Hukum Menggarap Sawah Gadai

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Ustadz, saya ada pertanyaan, bagaimana hukumnya orangyanggadai sawah dengan uang. Semisal seperti ini.

Si A = Yg punya Sawah

Si B = Yg punya uang

Karena si A sedang butuh uang yang mendadak dan jumlahnya sangat besar, tapi dia mempunyai sawahy ang luasnya tidak seberapa. Kebetulan si B punya uang, sehingga si A ingin menggadaikan sawahnya kepada si B, dengan ketentuan:

1) si A dapat uang dari Si B yang memang jumlahnya tidak sesuai dengan luas sawah (jumlah uang lebih besar dari harga sawah)

2) si B berhak menggarap sawah si A, dan hasilnya untuk si B

3) ketika waktu kesepakatan gadai selesai, si A harus mengembalikan uangyangbesarnya sama ketika si A menerima dari si B. Dan hak garap sawah si B pun tidak ada lagi (artinya Hak sawah dikembalikan ke si A)

4) Kalau ternyata SI A tidak punya uang ketika waktu kesepakatan gadai habis, maka kesepakatan gadai diperpanjang lagi sampai si A mempunyai uang untuk mengambil barang gadaiannya (sawahnya)

Mungkin seperti itu, syukron atas jawabannya

Wassalam

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dalam hukum gadai (rahn), para ulama memiliki beberapa hukum yang disepakati dan beberapa bagian lain yang tidak disepakati.

Para ulama sepakat bahwa pada hakikatnya akad gadai adalah akad istitsaq (jaminan atas sebuah kepercayaan kedua belah pihak), bukan akad untuk mendapat keuntungan atau bersifat komersil. Sehingga mereka sepakat bahwa seorang yang sedang menghutangkan uangnya dan menerima titipan harta gadai, tidak boleh memanfaatkan harta itu.

Namun mereka berbeda pendapat, apabila pihak yang sedang berhutang dan menitipkan hartanya sebagai jaminan memberi izin dan membolehkan hartanya itu dimanfaatkan.

1. Pendapat Jumhur Ulama Selain Hanafiyah

Umumnya para ulama selain ulama Hanafiyah mengharamkan pihak yang ketitipan harta gadai untuk memanfatkan harta gadai yang sedang dititipkan oleh pemiliknya. Baik dengan izin pemilik apalagi tanpa izinnya.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW

كلُّ قرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فهوَ رِبًا

Rasulullah SAW bersabda, "Semua pinjaman yang melaihrkan manfaat, maka hukumnya riba."

Kalau menggunakan pendapat jumhur ulama, seperti Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, maka bila ada seorang berhutang uang dengan menggadaikan sawahnya, maka sawah itu tidak boleh diambil manfaatnya. Tidak boleh ditanami dan tidak boleh dipetik hasilnya oleh pihak yang menerima gadai. Baik dengan izin pemilik sawah atau pun tanpa izinnya.

2. Pendapat Hanafiyah

Sedangkan menurut pendapat kalangan mahzab Al-Hanafiyah, hukumnya boleh. Selama ada izin dari pemilik harta yang digadaikan itu.

Landasan syariah atas kebolehannya itu adalah logika kepemilikan. Bila orang yang memiilki harta itu sudah membolehkannya, maka mengapa harus diharamkan. Bukankah yang berhak untuk mengambil manfaat adalah pemilik harta? Dan kalau pemilik harta sudah memberi izin, kenapa pula harus dilarang?

Dengan demikian, sebagian jawaban atas pertanyaan anda sudah terjawab. Ada ulama yang membolehkan sawah itu untuk digarap pihak yang meminjamkah uang, namun umumnya ulama malah mengharamkannya.

Dan kalau kita mengikuti pendapat ulama kalangan Al-Hanafiyah, maka sistem gadai sawah seperti ini hukumnya boleh dan tetap berlaku selama salah satu pihak belum membatalkannya. Atau menjadi batal saat pihak pemilik sawah tidak mengizinkan sawahnya digarap.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc