Tarik ulur dan dorongan atas kebutuhan politik seringkali cenderung mengabaikan aspek ideal dalam melakukan resuffle kabinet. Ini yang terjadi di 23 tahun era reformasi. Kekuatan partai politik yang dominan memaksa setiap Presiden mengambil langkah win win solution dalam menyusun daftar kabinet. Bahkan condong lebih politis dari pada aspek kompetensi yang dibutuhkan oleh kementerian.
Faktor di atas akan kita lihat mana yang dominan nanti dalam resuffle kabinet. Apakah faktor pragmatis, atau faktor idealis. Untuk kepentingan negara, atau semata-mata untuk kepentingan politis. Hal ini akan terlihat dari siapa dan dari partai mana yang akan diangkat menjadi menteri saat resuffle. Identitas dan performa menteri akan mengklarifikasi kualifikasi idealis atau pragmatis tersebut. Siapa dan dari partai mana menteri yang nanti akan diganti, ini juga bisa jadi bahan bacaan dan penilaian publik.
Meski resuffle itu hak Presiden, kita berharap pertimbangan idealis dan faktor kepentingan bangsa yang akan dominan. Bukan semata-mata kepentingan pragmatis dan unsur politis yang dominan.
Rakyat berharap resuffle kabinet nanti tidak terkait dengan isu penundaan pemilu. Jika menteri yang dicopot itu dari partai yang menolak pemilu ditunda, dan penggantinya berasal dari kader partai yang mengusulkan pemilu ditunda, maka ini akan memperkuat stigma bahwa pemerintah terlibat dalam skenario penundaan pemilu. Diharapkan juga resuffle kabinet tidak terkait dengan dukung mendukung dalam pembentukan koalisi untuk pilpres 2024. Jika ini terjadi, maka unsur pragmatis dan politis menjadi lebih dominan dari semangat dan spirit untuk kepentingan bangsa dan negara. [Faktakini]