Kesabaran dan Ideologi Kekalahan

Umat Islam sekarang ini sudah terkotakan pemikirannya bahwa “kita adalah umat yang lemah dan tak bisa berbuat apa-apa”. Jika kita masih berpikir seperti ini, mungkin selayaknya kita disamakan dengan Abu Sufyan.

Kita tentu ingat bahwa Abu Sufyan pernah mendeklarasikan ulang untuk memperbaiki perjanjian Hudaybiyyah dan mengabaikan pengkhianatan Bani Bakr.

Umat Islam harus mulai mengenyahkan pemikiran dan anggapan bahwa kita ini lemah dan tak bisa mempertahankan diri sendiri. Ini sesuai dengan perintah Allah:

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 139)

Ayat ini mengacu pada pada peristiwa Perang Uhud dan Allah ‘azza wajala berfirman bahwa kita adalah yang tertinggi, jika kita beriman; tapi jika kita bukan seorang yang memercayai hal ini atau kita tidak mengondisikan diri kita menjadi seorang yang beriman, maka ya, kita semua akan terus berada dalam kondisi dihinakan. Seorang Muslim akan selalu kuat. Bahkan ayat ini tidak ditujukan pada kondisi setelah menang perang, tapi setelah kekalahan Perang Uhud tersebut.

Allah swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (Ali Imran: 200).

Allah ‘azza wajala telah memerintahkan orang-orang yang beriman, dengan bentuk perintah, untuk selalu mempunyai kesabasar (isbiroo) dan kemudian untuk saabiroo. Saabiro merupakan akar kata dari sabr (sabar), namun bentuk linguistik kata ini mengindikasikan dua hal.

Dengan kata lain, kita harus menghadapi musuh dengan kesabaran, karena tak hanya kita orang Islam yang bersabar, namun begitu juga dengan musuh-musuh Islam. Jadi, walaupun Allah telah memerintahkan kita untuk bersabar, perintah selanjutnya dari Allah tidak hanya cukup dengan bersabar belaka, tapi juga harus lebih bersabar daripada kesabaran musuh-musuh.

Inilah yang telah dilakukan oleh Rasulullah Muhammad saw. Bangsa Quraish sangat sabar dan konsisten, misalnya saja Abu Jahal dan Abu Lahab. Bukan hanya kedua orang itu tapi, juga pemimpin bangsa Quraish lainnya yang memerangi umat Islam ketika itu sangat komit terhadap kesabaran mereka ini.

Mereka memiliki kesabaran, fanatisme, konsistensi, dan komitmen dalam memerangi agama Allah, tapi di sisi lain, Rasulullah Muhammad saw lebih sabar dan komitmen lagi. Rasul juga menginstrusikan sahabat untuk bersikap demikian pula.

Khabbab bin al-Art Radhiallahu Anhu berkata: “Kami mengadu kepada Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam saat beliau bersandar dengan burdah (selendang)nya di bawah naungan Ka`bah. Kami katakan kepada beliau: “Cobalah meminta pertolongan kepada Allah untuk kita! Cobalah berdoa kepada Allah untuk kita!”, maka beliau menjawab: “Orang-orang sebelum kalian ada yang dipendam di dalam tanah, lalu diambilkan gergaji dan diletakkan di atas kepalanya, kemudian dibelahlah kepalanya menjadi dua bagian. Akan tetapi semua itu tidak memalingkannya dari agama Allah. Ada pula yang daging tubuhnya disisir dengan sisir besi apa yang di bawah dagingnya yaitu tulang dan ototnya, akan tetapi hal itu tidak menghalanginya dari agama Allah. Demi Allah urusan (tegaknya agama ini) akan disempurnakan Allah sampai-sampai seorang pengendara berjalan dari Shan`a hingga Hadramaut ia tidak merasa takut kecuali kepada Allah, atau kepada serigala atas kambing-kambingnya. Akan tetapi ka-lian terlalu tergesa-gesa” (HR. al-Bukhāri No. 3852).

Begitulah, Rasululah saw melatih para sahabat untuk selalu bersikap sabar. Pada akhirnya, Allah swt yakni akan memberikan kemenangan. Wal ‘aaqibatu lil-muttaqeen—akhir untuk orang beriman, tapi kita harus bersabar dan bersabar. Jangan tergesa-gesa karena semuanya sudah digariskan oleh Allah.

“Ketetapan Allah pasti datang, maka janganlah kamu meminta agar dipercepat (datang)nya.”

Sekarang, kesabaran umat Islam seperti Abu Sufyan yang memohon perdamaian namun kemudian Abu Sufyan malah tak dipedulikan sama sekali. Jadi jika umat Islam terus berpikir bahwa kita ini umat yang lemah, berada dalam negara yang lemah, bahwa kita tidak mampu, bahwa musuh begitu kuat dan kita tidak bisa melakukan apapun, bahwa kita sekarang hidup dalam periode Mekkah, dan semua konsep ini masih ada dalam pikiran, maka ini adalah program penghinaan kepada umat Muslim yang memang telah disiapkan.

Lantas, jika terus begitu, kapan kita akan bisa menyatakan bahwa kita adalah satu dari lima populasi terbesar di dunia? Apa artinya jumlah 1 milyar lebih? Kapan kita akan bisa menjadi sumber daya yang mumpuni bagi dunia ini?

Tidakkah kita sadari bahwa semua kekayaan di dunia berada dalam negara yang penduduk Islamnya banyak. Ada dimana minyak yang paling besar? Ada dimana sumber air terbesar di dunia? Semuanya ada di negara-negara Muslim. Bagaimana mungkin kita terus bersikap lemah kepada mereka yang memerangi kita dan mengambil semua kekayaan bumi?

Itu karena para pemimpin negara-negara ini sama sekali tidak beriman kepada Allah swt, padahal seandainya mereka bertaqwa dan percaya kepada Islam, mereka akan diangkat dan dimuliakan derajatnya di antara bangsa-bangsa lainnya yang selama ini mengabaikan Allah swt. Allohu alam.