Wasiat Harta Warisan

sigit1Berapa maksimal persentase wasiat yang diperbolehkan dalam hukum islam sebelum harta itu dibagi ke ahli waris? Misalnya bolehkah seseorang itu mewasiatkan seluruh hartanya kepada orang lain tanpa menyisakan sedikit pun harta waris kepada keluarga/kerabatnya?

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Ridho yang dimuliakan Allah swt

Wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa barang, piutang, maupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah orang yang berwasiat tersebut wafat.

Dasar hukum dari wasiat adalah firman Allah swt :

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqoroh : 180)

مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ

Artinya : “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS. An Nisaa : 11)

Sedangkan didalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa yang wafat dalam keadaan berwasiat, maka dia telah mati di jalan Allah dan sunnah Rasulullah, mati dalam keadaan takwa dan syahid, dan mati dalam keadaan diampuni atas dosanya.” (HR. Ibnu Majah)

Adapun prosentase maksimal besarnya wasiat seseorang yang paling utama adalah tidak lebih dari sepertiga hartanya, sebagaimana ijma’ ulama. Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Saad bin Abi Waqash berkata,”Telah datang Nabi saw untuk menengokku, sedangkan aku berada di Mekah—beliau tidak suka mati di tanah yang beliau hijrah—beliau berkata,”Semoga Allah mengasihi anak lelaki Afra.’ Aku berkata,”Wahai Rasulullah apakah aku harus mewasiatkan semua hartaku?’ beliau saw menjawab,’Tidak.’ Aku berkata,’separuhnya.’ Beliau saw menjawab,’Tidak.’ Aku berkata,’Sepertiga?’

Beliau saw menjawab,’ya, sepertiga. Dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya apabila engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan miskin, meminta-minta kepada manusia dengan tangan mereka. Sesungguhnya apa pun nafkah yang telah engkau nafkahkan, maka ia adalah sedekah hingga makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu…” (HR. Bukhori dan Muslim)

Mayoritas ulama berpendapat bahwa sepertiga tersebut dihitung dari total harta yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari harta yang diketahui oleh pemberi wasiat, bukan yang tidak diketahuinya atau yang masih berkembang, sedangkan dia tidak mengetahuinya.

Apakah sepertiga harta yang menjadi pegangan wasiat itu harta pada saat dia mewasiatkan atau harta sesudah dia wafat? Imam Malik, an Nakh’i dan Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sepertiga peninggalan pada saat dilakukan wasiat. Sedangkan Abu hanifah, Ahmad dan pendapat yang lebih shahih dari kedua pendapat Syafi’i menyatakan bahwa sepertiga itu adalah sepertiga pada saat dia wafat. Inilah pendapat Ali dan sebagian tabi’in.

Jika pemberi wasiat mempunyai ahli waris maka ia tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga. Jika dia mewasiatkan lebih dari sepertiga maka wasiat itu tidak dilaksanakan kecuali atas izin dari ahli waris dan pelaksanakannya diperlukan dua syarat berikut :

1. Dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal dunia, sebab sebelum dia meninggal, orang yang memberi izin itu belum mepunyai hak sehingga izinnya tidak menjadi pegangan. Apabila ahli waris memberikan izin pada saat pemberi wasiat masih hidup maka orang yang berwasiat boleh mencabut kembali wasiatnya apabila dia menginginkan. Apabila ahli waris memberikan izin sesudah orang yang berwasiat wafat maka wasiat itu dilaksanakan. Az Zuhri dan Rabi’ah berkata bahwa orang yang sudah wafat itu tidak akan menarik kembali wasiatnya.

2. Mempunyai kemampuan yang sah dan tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian, pada saat memberikan izin. Jika orang yang berwasiat tidak mempunyai ahli waris maka dia pun tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Kalangan pengikut Hanafi, Ishak, Syuraik dan Ahmad dalam satu riwayatnya membolehkan berwasiat lebih dari sepertiga. Sebab, dalam keadaan seperti ini orang yang berwasiat itu tidak meninggalkan orang yang dikhawatirkan kemiskinannya dan juga karena wasiat yang ada didalam ayat tersebut adalah wasiat secara mutlak hingga dibatasi oleh hadits dengan “mempunyai ahli waris.” Dengan demikian, wasiat secara mutlak ini tetap terjadi bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris. (Fiqhus Sunnah juz IV hal 467 – 478)

Wallahu A’lam

Ustadz Sigit Pranowo Lc

Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :

Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…