Membagi Warisan Saudara

Assalamualaikum ustadz

Nama saya subhan. saya mau menanyakan tentang warisan saudara laki-laki.  misal saya mempunyai 2 orang saudara lakii dan 2 orang saudara perempuan. saya anak bungsu.  saudara laki laki saya adalah anak  sulung dan nomor dua.  saudara sulung telah meninggal dunia dengan meninggalkan anak sebagai hak waris. saudara laki-laki yang kedua pernah menikah dan mempunyai anak  perempuan akan tetapi keberadaannya tidak diketahui lagi karena beberapa sebab sekitar 40 tahun lamanya, saudara saya ini tidak pernah menikah lagi kemudian meninggal  dengan meninggalkan harta . saudara saya yang perempuan semua sudah menikah dan punya anak. sebagai  saudara laki-laki dari almarhum kakak saya yang kedua, bagaimana saya harus membagi warisan ini? dan siapa saja yang berhak atas warisan tersebut.

Terima kasih atas jawaban yang diberikan

wassalamualakikum Wr Wb

Walaikumussalam Wr Wb

Dalam permasalahan yang anda utarakan bahwa saudara laki-laki anda telah meninggal dan memiliki seorang anak perempuan yang hilang sejak 40 tahun lalu yang hingga kini tidak diketahui keberadaannya.

Apabila anak perempuannya itu hilang bukan dikarenakan sebab-sebab yang kemungkinan besar menyebabkan kematian, seperti kapal tenggelam, pesawat jatuh atau sejenisnya akan tetapi dikarenakan sebab-sebab yang mengandung kemungkinan ia masih hidup, selamat ataupun sehat maka hendaklah ditunggu hingga 90 tahun sejak kelahirannya. Hal itu dikarenakan pada usia 90 tahun umumnya manusia telah meninggal dunia. Akan tetapi apabila ia hilang dikarenakan sebab yang kemungkinan besar ia masih hidup dan selamat maka ia ditunggu dalam waktu 4 tahun terhitung sejak hari hilangnya, demikian pendapat para ulama Hambali.

Adapun Syeikh Ibn al Utsaimin berpendapat bahwa penentuan waktu penantian diserahkan kepada kebijakan hakim. Dan hal itu berbeda menurut perbedaan orang, keadaan, tempat dan pemerintahan. Jadi hakimlah yang menentukan waktu pencarian dengan memperkirakan ia masih hidup, jika memang ia hidup. Apabila waktu pencarian tersebut habis, maka hakim memutuskan bahwa orang yang dicari dianggap sudah mati. Wallahu A’lam (Panduan Praktis Hukum Waris hal 237)

Adapun terkait dengan harta warisan saudara laki-laki anda yang meninggal pada masa penantian putrinya yang hilang maka terdapat dua keadaan :

1. Apabila saudara laki-laki anda yang meninggal itu tidak memiliki ahli waris selain daripada putrinya yang hilang itu maka harta warisnya tidaklah dibagikan dahulu hingga terdapat kejelasan tentang keadaan putrinya itu atau hingga masa penantian yang telah ditentukan itu berakhir.

2. Apabila saudara laki-laki anda yang meninggal itu memiliki ahli waris selain dari putrinya yang hilang itu maka dalam keadaan ini telah terjadi perbedaan pendapat didalam cara pembagian warisannya namun pendapat kebanyakan ulama, seperti para ulama Syafi’i, Hanafi, Maliki maka bagian dari mereka yang telah diyakini hendaklah diberikan sementara sebagian lainnya ditahan dahulu. Hal itu dilakukan dengan cara pembagian warisan dengan memperkirakan bahwa putrinya yang hilang itu masih hidup dan pembagian dengan memperkirakan bahwa putrinya itu sudah meninggal. Barangsiapa dari ahli waris saudara anda yang telah meninggal mendapatkan warisan berlebih di dua keadaan itu maka berikanlah bagian minimalnya, sedangkan barangsiapa yang mendapatkan bagian yang sama maka berikanlah bagiannya seluruhnya dan barangsiapa yang hanya mewariskan disalah satu keadaan saja (hidup atau mati) dan tidak pada keadaan yang lainnya maka bagiannya tidaklah diberikan sedikit pun. Setelah itu sisanya hendaklah ditahan hingga ada kejelasan perkara dari putrinya yang hilang atau berlalu masa penantiannya itu.

Apabila hingga masa penantiannya habis namun belum ada kejelasan tentang perkara putrinya yang hilang itu maka harta yang dimilikinya itu dibagikan kepada para ahli warisnya yang masih ada tatkala ditetapkan bahwa putrinya sudah meninggal dan tidak diberikan kepada ahli warisnya yang meninggal saat penantian, demikianlah kesepakatan para fuqaha. Hal itu dikarenakan bahwa hukum terhadap kematian orang yang hilang itu datang belakangan daripada meinggalnya mereka dan diantara syarat warisan adalah orang yang menerima warisan harus masih hidup setelah kematian orang yang meninggalkan harta warisan. Dan pada asalnya bahwa orang yang hilang itu hidup pada masa kematian mereka.

Adapun terhadap harta putrinya yang ditahan yang didapat dari warisan ayahnya maka tidaklah lepas dari dua keadaan :

1. Diketahui bahwa putrinya yang hilang itu masih hidup tatkala ayahnya meninggal dunia maka bagian yang ditahan itu diberikan kepada putrinya tatkala ia datang dari masa hilangnya atau diberikan kepada ahli warisnya bersamaan dengan harta miliknya tatkala ditetapkan bahwa putrinya itu sudah meninggal jika dia tidak datang pada akhir masa penantiannya.

2. Diketahui bahwa putrinya yang hilang itu sudah meninggal sebelum ayahnya meninggal maka bagian yang ditahan itu menjadi bagian ahli waris dari ayahnya dan bukan hak para ahli waris dari putrinya yang hilang.

3. Tidak diketahui apakah putrinya yang hilang itu hidup atau sudah meninggal dunia maka dalam hal ini telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang siapa yang berhak :

a. Pendapat pertama mengatakan bahwa bagian yang ditahan itu menjadi milik putrinya yang hilang sebagaimana jika diketahui bahwa putrinya itu masih hidup setelah kematian ayahnya maka hendaklah diberikan kepada ahli waris putrinya—karena pada asalnya putrinya itu hidup dan tidak dihukum dengan meninggal kecuali jika masa penantiannya telah berlalu—ini adalah pendapat yang benar dari madzhab Hambali dan juga beberapa madzhab lainnya.

b. Pendapat kedua mengatakan bahwa bagian yang ditahan itu dikembalikan kepada ahli waris dari ayahnya yang meninggal sehingga tidak ada hak buat ahli waris dari putinya yang hilang. Karena kita tidak mengetahui siapa dari mereka berdua yang lebih dahulu meninggal dan tidak ada pewarisan ketika ada keraguan, demikianlah pendapat madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i. (sumber : at Tahqiqat al Mardhiyah fii al Maahits al Fardhiyah, hal 230 – 232)

Wallahu A’lam