Menjadi Guru (bukan) Boneka

gaza sekolah tuna runguEka Sugeng – [email protected]

Sejenak mari kita tinggalkan hiruk pikuk dunia politik, usai sudah pemilihan legislatif (pileg) yang dihelat 4 hari yang lalu. Mari turunkan tensi otak kita hingga 50% dari bisingnya analisis hasil sementara quick count (perhitungan cepat) perolehan suara partai dan calon legislatif (caleg). Kesampingkan dulu hingar bingar ramalan-ramalan ke depan koalisi antar partai yang akan mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Pesta super mahal ini memang belum berakhir, uang rakyat sebesar Rp. 7,3 trilliun masih menunggu hasil akhir. Setali tiga uang, para caleg yang mempertaruhkan harta benda pribadi senilai jutaan rupiah (bahkan miliaran) tak ubahnya cuaca di daerah kita, panas dingin. Awas dan waspadalah, bukan hanya harta benda yang akan melayang, harga diripun bisa hilang! Sebagaimana diberitakan koran Jawa Pos (JP) kemarin (11/4) bahwa gara-gara suara nihil, keluarga caleg di Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Cirebon mengalami depresi (stres). Bahkan di media televisi nasional, sudah menayangkan puluhan caleg depresi akibat pileg. Semoga saya dan Anda (yang caleg/bukan caleg) tidak seperti itu dalam menyikapi fenomena ini. Sudahlah, yang jelas pesta memang belum benar-benar berakhir, apapun yang terjadi semoga berakhir happy ending.

Di tengah serunya perbincangan politik, sejenak penulis mengajak untuk menengok dunia pendidikan kita. Besok (14/4), negeri juga akan menyelenggarakan hajatan besar buat peserta didik jenjang SMA/SMK/MA atau yang sederajat. Sebanyak 22 ribu sekolah akan menjalani ujian nasional secara serentak dengan jumlah pesertanya mencapai 7.157.218 siswa siswa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menganggarkan Rp. 545 miliar untuk dana ujian nasional tahun ini. Tajuk berita koran JP 2 hari yang lalu (11/4) berjudul “Rahasiakan Daerah Hitam Unas” sungguh menyentak hati dan pikiran. Ternyata, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), M. Nuh, telah mengantongi nama-nama provinsi yang masuk kategori hitam dalam pelaksanaan ujian nasional (unas). Disebut hitam karena di daerah-daerah tersebut dinyatakan pernah terjadi kecurangan unas yang tinggi. Salah satu provinsi yang pernah dicap hitam adalah Provinsi Bali. Jadi meski nilai rata-rata siswa peserta unas di Bali tinggi, kualitasnya diragukan. Tahun ini, M. Nuh tetap menetapkan adanya daerah hitam, abu-abu, putih dan lainnya. Tentu, pihak Kemendikbud tidak serta merta melansir daerah-daerah tersebut ke khalayak umum. Karena bisa dipastikan ada tekanan-tekanan dari pemerintah daerah (pemda) yang dinyatakan sebagai daerah hitam atau abu-abu. Pemda mengancam akan berlepas tangan terhadap pelaksanaan unas jika hal itu diumumkan ke publik. Kemendikbud sendiri tak kalah cerdas, pihaknya tidak akan memberikan kegiatan yang bersifat peningkatan kompetensi untuk sekolah/madrasah. Kesimpulan dari adanya penetapan status daerah-daerah hitam, abu-abu dan putih adalah pembinaan. Demikianlah Mendiknas menutup diskusi tentang salah satu polemik unas.

Menjadi Guru (bukan) Boneka

Kemendikbud pernah mempublikasikan data sekolah hitam pada unas tahun 2011 yang lalu. Saat itu disebutkan sekitar 20 daerah di Indonesia masuk kategori hitam. Diantaranya tersebar di wilayah provinsi Jawa Barat, Bali, Sulawesi Tenggara, dan Papua. Namun setelah itu, Kemendikbud benar-benar merahasiakan data daerah hitam dalam pelaksanaan unas. Mereka hanya menyampaikan itu ke jajaran petinggi pemda untuk perbaikan internal. Dari berbagai sumber, penulis baru mengetahui daerah yang berstempel putih salah satunya adalah Yogyakarta, Jakarta, Malang dan Surabaya. Entahlah, bagaimana cara mengetahui suatu daerah itu hitam, abu-abu atau putih. Yang pasti bila di suatu sekolah/madrasah melakukan kecurangan selama unas, maka stempel sekolah/madrasahnya adalah hitam. Bila jujur dan menjalankan POS (Prosedur Operasi Standar) unas dengan sebaik-baiknya, maka stempel putih berhak disandang dan dibanggakan. Lalu, apa warna stempel apa sekolah/madrasah kita?

Bila stempel sekolah/madrasah di daerah kita masih hitam/abu-abu, tidak berani berubah menjadi putih, berarti guru-gurunya adalah guru boneka. Guru boneka adalah guru yang menjadi kepanjangan tangan pimpinannya yang ingin hasil akhir baik (lulus 100%) meski dengan cara-cara yang curang. Guru yang tidak bisa berbuat jujur, karena tekanan yang kuat harus lulus 100% dari atasannya. Guru yang tidak bisa berkata tidak untuk me-mark up nilai sekolah peserta didik, karena kekhawatiran nilai unasnya jeblok. Guru tidak bisa lagi menjaga kompetensi kepribadian dan kompetensi profesionalisme, dikarenakan sistem yang menggerus idealismenya. Padahal jelas tidak mungkin seorang guru mengajarkan peserta didiknya untuk mencontek/curang/tidak jujur dalam unas.

Guru bukan boneka tentu sebaliknya. Guru yang memiliki integritas profesi yang tinggi dan menjunjung tinggi martabat seorang yang bisa digugu lan ditiru. Ingin selalu berbuat jujur dalam pelaksanaan unas, tidak serta merta menuruti perintah atasan yang melanggar aturan. Apapun hasil akhir unas, selama semua persiapan materi dan mental sudah maksimal dilakukan, tawakkal adalah jalan yang terbaik. Mempertaruhkan nama baik bila ada peserta didik yang tidak lulus, memang sesuatu yang berat. Akan tetapi mempertaruhkan kejujuran dihadapan peserta didik/wali murid/masyarakat luas, tentu lebih berat.

Menjadi guru bukan boneka adalah pilihan. Guru adalah profesi yang menuntut individu-individunya adalah orang-orang yang amanah. Dan guru sangat jelas sekali mendapatkan amanah atau titipan atau kepercayaan dari para orang tua (wali murid) untuk mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya. Orang tua tidak menitipkan barang atau benda mati untuk dijaga dan dididik, tetapi yang dititipkan adalah seorang makhluk hidup yang berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang layak dan berkualitas. Maka, profesi ini adalah profesi yang mulia, profesi yang menuntut tanggungjawab yang sangat besar. Rasulullah saw mengingatkan dalam sebuah haditsnya, “Jika amanah disia-siakan, tunggulah saat kehancuran”. Sahabat bertanya: “Bagaimana menyia-nyiakan amanah itu?” Rasul menjawab: “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya” (HR Bukhari). Dalil itu menggambarkan konsekuensi dari sifat dan sikap amanah ini. Bersikap amanah adalah tuntutan iman. Kebalikan dari amanah adalah khianat, dan khianat adalah salah satu ciri kekafiran. Rasulullah saw menegaskan hal itu bahwa, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban). Semoga kita dan sekolah/madrasah kita berstempel putih di unas tahun ini. Amin.