Media Asing Soroti Tragedi Kanjuruhan, Kritik Tajam Polisi Indonesia

eramuslim.com – Kericuhan yang terjadi selepas laga sepakbola  antara klub Arema Malang  dan Persebaya Surabaya  di Stadion Kanjuruhan Sabtu lalu menewaskan sedikitnya 127 orang. Peristiwa terburuk kedua dalam sejarah persepakbolaan dunia itu sontak menjadi sorotan berbagai media internasional.

Bentrokan terjadi antara aparat polisi dan suporter di stadion. Polisi  pun menembakkan gas air mata ke arah penonton sehingga memaksa orang-orang untuk keluar stadion berdesak-desakan. Mereka yang tak kuat jatuh terinjak-injak hingga tewas.taboola mid article

Ini bukan kali pertama bentrokan mematikan antara polisi dan warga sipil terjadi.

Dikutip dari laman the New York Times, Selasa (4/10), selama bertahun-tahun, ribuan warga harus menghadapi kekerasan polisi yang dinilai korup, brutal dalam menghadapi kerumunan dan aparat yang kebal hukum.

Bentrokan pada 2019 antara polisi dengan pengunjuk rasa yang tidak menerima kemenangan Presiden Joko Widodo dalam pemilu menewaskan 10 orang dalam unjuk rasa.

Ssetahun kemudian, polisi memukuli ratusan orang di 15 provinsi saat unjuk rasa pengesahan UU baru. Kemudian pada April 2020 di kota Ternate, polisi menembakkan gas air mata hingga melukai para pengunjuk rasa.

Melalui bentrokan-bentrokan ini, terlihat jika polisi sering menggunakan taktik memukul dengan tongkat dan perisai huru hara serta menyemprot atau menembak gas air mata. Taktik yang sama itu juga dipakai polisi saat bentrok dengan Aremania pada Sabtu lalu.

Menurut para ahli, tragedi di Stadion Kanjuruhan itu menunjukkan kelemahan polisi, yaitu aparat yang kurang terlatih mengendalikan massa dan perlakuan militeristik kepada warga sipil.

“Bagi saya, ini benar-benar fungsi dari kegagalan reformasi kepolisian  di Indonesia,” jelas Jacqui Baker, ekonom politik di Universitas Murdoch Perth, Australia.

Menurut Baker meski dalam 2 dasawarsa terakhir pihak berwajib telah melakukan penyelidikan atas tindakan kasar polisi Indonesia, namun upaya-upaya itu tidak membawa perubahan.

Bagi Baker, tidak adanya perubahan terjadi “karena tidak ada kepentingan politik untuk benar-benar mewujudkan kepolisian yang profesional.”