jawaban:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Saudara Abdullah dan Netters eramuslim, semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat-Nya dan memuliakan kita semua dengan menjalankan ajaran agama Islam yang mulia ini.

Dalam hidup berumah tangga pastinya kita ingin membangun keluarga yang sakinah, mawaddah warrahmah, singkatnya dapat menggapai kebahagiaan dunia akhirat. Dan masuk di dalam harapan tersebut adalah hubungan intim dan romantis suami isteri. Seorang laki-laki akan dapat menikmati hubungan intim tersebut bersama wanita yang telah halal dinikahinya demikian pula sebaliknya seorang wanita dapat menikmatinya bersama laki-laki yang telah halal menikahinya, dan ini yang akan bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Berbeda bila ini dilakukan oleh yang bukan pasang suami isterinya yang sah menurut Islam, ini akan bernilai maksiat dan termasuk dosa besar.

Di dalam Islam, seorang suami diperbolehkan dan diberikan hak untuk mencumbui isterinya kapan pun dia mau, bahkan saat isterinya sedang dalam keadaan haidh, namun pada saat bercumbu, Islam melarang keras bila sampai terjadi jima’ (senggama) saat isterinya haidh hingga selesai haidh dan membersihkan dirinya dengan mandi wajib.

Kami mengajak saudara Abdullah dan juga Netters eramuslim untuk sama-sama memperhatikan firman Allah SWT berikut:

“ويسألونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النسآء في المحيض ولا تقربوهنّ حتّى يطهرن فإذا تطهّرن فأتوهن من حيث أمركم الله إن الله يحبّ التوّابين ويحب المتطهّرين”.

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah:222)

Seorang sahabat yang bernama Mu’adz bin Jabal juga pernah bertanya kepada Rasulullah SAW : “Apa yang boleh (dinikmati) seorang laki-laki terhadap isterinya yang sedang haidh? Beliau menjawab: “Apa yang di atas kain”. (HR. Abu Daud) Artinya sang suami boleh mencumbu isterinya selagi tidak sampai kapada melakukan jima’

Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda:

“اصنعوا كل شيء إلا النكاح”.

“Perbuatlah segala sesuatu kecuali nikah (Jima’)”. (HR. Muslim)

Jadi barang siapa yang menjima’ isterinya yang sedang haidh maka dia telah melakukan perbuatan maksiat yang telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

 

Trus, apa sanksinya bila menjima’ isterinya?

Seorang Ulama terkemuka, Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Jika seorang Muslim telah meyakini halalnya berjima dengan isterinya yang sedang haidh pada melalui kemaluannya maka dia telah kafir lagi murtad, namun kalau dia melakukaknnya karena tidak yakin halal, atau karena lupa, atau karena dia tidak tahu keharamnnya atau tidak mengetahui sedang dalam keadaan haidh maka dia tidak berdosa dan tidak ada kafarat, jika dia melakukannya dengan sengaja dan mengetahui isterinya dalam keadaan haidh dia bisa memilih kalau itu haram, maka dia telah melakukan dosa besar dengan melakukan perbuatan maksiat tersebut dan dia wajib bertaubat atas perbuatannya tersebut”.

Ada dua pendapat jika seorang suami menjima’ isterinya yang sedang haidh:

Pertama: Wajib membayar kaffarat: “Bersedekah 1 dinar atau ½ dinar, 1 dinar kira-kira 4,25 gram emas. Atau kurang lebih sekitar Rp. 1,15 juta hingga 2,25 juta. Dan Kaffarat ini wajib dibayar jika melakukan jima’ dia mengetahui larangan jima’ saat isterinya haidh, mengerti kalau ada larangan mengauli isteri yang sedang haidh.

Kedua: Jika hal ini dilakukan karena tidak mengerti atau lupa atau sang isteri dipaksa melakukannya atau datang haidh saat berjima’ maka tidak wajib baginya membayar kaffarat.

Namun untuk menjaga kehati-hatian dan untuk menghindari anggapan sepele saat melanggar larangan tersebut, selain segera bertaubat dan beristighfar dan tidak mengulanginya lagi hendaknya membayar kaffarat tersebut atau bersedekah semampunya. Allahu a’lam bishshawab

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Taufik Hamim Effendi, Lc., MA