Jangan Tinggalkan Sebutir Nasi-pun Di Piringmu!

Bismillahirrahmanirrahim..

“Nadya,, ayo makan donk..”, bujuk mami yang sedari tadi tak henti-hentinya menyodorkan sesendok nasi plus lauk kepada Nadya, keponakanku.

Peristiwa ini mengingatkanku ketika aku kecil dulu. Tak jauh berbeda dengan keponakanku kini, aku pun waktu kecil sulit sekali jika disuruh makan. Bahkan tak jarang aku menyisakan makanan di piringku. Walhasil, sisa makananku akan dihabiskan oleh mami. Mungkin mami berpikir; ”Alhamdulillah , anakku mau makan.. Biarlah sisa makananya aku yang habiskan..”

Tak sedikit orangtua yang mengalami hal ini; anak yang sulit makan bahkan menyisakan makanan. Lantas apa yang harus diperbuat para orangtua terutama para ibu untuk mengatasi masalah ini?

Aku akan sedikit berbagi bagaimana aku yang sewaktu kecil suka menyisakan makanan hingga akhirnya membiasakan diri untuk tidak menyisakan sedikit makanan pun bahkan sebutir nasi-pun.

Mari kita cam-kan ungkapan berikut ini: Seseorang akan melakukan suatu hal dengan sepenuh hati jika ia tahu tujuan dari apa yang ia lakukan. Begitupun dengan anak kecil. Seorang anak kecil akan melakukan sesuatu dengan sepenuh hati jika ia mengerti betul apa yang dia lakukan, dia tahu kenapa ia harus melakukan hal itu, termasuk menghabiskan makanan hingga tak sebutir nasi-pun tersisa di piring.

Pada mulanya memang aku sulit jika disuruh makan, namun lambat laun aku belajar untuk menghabiskan makanan yang telah tresedia di piring. Tentu hal ini bukan langsung terjadi begitu saja, melainkan denga rangkaian proses yang cukup panjang. Yuk simak rangkaian proses itu..

Mami sering membujukku untuk makan bahkan aku sering diceritakan bagaimana dulu sewaktu mami kecil, begitu susah untuk dapat makan sepiring nasi. Harus menumbuk padi sendiri sebelum berangkat ke sekolah, memasaknya baru kemudian bisa makan. Maklum, sewaktu kecil mami tinggal di pedesaan. Bahkan untuk makan sepiring nasi dengan sebutir telur ceplok pun jarang sekali, lebih sering telur ceplok satu dibagi-bagi dengan saudara yang lain. Mami sering menceritakan hal itu ketika aku benar-benar susah untuk makan. Tak jarang pula beliau menceritakan hal itu menjelang tidur. Dan di akhir ceritanya mami berkata: “Kamu harus bersyukur mau makan tinggal nyuap aja kok susah? Gak perlu numbuk beras dulu, lauk juga udah ada.”

Sewaktu berlibur ke daerah pedesaan yang masih terlihat sawah di kiri kanan jalan, mami pun kembali menceritakan bagaimana susahnya petani menanam padi, mulai dari membajak sawah, menanam bibit, hingga panen tiba dan tak jarang terjadi gagal panen. Namun berapa upah yang didapat oleh para petani? Sangat kecil, mungkin hanya sekadar untuk bisa makan sehari-hari sudah cukup. “Kamu gak perlu nanem padi dulu baru bisa makan kan?”

Pernah waktu itu aku melihat berita di televisi dimana seorang nenek harus memunguti beras yang berjatuhan dari truk pengangkut beras. Disebutkan dalam tayangan itu bahwa si nenek melakukan hal tersebut untuk bisa makan nasi. Sungguh, kejadian itu sangat menyentuh hati kecilku saat itu. Ditambah lagi ketika membaca Koran, aku melihat gambar seorang anak laki-laki yang juga memunguti beras yang berjatuhan dari truk pengangkut beras. Semakin ke sini, semakin banyak aku jumpai berita dari televisi maupun Koran yang memberitakan tentang begitu susahnya orang-orang untuk sekadar makan sesuap nasi. Sedangkan aku disini, dengan mudahnya mendapatkan sepiring nasi beserta lauk, namun sungguh kurang bersyukurnya aku yang sering menyisakan makananku di piring.

Hingga akhirnya, aku bersilaturahim ke rumah tante yang memiliki usaha catering. Aku bermain ke dapur. Pada sore hari kulihat seorang ibu yang sedang memasukkan makanan sisa catering yang tidak habis dimakan ke dalam kantung plastic. Ada tanda tanya besar dalam benakku dan hal itu langsung aku tanyakan pada tante. Tante pun menjawab:”Ibu itu emang udah biasa kayak gitu. Ngambilin makanan sisa catering untuk ngasih makan anak-anaknya yang banyak. Tante juga suka ngasih makan yang utuh ke ibu itu tapi tetep aja dia ngambilin makanan yang sisa..”

Dari sekian rangkaian proses itulah, aku menyadari bahwa betapa kurang bersyukurnya aku jika tidak menhabiskan makananku. Banyak orang-orang apalagi saat ini yang untuk mendapatkan sesuap nasi saja susahnya minta ampun, sementara aku dengan mudahnya mendapatkan itu semua, hanya tinggal menyuap saja. Sungguh kurang bersyukurnya aku jika masih menyisakan sebutir nasi di piringku. Ya, dari situlah aku akhirnya bertekad untuk menghabiskan apapun yang ada dalam piring hingga tak tersisa sebutir nasi-pun.

Saudaraku, sadarkah kita bahwa nasi yang kita makan adalah hasil jerih payah petani?

Akankah kita tetap tak menghabiskan nasi di piring jika kita tahu bahwa banyak orang yang ternyata begitu sulit untuk mendapatkan sesuap nasi?

Ada yang berkata: “kalo udah kenyang banget juga gak bisa dipaksain. Daripada dzalim sama diri sendiri dan malah muntah. Ga pa pa lah gak dihabiskan..”

Saudaraku, yakinlah! Itu hanyalah tipuan setan dalam pikiran kita untuk tidak menghabiskan makanan kita.

Apa yang kita lakukan berdasarkan pikiran kita. Jika pikiran kita mengatakan hal seperti di atas maka dapat dipastikan bahwa akan lebih banyak nasi yang kita sisakan. Namun, cobalah ubah pikiran kita: sebanyak apapun yang ada di piring saya karena saya yang mengambilnya, maka harus saya habiskan. Insya ALLAH walaupun sudah terasa kenyang, kita masih sanggup untuk menghabiskannya. Tapi ingat juga bahwa dalam makan pun tak boleh berlebihan. Maksudnya disini adalah jangan mengambil porsi yang besar jika memang kita tak sanggup untuk menghabiskannya.

Atau kalau memang makanan itu bukan kita yang mengambilnya sendiri, dan porsinya terlalu besar untuk kita, maka pikirkanlah cara agar nasi tidak terbuang, misalnya makan berdua dengan teman, dll. Intinya: jangan pernah tinggalkan sebutir nasi-pun dalam piringmu!

perempuanlangitbiru.multiply.com/