Makna Ibadah Haji Bagi Muslim Jepang, Bukan Sekedar Melihat Ka’bah

 

jepang2Lelaki Jepang berusia 26 tahun itu biasa dipanggil Kubo-san. Ia tinggal di distrik Saitanama sebuah kawasan pertanian tidak jauh dari ibukota Jepang, Tokyo. Kubo-san adalah segelintir dari muslim Jepang asli yang tahun ini ikut menunaikan ibadah haji.

Kubo-san adalah seorang mualaf. Sebelum mengenal Islam, pengaruh tradisi kehidupan masyarakat Jepang dan filosofi agama Shinto sangat lekat dalam kehidupan Kubo-san. Perkenalan pertama Kubo-san dengan agama Islam dimulai saat ia masih di bangku sekolah.

“Sekolah-sekolah di Jepang memberikan mata pelajaran sejarah. Saya tahu tentang Islam dari pelajaran sejarah di sekolah. Islam mampu mengguncang jiwa saya, meski pada saat itu saya baru tahu sedikit tentang Islam,” kata Kubo.

Minatnya pada Islam makin tinggi setelah ia banyak membaca tentang Islam. Kubo memutuskan masuk Islam setelah ia bertemu dengan seorang ekspatriat muslim. Setelah menjadi seorang muslim, Kubo sering ikut salat berjamaah di sebuah mushola kecil di distrik Saitama. Mushola itu sudah berusia 15 tahun dan didirikan oleh para tenaga kerja asal Bangladesh. Di antara jamaah mushola, Kubo menjadi satu-satunya orang Jepang asli yang muslim.

Perjalanan haji, yang baru pertama kali dilakukannya tahun ini, akan menjadi perjalanan yang tak terlupakan bagi Kubo. “Kita sebagai Muslim, salat lima waktu sehari menghadap ke arah kota Makkah. Rasulullah Saw lahir di kota itu dan memulai penyebaran Islam dari kota itu pula. Oleh sebab itu, bagi kaum Muslimin, pergi ke Makkah memiliki makna yang spesial. Saya merasa terhormat bisa mendapatkan kesempatan ini,” kata Kubo.

Abdullah Taki juga merasakan hal yang sama ketika pertama kali berhaji pada tahun 2007, setahun setelah ia mengucapkan dua kalimat syahadat. “Buat saya, makna berkunjung ke Ka’bah bukan untuk melihat bangunannya tapi kunjungan ke rumah Allah, untuk bertemu Allah,” ujarnya.

“Pertama kali pesawat saya mendarat di Arab Saudi, kami lebih dulu ke Madinah sebelum ke Makkah. Saya masih dalam pesawat dan tidak bisa melihat situasi kota Madinah. Tapi ketika kru pesawat mengumumkan kami sudah sampai di tanah suci, tanpa sadar air mata saya menetes. Saya sangat tersentuh dan merasakan kebahagiaan yang sulit dijelaskan,” tutur Abdullah Taki.

Ia pertama kali mengenal Islam dari komunitas Muslim yang ada di Jepang. Setelah menjadi seorang Muslim, Taki bersama-sama dengan Muslim dari Turki, Timur Tengah, Asia Tengah, China, India, Pakistan, Indonesia, Bangladesh, Malaysia dan sedikit muslim asli Jepang, menunaikan salat Jumat di Masjid Cami, Tokyo yang disain bangunannya dibuat menyerupai Masjid Biru di Turki.

Diantara jamaah haji asal Jepang, ada seorang Muslim Jepang bernama Saito yang juga baru pertama kali menunaikan haji. “Saya berusaha memulai ibadah haji dengan melakukan persiapan hati. Saya berusaha menyiapkan mental untuk melaksanakan ibadah haji dengan membaca buku-buku tentang haji, hampir setiap hari di rumah. Saya ingin menyerap sebanyak mungkin pengetahuan tentang Haji sebelum berangkat,” kata Saito.

“Bisa jadi ini akan menjadi ibadah haji saya yang terakhir … oleh sebab itu ketika saya tiba di tanah suci, saya ingin betul-betul merasakan kehidupan Rasulullah Saw dan para sahabatnya di masa lalu,” sambungnya.

Perjalanan Haji di Jepang

Lima tahun yang lalu, berangkat haji satu hal yang bisa dikatakan muskil dilakukan oleh komunitas Muslim di Jepang. Tapi setelah itu, muslim Jepang bisa mengurus perjalanan haji dengan mudah. Salah satu yang berperan besar dalam pemberangkatan haji dari Negeri Matahari Terbit ini adalah Reda Kenawy, seorang pengusaha biro perjalanan asal Mesir yang pindah ke Jepang ketika masih berusia 20-an tahun.

Lewat pengalamannya bekerja di sebuah biro perjalanan, Kenawy memutuskan untuk membuka biro perjalanan khusus haji bagi komunitas Muslim di Jepang. “Semua staff saya menganggap saya gila ketika saya mengungkapkan keinginan untuk membuka layanan perjalanan haji,” ujar Kenawy.

“Dari aspek bisnis, harus ada permintaan pasar yang cukup untuk menutup biaya perjalanan. Dan itu tidak akan tercapai jika tidak ada muslim di Jepang yang mau pergi haji,” imbuhnya.

“Tapi saya katakan pada staff saya, harus ada orang yang memulai, yang mengambil langkah pertama. Meski ternyata mengurus perjalanan haji bukan hal yang mudah, terutama saat berhubungan dengan otoritas Saudi. Mereka bilang, kami belum pernah mendengar tentang muslim di Jepang dan belum pernah ada perjalanan haji yang dikordinir dari Jepang,” papar Kenawy menceritakan pengamalan pertamanya mengurus jamaah haji.

“Tapi saya bilang pada mereka, di Jepang juga ada komunitas Muslim. Saya berkewarganegaraan Jepang, mewakili negara Jepang dan saya mau membawa rombongan haji dari Jepang. Pihak Saudi tidak percaya. Mereka mengira paspor saya palsu, apalagi wajah saya wajah Mesir,” sambung Kenawy.

Tapi ia tidak putus asa dan akhirnya bisa mendapatkan ijin untuk mengkordinir perjalanan haji dari Jepang. Sekarang, biro perjalanan Kenawy adalah satu dari dua biro perjalanan haji di Jepang yang mendapatkan ijin dari pemerintah Saudi. Dari tahun ke tahun, muslim Jepang yang memakai jasa perusahaan Kenawy terus bertambah.

‘Sekarang, dari rombongan jamaah haji, 90 persennya masih orang asing dan cuma 10 persen yang asli orang Jepang. Mimpi saya, suatu saat nanti kondisinya berbalik, 90 persen jamaah haji adalah muslim dari kalangan orang asli Jepang,” harapnya.

Tahun ini, biro perjalanan haji Kenawy memberangkatkan 120 jamaah haji. Dari jumlah jamaah itu, tujuh diantaranya adalah orang Jepang muslim yang baru pertamakali menunaikan ibadah haji. (ln/aljz)