Perjuangan Itu Dinikmati Para Pengecut

Perang melawan teror dikobarkan. Bumi kaum muslimin diaduk-aduk guna mencari senjata pemusnah massal. Dengan harga yang tak murah. Ratusan ribu nyawa akhirnya melayang. Puluhan ribu bocah putus sekolah. Yang lainnya tak sempat merasakan belai lembut sang ayah. Jutaan hidup dalam ketidakpastian. Afghanistan dan Iraq hidup dengan jantung berdebar hingga sekarang.

Tapi dengan patriotisme model ini, seluruh Amerika bersatu. Mereka menghadapi musuh yang sama. Serupa ketika dunia Islam duduk bersama bicara masalah Israel-Palestina. Mirip saat warga Indonesia kebakaran jenggot karena batik, tahu, sampai pulau-pulau terluarnya diklaim negara tetangga.

Saya akhirnya hanya bisa terkaget melihat Zapatista. Sebuah gerakan moral yang mengkampanyekan antiglobalisasi di Meksiko. Gerakan ini bersenjata. Tapi menggunakan media radio dan internet untuk menyuarakan gagasannya. Persis seperti tokoh Kalek dalam novel Rahasia Meede karya E.S. Ito. Keduanya memiliki keunikan. Salah satunya adalah ketika Subcomandante Marcos, juru bicara Zapatista, berkata bahwa yang terburuk bagi Zapatista adalah ketika nanti mereka menang dan duduk dalam kekuasaan dan memperkuat diri dengan membentuk sebuah tentara revolusi.

Mereka berjuang menebar gagasan tanpa meninggalkan semangat untuk bertahan. Tak hanya beretorika, mereka juga memperkuat diri dengan senjata. Tapi puncaknya bukan sebuah penaklukan berdarah. Seperti peristiwa penaklukan Makkah, suara Zapatista akhirnya didengar melalui konvoinya dalam menebar ide-idenya. Tanpa pertumpahan darah yang disengaja.

Saya tak tahu apakah Goenawan Mohamad atau Soekarno sedang berusaha mengesampingkan catatan emas Islam dari khazanah sejarah yang argumentatif.

Sehingga masyarakat memandang rekam jejak tersebut sebagai sesuatu yang subjektif. Yang, karena itu, ia jadi tertolak keshahihannya. Tapi, dari berbagai kisah di atas, paling tidak kita bisa mengambil sebuah pelajaran. Bahwa pendirian negara ilmiah, atau negara yang berdasar basis keilmuan yang kuat, belum kehilangan harapan.

Ini barangkali juga bisa jadi pengukuh atas sabda nabi, bahwa khilafah ‘alaa minhajin nubuwwah masih akan terbentuk kembali.

Akhirnya mereka semua, seluruh elemen masyarakat itu, punya perannya masing-masing. Mereka bukan bagian terpisah dalam penulisan sejarah. Seperti kata ustadz Rahmat Abdullah dalam Warisan Sang Murabbi: Pilar-pilar Asasi, kita bisa menarik pelajaran dari sejarah bangsa kita, dari sejarah umat manusia. Bahwa “perjuangan itu dirancang oleh orang alim, diperjuangkan oleh orang-orang ikhlas, dimenangkan oleh orang-orang berani, dan akhirnya dinikmati orang-orang pengecut!”

Karena setiap perjuangan selalu melahirkan tantangan.
[Reza Syam Pratama]