Nir Rosen, seorang wartawan lepas yang tulisannya kerap muncul di surat kabar The New Yorker, The New York Times Magazine dan majalah Time mengungkapkan, konflik yang terjadi di Irak lebih mengerikan dibandingkan dengan apa yang diberitakan di media massa. Menurut penulis yang menguasai bahasa Arab dan masih memiliki darah Iran dari ayahnya ini, konflik di Irak berpotensi mengancam situasi di seluruh Timur Tengah.
Rosen berkunjung ke Irak pada April 2003, tidak berapa lama setelah Baghdad jatuh ke tangan pasukan koalisi pimpinan AS. menurut pengakuannya, wajah Timur Tengah-nya, sangat membantu kerjanya ketika berada di negeri 1001 Malam itu. Ia dengan mudah masuk ke masjid-masjid dan ruang-ruang pertemuan kelompok etnis di Irak dan bisa mendapatkan akses dalam pertemuan-pertemuan rahasia para pejuang Irak, maupun kerumah-rumah warga Irak. Pengalamannya selama di Irak dan peristiwa-peristiwa mengerikan yang ia saksikan pascakejatuhan Saddam Hussein, ia tuangkan dalam buku berjudul In the Belly of the Green Bird.
Pada situs al-Jazeera Rosen menceritakan sebagian pengalamannya dan analisa-analisanya tentang kondisi terkini di Irak yang makin memburuk akibat pertikaian sektarian. Berikut petikan wawancaranya;
Apa yang Anda maksud dengan Green Bird dalam judul buku anda?
Ketika saya berada di Falujah dan beberapa tempat di Irak yang menjadi tempat pertahanan para pejuang Irak, Anda akan sering mendengar ungkapan-ungkapan seperti ini di masjid-masjid, yang kadang menjadi propaganda para pejuang bahwa seorang syuhada akan masuk surga.
Anda juga akan sering melihat atau mendengar pernyataan bahwa para syuhada tewas dengan senyum di wajahnya, tubuhnya mengeluarkan bau yang harum dan mereka pergi ke surga dibawa dalam perut burung berwarna hijau.
Bagaimana anda mendapatkan akses masuk ke kelompok pejuang Sunni atau Syiah, satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh reporter Amerika lainnya?
Saya punya senyum yang manis (sambil tertawa). Saya memang mendapatkan lebih banyak akses dibandingkan dengan kebanyakan orang lainnya. Salah satunya karena saya orang Timur Tengah. Ayah saya adalah orang Iran. Wajah saya mirip dengan kebanyakan orang di sana, dan Saya pikir ini merupakan keberuntungan saya yang penting karena menyebabkan Saya bisa lebih mudah mendatangi tempat-tempat di Irak. Orang tidak akan memperhatikan anda.
Saya pikir, yang utama adalah mendapatkan teman-teman yang tepat, dari kalangan Sunni maupun dari kalangan Syiah yang bisa mengenalkan saya pada orang-orang yang tepat. Anda harus kenal seseorang yang tepat dari kalangan suku bangsa, lingkungan dan sekte. Begitu seterusnya, yang akan menentukan apakah Anda bisa survive.
Menurut Anda, apakah kematian Az Zarqawi berdampak pada gerakan pejuang Irak?
Saya pikir dampaknya tidak terlalu signifikan. Saya tidak berpikir bahwa Ia adalah orang yang sangat penting. Jikapun iya, Ia hanya semacam tokoh iklan. Dia datang ke Irak, membunuh orang-orang yang dianggap kafir dan orang Syiah, kemudian menjadi syuhada dan masuk surga. Untuk hal ini, dia berhasil.
Orang Amerika menciptakan tokoh Zarqawi, membuat semacam mitos Zarqawi. Sejak awal sekali, mereka (Amerika) menolak untuk menerima kenyataan bahwa rakyat Irak telah membebaskan atau mendukung kelompok-kelompok pejuang yang sudah populer, untuk itu mereka harus membebankan kesalahan apapun yang terjadi pada pasukan asing demi publik Amerika. Maka dibuatlah kondisi seperti aksi bunuh diri, yang kelihatannya dilakukan oleh kelompok Zarqawi. Dan Saya hanya berpikir bahwa itu hanya untuk membangun sebuah mitos di dunia Arab.
Usamah bin Ladin baru-baru ini yang mengatakan akan melakukan balas dendam pada warga Syiah jika mereka terus menyerang warga Sunni. Menurut Anda, Ancaman ini serius?
Saya pikir Usamah bin Ladin juga sudah tidak jadi masalah lagi. Karena setiap hari pasti ada saja warga Syiah yang terbunuh. Setiap hari, pada akhir tahun 2003, mereka dibunuh di jalan-jalan oleh kelompok milisi, tentu saja oleh Zarqawi. Tapi saya pikir, bukan Usamah yang memerintahkannya. Dia sedang bersembunyi di sebuah gua di suatu tempat di wilayah Pakistan. Ia berusaha agar pernyataannya itu terdengar penting, tapi Ia bukan lagi pemimpin dari siapapun. Jadi semuanya ini agak aneh.
Saya tidak melihat seorangpun di Irak yang menganggap serius pernyataan Usamah bin Ladin. Tentu saja benar bahwa warga Syiah merasa dendam karena mereka dianggap sebagai kelompok yang diuntungkan atas penjajahan ini. Dan dalam beberapa hal, warga Syiah kini banyak yang mendapat kekuasaan, mereka memegang kendali di Irak sehingga kondisinya menjadi terbalik.
Dalam artikel yang Anda tulis belum lama ini, Anda menyatakan bahwa penjajahan (AS) merupakan kejahatan dalam arti luas terhadap warga Irak dan semuanya terjadi tanpa sepengetahuan rakyat Amerika dan media massa. Apa maksud kalimat Anda ini?
Well, Abu Ghraib, Haditha adalah peristiwa yang mendapatkan perhatian. Ini hanya dua insiden dan mereka membuatnya seperti sebuah pengecualian. Padahal, penjajahan itu sendiri adalah kejahatan rutin sehari-hari. Insiden Abu Ghraib dan Haditha dianggap masalah kecil, Anda dipaksa untuk menerima apa yang orang Amerika katakan pada Anda. Padahal, senjata-senjata orang-orang Amerika itu setiap hari diarahkan pada Anda, konvoi pasukan Amerika menembaki anda, tank-tank tentara AS menghalangi jalan-jalan, orang-orang Amerika itu mengepung kota Anda, helikopter-helikopter mereka terbang di atas rumah Anda dan mereka menyerbu dan menggeledah rumah Anda.
Banyak tindakan dan banyak warga Irak tak berdosa yang terbunuh atau ditangkap atau ditakut-takuti dan diperlakukan sewenang-wenang. Mungkin ada ratusan ribu orang yang mengalami trauma akibat semuanya ini, terutama anak-anak.
Saya merasa ‘melekat’ selama dua minggu keberadaan Saya di Irak. Bagi saya, itu adalah pengalaman yang paling traumatis yang pernah saya alami di Irak. Wajar, ketika saya berada di jalan dan saya melihat seseorang mendorong orang yang sudah tua atau menggertak seorang anak, saya ingin mencegahnya. Tapi di sini, saya bersama para tentara dan mereka melakukan hal yang sama terhadap rakyat Irak. Saya hanya bisa berdiri dan menonton saja dan tidak melibatkan diri. Orang-orang Irak itu memandangi Saya dan berpikir bahwa Saya orang Irak yang bekerjasama dengan tentara, dan ini membuat perasaan Saya bertambah tidak enak.
Apakah Anda mendukung seruang penarikan mundur pasukan asing di Irak?
Sampai tahun 2005 saya mendukung penarikan mundur. Dalam artikel Saya, Saya mengatakan bahwa penarikan mundur pasukan AS bisa mencegah terjadinya perang sipil dan akan mendorong Sunni dan Syiah untuk melangkah, bekerja sama dan mengambil tanggung jawab. Dan hal ini akan memungkinkan warga Sunni untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Tapi sekarang, perang sipil nampaknya sudah terbuka dan intensif, Saya berpikir penarikan mundur pasukan AS tidak akan membawa perubahan dan sangat mungkin penarikan mundur pasukan AS akan menyebabkan situasinya menjadi lebih buruk, karena tidak yang berpatroli di perbatasan dan akan memberikan peluang yang lebih luas bagi pasukan asing lain untuk masuk ke wilayah-wilayah Sunni. Hal itu hanya akan memberikan peluang intervensi dari wilayah-wilayah tetangga Irak yang akan memperburuk perang sipil.
Saya pikir pasukan AS seharusnya memang ditarik dari Irak. Amerika seharusnya tidak berada di Irak untuk menjajah dan membunuh rakyat Irak. Tapi penarikan mundur AS tidak akan menambah situasi jadi lebih baik, dalam hal ini, karena perang sipil sudah terlanjur terjadi.
Jadi, menurut Anda, bagaimana prospek masa depan Irak?
Sangat sulit bagi Saya untuk merasa optimis. Sebagai wartawan yang berada di lapangan, Anda melihat pertumpahan darah setiap hari. Anda mendengar orang dibunuh, orang-orang bercerita pada Anda tentang tetangganya yang dibunuh; ini seperti jangka pendek, tidak ada harapan karena Saya pikir segala sesuatunya masih akan bertambah buruk sebelum mereka kemungkinan akan menjadi lebih baik. Proses pembersihan etnis baru permulaan.
Saya pikir, semua wilayah yang tadinya wilayah campuran tidak akan menjadi wilayah campuran lagi. Salah satunya akan dibersihkan seperti yang terjadi di Bosnia. Jadi, masih banyak persoalan yang akan dihadapi. Kebencian antara Sunni dan Syiah di Irak sudah sangat tajam, sehingga sulit rasanya membayangkan sebuah rekonsiliasi. Dan kenyataannya, kelompok Syiah merasa sangat percaya diri karena mereka memegang kendali militer dan kepolisian. Anda akan melihat persoalan sektarianisme menyebar di seluruh wilayah Irak.
Menurut Anda, apakah Irak memang harus dibagi menjadi propinsi-propinsi semi otonomi?
Etnis Kurdi jelas menginginkan kemerdekaan. Mereka tidak merasa sebagai orang Irak, mereka tidak berbahasa Arab, mereka tidak mau berada di bawah Irak. Kalau Anda menanyakan pada mereka tentang bendera Irak, mereka akan bilang itu adalah simbol dari penderitaan mereka. Saya tidak pernah mendengar orang Kurdi menunjukkan keinginannya untuk menjadi bagian dari Irak. Dan pada hakekatnya mereka sudah memiliki kemerdekaan, ini tinggal masalah waktu saja bagi etnis Kurdi.
Selebihnya, menyangkut warga Irak lainnya, agak sedikit rumit karena kalangan Sunni tidak menginginkan adanya propinsi yang diberi hak otonomi. Mereka menginginkan Irak secara keseluruhan, sama halnya dengan kalangan Syiah. Semuanya ingin memiliki Baghdad. Sunni jelas menginginkan minyaknya dan Sunni sangat membaur, bahkan jika Anda ingin membaginya menjadi propinsi otonomi, apa yang Anda ingin lakukan dengan kota Baghdad dan Kirkuk? Hanya akan menimbulkan banjir darah karena pertumpahan darah kebanyak terjadi di wilayah-wilayah di mana warga Sunni bercampur dengan warga Syiah. Saya pikir, tidak ada solusi dalam persoalan ini.
Bagaimana perang di Irak akan berdampak pada Timur Tengah dalam jangka panjang?
Ide satu bangsa mungkin kurang penting karena ada suku bangsa Arab Sunni di Irak yang memiliki kerabat di Suriah, Yordania dan Arab Saudi, dan bagi mereka, perbatasan bukan menjadi isu utama.
Satu kali ada kelompok yang mulai menjadi korban kelompok Syiah, Anda akan melihat kerabat-kerabat mereka dengan jumlah besar akan datang memberikan bantuan. Saya hanya merasa tidak yakin bahwa dunia Arab akan mentoleransi tindakan kalangan Syiah Irak yang agresif. Kita sudah mendengar pernyataan dari sejumlah pemimpin Arab, di Yordania bahkan di Mesir, Presiden Husni Mubarak mengeluarkan peringatan tentang ancaman Syiah. Saya pikir anda tidak akan melihat Irak yang Syiah. Situasinya hanya akan menjadi lebih buruk.
Sejauh mana perang Irak mempengaruhi Anda secara pribadi?
Karir jurnalistik saya dimulai pada saat Saya berusia 26 tahun, ketika Saya diperintahkan ke Irak. Sebelumnya saya tidak pernah menjadi jurnalis. Jadi, apa yang telah Saya pelajari dalam tiga tahun belakangan ini berasal dari Irak. Dalam suatu saat, ini membuat Saya menjadi orang yang pemarah. Ketika Saya kembali ke AS, Saya merasa marah karena orang-orang tidak tahu betapa mengerikannya situasi di Irak.
Apakah media massa harus disalahkan?
Sedikitnya begitu. Mereka terlalu lambat dalam mengekspos kejahatan Amerika dan ini masih terjadi di sana. Maksud Saya, Saya merasa terikat selama dua minggu itu dan Saya menyaksikan banyak peristiwa mengerikan terjadi. Ada jurnalis yang sudah berada di sana selama berbulan-bulan, seharusnya mereka melihat hal-hal yang lebih buruk daripada yang Saya saksikan. Dengan tidak menuliskannya dan justeru menganggung-agungkan pahlawan-pahlawan lokal iru sendiri, merupakan bentuk kolaborasi dengan sebuah kejahatan. (ln/aljz)