Rahasia Simbol dalam Bangunan Publik (3)

 Adolf Heuken, SJ, merupakan seorang peneliti Jerman yang sangat intens meneliti manuskrip-manuskrip kuno tentang Batavia. Sejumlah hasil penelitiannya sudah dibukukan. Salah satunya tentang Menteng. Dalam buku “Menteng, ‘Kota Taman’ Pertama di Indonesia” (bersama Grace Pamungkas ST, 2001, hal.72-73), Heuken menyatakan jika Gedung Vrijmetselarij (Freemasonry) di pusat Menteng masih menyimpan misteri hingga saat ini.

Pernah Dikenal Sebagai Rumah Setan

Di masa Batavia, Loji Bintang Timur yang sekarang dikenal sebagai Gedung Bappenas dinamakan Adhucstat. Gedung ini dirancang Ir. N.E. Burkoven Jaspers. Adhucstat memiliki arti sebagai “Kami Masih Berdiri di Sini”. Setelah selesai dibangun pada 1934, gedung ini langsung difungsikan sesuai dengan perencanaan semula, yakni sebagai Loji atau markas persaudaraan Mason Bebas Hindia Belanda.

Sebelumnya, para Mason ini mengunakan Loji De Ster in het Oosten atau Loji Bintang Timur yang berdiri di Vrijmetselaarsweg atau Jalan Freemasonry—nama jalan itu sekarang menjadi Jalan Budi Utomo, sebuah perkumpulan priyayi Jawa-Madura yang dekat hubungannya dengan Tarekat Mason Bebas. Setelah Adhucstat rampung, tokoh-tokoh Mason ini pindah ke gedung yang baru di pusat wilayah Menteng tersebut.

Sebab itu, Adhucstat Logegebouw ini juga dikenal dengan nama Loji Bintang Timur yang baru (The Nieuw De Ster in het Oosten Loge). Ritual pemanggilan arwah sebagai ritual utama para Mason mulai saat itu dilakukan di lantai bawah Adhucstat. Tentunya secara diam-diam. Namun lama-kelamaan hal yang ganjil tersebut akhirnya terendus orang luar dan menyebar dengan cepat bagaikan wabah penyakit. Orang pribumi menyebut Adhucstat sebagai “Rumah Setan”, sebutan yang sama yang dipakai para pribumi untuk loji-loji Mason lainnya di seluruh Hindia Belanda ketika itu.

Pada zaman pendudukan Jepang di Jakarta, aktivitas persaudaraan Mason Hindia Belanda sempat berhenti. Oleh Jepang, nama-nama Belanda untuk kota, gedung, dan sebagainya dihapus dan digantikan dengan nama Indonesia, seperti: Batavia diubah menjadi Jakarta, Buitenzorg jadi Bogor, Cherebon jadi Cirebon, Meester Cornelis jadi Jatinegara, dan Burgemeester Bisschopplein menjadi Taman Suropati. Namun ketika Jepang kalah dan Belanda kembali menancapkan kukunya di Indonesia, aktivitas Freemasonry kembali hidup, bahkan hingga ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949. Ini bisa terjadi karena anggota dan tokoh Vrijmetselaren bukan saja orang Belanda dan Eropa, namun juga tokoh-tokoh Indonesia sendiri.

Namun yang namanya bangkai tetap saja tercium bau busuknya walau ditutup rapat. Ritual Freemasonry yang sering melakukan pemanggilan arwah orang mati terdengar warga Jakarta dan menyebar dengan cepat menjadi desas-desus. Warga Jakarta yang religius merasa terganggu dan mendesak Soekarno agar menyelidiki hal itu.

Akhirnya pada awal Maret 1950, Soekarno memanggil Suhu Agung Freemasonry Indonesia ke Istana Merdeka untuk dimintakan klarifikasi. Grandmaster Mason Indonesia itu tentu membantah semua tuduhan. Namun sepuluh tahun kemudian, pada 27 Februari 1961, Soekarno melarang dan membubarkan Vrijmetselaren-Loge (Loge Agung Indonesia), Moral Re-Armament Movement, dan Ancient Mystical Organization of Rucen-Cruisers (Amorc) secara resmi lewat Lembaran Negara RI Nomor 18/1961. Setahun kemudian, keputusan ini dipertegas dengan Keppres nomor 264/1962 yang melarang organisasi-organisasi tersebut, juga pelarangan terhadap Baha’iyyah. Semua aset berupa gedung dan sebagainya disita negara.

                Di masa Soeharto berkuasa, ‘Rumah Setan’ itu sempat dipakai buat mengadili tokoh-tokoh sipil dan militer yang dituding tersangkut kasus pembunuhan para jenderal tahun 1965. Setelah itu bekas Adhucstat Logegebouw ini oleh Orde Baru (The New Order) difungsikan sebagai kantor Bappenas, sebuah badan pemerintah yang bertugas merencanakan dan menentukan arah pembangunan di negeri ini. Sebuah tugas yang persis sama dengan akar para Mason itu sendiri.

Mata Horus, Tema Illuminaty, dan Bundaran Hotel Indonesia

Di zaman VOC, pintu gerbang Menteng ada di seputaran Gondangdia, dekat Masjid Cut Meutiah sekarang. Namun di zaman Orde Baru, pintu gerbangnya ‘dipindahkan’, bukan lagi di utara tapi di sebelah baratnya, yaitu Bundaran Hotel Indonesia.

Bundaran Hotel Indonesia atau yang biasa disingkat menjadi Bundaran HI, lengkap dengan air mancur dan Tugu Selamat Datang-nya, merupakan salah satu proyek Soekarno yang dibangun pada tahun 1960-an untuk menyambut kedatangan atlet Asian Games yang akan berlaga di Jakarta. Di zaman Gubernur Ali Sadikin, Bundaran HI dijadikan lokasi dilangsungkannya malam muda-mudi pada setiap malam pergantian tahun, di mana sejumlah panggung hiburan rakyat didirikan dan warga Jakarta dan sekitarnya tumpah ruah di sana.

Paska zaman Suharto, bundaran Hotel Indonesia malah kerap dijadikan panggung demonstrasi oleh berbagai elemen massa dan berbagai kepentingan. Selain itu, sejumlah bangunan dan situs bersejarah yang ada di Jakarta juga rusak ketika gelombang unjuk rasa besar-besaran terjadi sepanjang Mei 1998. Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, mencanangkan gerakan rehabilitasi Jakarta agar kembali menjadi kota yang rapi dan besar, seperti ibukota negara lainnya.

Salah satu proyeknya, di tahun 2001, adalah merehabilitasi Bundaran Hotel Indonesia, lengkap dengan air mancur dan patung Tugu Selamat Datangnya, agar kembali menjadi salah satu ikon Jakarta yang cantik selain Monas. Namun anehnya, program rehabilitasi air mancur itu bernuansa Luciferistik “CAHAYA”, yakni, “Membangun Kebanggaan Nasional Melalui Pencahayaan”. Entah kebetulan atau tidak, kontraktor yang ditunjuk pun General Electric (GE). GE merupakan perusahaan yang juga bertanggungjawab atas tata cahaya Patung Liberty di Washington DC dan Chain Bridge di Hongaria. Di Jawa Tengah, GE menangani tata cahaya Candi Prambanan.

Profesor Nick Turse dalam “The Complex” (2009) menulis, “GE adalah salah satu perusahaan Amerika yang dekat dengan industri perang Pentagon. Sejak tahun 1957 hingga 1961, GE bahkan termasuk dalam lima besar kontraktor militer Pentagon di samping General Dynamics, Boeing, Lockheed, dan North American Aviation. Sejak 2006, GE telah meluncur turun ke urutan empatbelas terbesar. Walau demikian, nila laba yang diperoleh GE di tahun itu masih sangat besar, tidak kurang dari $ 2,3 miliar dari Departemen Pertahanan AS, dengan mengerjakan sistem persenjataan untuk Helikopter tempur Hawk UH-60 dan pesawat multiguna F/A-18 Hornet. Keduanya digunakan di Irak.”

Tema “CAHAYA” dalam proyek rehab Bundaran HI, dalam bahasa latin disebut dengan nama “Lucifer”. [bersambung/rz]