Alicia Rana Alya, Temukan Hidayah di Negeri Sakura

jepangIslam adalah jalan hidup. Sebuah pilihan yang tidak akan mudah bagi kebanyakan orang untuk menjalaninya. Satu milyar lebih penduduk Muslim di dunia saat ini, namun tak semua Muslim hidup secara islami. Walaupun Islam & Al-Quran turun di tanah Arab, hidayah Allah SWT tak mengenal negara dan tempat. Dan itu terjadi kepada seorang gadis Arab yang hendak menempuh master di tanah jepang. Sebut saja namanya Alya, seorang gadis cantik keturunan Suriah. Terlalu sempurna garis lekukan wajahnya untuk ukuran orang Asia seperti saya. Ia dibesarkan di Uni Emirat Arab dan keluarganya termasuk dalam golongan menengah ke atas di negaranya.

Saya berkenalan dengan Alya di Jepang, awal musim semi bulan april 2006, saat salju masih turun perlahan di kota itu. Kami sekelas bahasa jepang dan satu laboratorium dengannya. Untuk ukuran saya, ia termasuk anak yang manja dan terbiasa dengan kemewahan. Di awal kedatangan di Jepang, kami banyak menghabiskan waktu bersama untuk membeli perabotan kebutuhan sehari-hari. Saya lebih menyukai toko 100 yen, sedangkan ia tidak berkeberatan membeli di toko lebih dari 5000 yen asalkan bagus dan berkualitas sempurna.

Tujuh bulan kedatangan kami di Jepang, saya memutuskan untuk mengenakan hijab. Hanya karena ingin hidup secara islami dan memutuskan untuk menapaki jalan hidup ini secara perlahan namun pasti. Keputusan saya tentu saja mengundang perhatian anggota laboratorium bahasa tak terkecuali Alya. Ia memandang saya dengan tatapan sangat aneh dan sedikit sinis. Ketika saya ingin salat di lab, gadis yang berbahasa Arab sehari-hari itu memperhatikan saya dengan tatapan penuh tanda tanya. Namun tak banyak komunikasi kami karena kesibukan lab terlalu menyita. Pernah sekali waktu berbincang mengenai Islam dengannya, namun isue negatif tentang kondisi umat Islam yang memprihatinkan, keadaan Muslimah berjilbab yang tidak memperhatikan perilaku, Muslim yang berkata tidak jujur dan suka berlaku kasar menjadi fokus pembicaraannya.

Dalam sebuah pesta yang diadakan oleh lab, seringkali saya menjadi bulan-bulanan karena termasuk seorang yang aneh karena ada dua orang (Alya dan satu orang dari negara lain) yang beragama Islam selain saya, tapi ada yang minum sake (minuman keras khas Jepang) dan Alya tidak berjilbab. Ketika Alya ditanya mengapa tidak minum sake? Ia menjawab dengan ketus, “Because i dont like it! Not because of religion or anything”.

Waktu terus berjalan dan kami pun tak banyak interaksi. Hanya sapaan selamat pagi dan senyuman di saat berpapasan yang menjadi tautan hati kami. Mejanya tepat dibelakang saya, sedangkan meja saya menghadap tembok. Saya hanya berharap semoga Allah Swt melunakkan hati dan kesombongannya untuk mengakui Islam. Kadang hati bergetar karena ia adalah seorang Arab yang mestinya memiliki pemahaman keislaman lebih banyak karena bisa berbahasa arab dan mudah membaca Al-Quran, tetapi Alhamdulillah getaran tersebut tidak membuat saya ragu untuk sealu mengawali aktivitas di lab dengan membaca di dalam hati mushaf kecil Al-Qur`an walaupun hanya setengah halaman.

Satu setengah tahun berjalan sejak perkenalan pertama kami, saat itu akhir musim semi. Disaat bunga sakura hendak menggugurkan bunganya perlahan-lahan. Mendekati ujian tesis enam bulan lagi, terlalu banyak beban saya saat itu. Belajar di negeri orang, membutuhkan banyak toleransi dan perjuangan yang tidak kalah besar dengan di negeri sendiri. Tidur jam 3 pagi dan harus datang jam 8 pagi lab sudah hampir menjadi kebiasaan yang membuat lelah fisik maupun mental. Saya kemudian memutuskan untuk meninggalkan lab tersebut dan pindah ke tempat lain.

Ternyata saya tidak sendirian mengalami tekanan yang cukup berat dari lab. beberapa kali ia sakit dan tidak masuk 1 atau 2 hari. Yang saya pahami, ia pun ternyata sedang mengalami tekanan yang luar biasa dari dalam diri dan tugas tesisnya. Sampai ketika terhitung lima hari ia tidak masuk kampus. Saya bertanya-tanya ada apa dengannya. Batin saya sangat tidak nyaman. Khawatir ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi padanya.

Pukul 7 sore selepas Maghrib, tak tertahan lagi saya segera meluncurkan kendaraan saya menuju rumahnya. Niat hendak berkunjung untuk sekedar menyapa dan bertanya mengapa tidak masuk sekolah beberapa hari ini. Saya bawa Al-Qur`an kecil sebagai hadiah untuk ditaruh dalam box suratnya. Ingin agar ia membacanya perlahan dan merasakan keagungannya.

Pintu rumahnya terbuka setelah saya menekan bel, ternyata ia ada. Ia mempersilakan saya untuk duduk di sofa ruang tamunya. Kakinya bersimpuh di depan saya, ia berkata, besok ia akan pulang ke Abu dhabi. Saya ambil cuti. ”Saya ingin belajar salat…”, ujarnya kepada saya. Cucuran air mata berlinang di pipinya yang putih kemerahan. ”Saya ingin belajar mengaji dan belajar Islam. Mohon ajari saya berwudhu, ajari saya salat…”, pinta Alya.

Batin saya terguncang, bertasbih dan bertakbir. Allaahu Akbar!! Allah Maha Besar. Saya katakan kepadanya, resapilah.., nikmatilah saat-saat berwudhu seperti halnya saat-saat kita salat dan berbicara denganNya. Semoga saja, tetesan air yang mengalir ini menggugurkan dosa-dosa tubuh kita dan keangkuhan kita..

Kami pun larut dalam tangis dan peluk. Seperti halnya hujan rintik di pegunungan kota kami yang pelahan menggugurkan keangkuhan indah sakura yang hanya sesaat.

Minggu lalu, saya meneleponnya.. Ia di Abu dhabi, saya masih di negeri ini. Ia berkata “My hair… My hair.. I want to wear hijab..” kudengar suara Alya di ujung telepon

Semoga Allah SWT menjaga dan menuntunnya dalam kasih sayang menapaki jalan Islam dengan perlahan namun pasti.

———————————————————————————————————–

Kepada para muslim dan muslimah dimana saja berada, tetaplah melakukan yang terbaik sesuai dengan tata cara dan kehendak yang Allah SWT tuangkan dalam Al-Qur`an dan hadis. Bukan atas kehendak kita dan kesenangan terselubung. Karena kita tidak akan pernah tahu di ruang waktu mana Allah Swt menurunkan hidayahNya kepada seseorang dengan dan tanpa kehadiran kita.

Wallahualambisshowab

pengirim: Pelajar Muslimah di Jepang