Dosa Pertama

Masih seputar kenangan, pengalaman sekaligus pelajaran yang saya dapat saat lebaran. Meski sudah lama berlalu rasanya tak ada salahnya jika coba saya bagikan dengan harapan semoga bisa menjadi ibrah bagi kita semua, amin.

Jika pada tulisan sebelumnya saya menuangkan rasa khawatir sekaligus prihatin melihat ‘kehebohan’ orang-orang ( barangkali termasuk juga saya sendiri ) dalam melakukan berbagai persiapan menjelang lebaran. Sebagai wujud rasa bahagia akan datangnya hari kemenangan, berbagai kesibukan dan persiapan yang dilakukan tidaklah semuanya bisa dianggap ataupun disalahkan.

Hanya saja ada satu hal yang dikhawatirkan yaitu ketika kesibukan melakukan persiapan menyambut lebaran – yang pada dasarnya hanya berhitung hari – sampai melupakan persiapan meraih kemenangan akhirat yang sifatnya abadi. Astaghfirulloh, semoga kita tidak termasuk yang demikian.

Melanjutkan tulisan sebelumnya, kali ini saya ingin mengangkat tema tentang silaturahmi dan bermaaf-maafan di hari lebaran. Meski tidak harus menunggu hari lebaran, pada kenyataannya idul fitri dimanfaatkan banyak orang untuk bersilaturahmi dan saling memohon serta memaafkan.

Menyebut idul fitri erat kaitannya dengan silaturahmi. Begitupun dengan lebaran, tak bisa dipisahkan dengan saling bermaaf-maafan. Begitulah yang ada dalam benak banyak orang, termasuk juga saya. Tapi rupanya tidak bagi Fulan, sebut saja demikian.

Sepulang sholat idul fitri di masjid, keluarga besar Fulan berkumpul di ruang keluarga untuk mengadakan ‘sungkeman’. Acara sungkeman berlangsung dengan khidmat dan penuh haru. Cium tangan dan pipi serta peluk erat di antara derai air mata menjadi pemandangan utama saat acara sungkeman berlangsung. Saling mengakui kesalahan, saling memohon maaf dan saling memaafkan kesalahan, menjadikan suasana sungkeman begitu indah sekaligus mengharukan.

Usai acara sungkeman – ketika masing-masing telah mampu menguasai keharuan hati – acarapun dilanjutkan dengan makan bersama. Jika sebelum berangkat ke masjid untuk sholat ied mereka hanya minum seteguk teh manis dan sepotong kue sebagai tanda bahwa pagi itu mereka tak lagi berpuasa, maka acara makan kali ini adalah makan yang sebenarnya. Nasi, ketupat, opor ayam dan aneka masakan khas lebaran lainnya tersaji meriah dimeja. Acara makan bersama di hari lebaran menjadi salah satu yang sangat dinantikan sebelum melanjutkan serangkaian acara di hari yang fitri.

Setelah acara di rumah dirasa cukup, tiba waktunya untuk bersilaturahmi ke rumah tetangga, saudara, kerabat dan juga sahabat. Selain bapak dan ibu Fulan yang tetap tinggal di rumah – menunggu tamu yang datang – seluruh anggota keluarga telah siap untuk berkeliling kampung.

Kecuali Fulan yang tetap ‘adem ayem’ dan sama sekali tidak tertarik dengan apa yang dilakukan anggota keluarga lainnya. Bahkan dengan tegas Fulan menolak ketika salah satu anggota keluarga mengajaknya berkeliling kampung, bersilaturahmi dari satu rumah ke rumah lainnya, memohon maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan yang mungkin terjadi tanpa disadari, seperti tradisi mereka saat idul fitri.

“ Nggak ah, aku mau di rumah saja. Nggak perlu meminta maaf, setahun ini aku kan tidak pulang kampung, jadi aku nda punya dosa dengan orang-orang di sini “ begitu Fulan beralasan. Serius dan tanpa ada penyesalan sedikitpun.

Astaghfirulloh. Apakah anda pernah mendengar ucapan seperti itu? Semoga kita tidak pernah mengucapkan kata-kata yang senada dengan itu, meskipun dengan maksud hanya untuk bercanda.

Tidak pernah pulang setahun atau tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun, sesungguhnya tidaklah menjadi jaminan bahwa kita tidak memiliki dosa atau kesalahan terhadap orang lain. Boleh saja beralasan tidak pernah bertemu sekian lama, tapi bisakah menjamin bahwa selama itu pula tak ada satupun dosa lisan atau hati kita kepada orang lain yang tak bertemu muka , bertatap mata?

Bagaimana jika ternyata kita pernah atau bahkan sering membicarakan aib seseorang yang secara fisik tak pernah berjumpa, apakah ini bukan sebuah dosa? Bukankah dosa kepada manusia hanya bisa ditebus dengan meminta maaf kepada yang bersangkutan?

Baiklah, bisa saja kita menjamin bahwa selama tidak berjumpa, tak pernah sekalipun membicarakan kejelekan, kekurangan atau aib orang lain, tapi bagaimana halnya dengan silaturahmi. Apakah meninggalkan silaturahmi dengan sengaja dan tanpa halangan sehingga menjadikan renggang atau putusnya jalinan silaturahmi bukan sebuah dosa?

Mari kita simak dua hadist tentang silaturahmi berikut ini;
• Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Rahim (tali persaudaraan) itu digantungkan pada arsy, ia berkata: Barang siapa yang menyambungku (berbuat baik kepada kerabat), maka Allah akan menyambungnya dan barang siapa yang memutuskan aku, maka Allah pun akan memutuskannya. (Shahih Muslim No.4635)

• Hadis riwayat Jubair bin Muth`im ra.:
Dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan. (Shahih Muslim No.4636)

Tidak semua orang memanfaatkan lebaran dengan memaksimalkan silaturahmi, karena berbagai alasan. Abdullah misalnya. Lebaran kemarin ia tidak bisa bersilaturahmi dengan banyak keluarga dan tetangga saat lebaran hari pertama karena kondisi kesehatan sang istri yang tidak memungkinkan. Kondisi fisik sang istri yang terus melemah memaksa mereka harus tinggal di rumah dan hanya menitip salam kepada sang kakak untuk tetangga dan saudara mereka lainnya.

Baik Fulan ataupun Abdullah, keduanya sama-sama tetap berdiam diri di rumah ketika sebagian besar orang saling bersilaturahmi di hari lebaran. Tapi alasan Fulan dan Abdullah jelas berbeda. Sedikitpun Abdullah tidak berfikir bahwa dia tak perlu meminta maaf dengan tetangga dan saudara karena merasa tak mungkin memiliki dosa setelah sekian lama tak saling berjumpa, seperti apa yang dipikirkan si Fulan.

Juga sebenarnya Abdullah sangat ingin bersilaturahmi dengan tetangga dan saudara yang setahun lamanya tak saling berjumpa atau bertukar berita. Tidak seperti Fulan yang menempatkan silaturahmi jauh dibawah jadwal kegiatannya selama lebaran, yang hampir dipenuhi dengan kegiatan tidak penting dan sekedar memuaskan diri sendiri.

Tak sedikitpun Abdullah merasa ketidakhadiran mereka di rumah tetanga atau saudara karena merasa tak punya dosa. Meski setahun tak mudik dan tak saling berjumpa, tak bisa menjamin mereka bersih dari salah bahkan dosa. Harus diakui, meski mata tak saling melihat dan tangan tak saling berjabat, tapi bibir terus saja berucap, dan terkadang membicarakan aib tetangga atau saudara yang ada dikampung ketika sedang berkumpul dengan kerabat yang ada di perantauan. Astaghfirulloh!

Juga, tak sedikitpun terbersit dalam hati mereka untuk merenggangkan apalagi memutuskan tali silaturahmi. Jika bukan karena faktor kesehatan yang menghawatirkan, ingin sekali mereka berkunjung dari satu rumah ke rumah lainnya, merajut indahya persaudaraan, memohon maaf sekaligus memaafkan, menikmati suguhan tuan rumah dan alangkah bahagianya bila bisa berbagi, berbagi kebaikan, kebahagiaan, informasi dan jika mungkin berbagi rezeki.

Namun, sematang apapun rencana mereka siapkan, seindah apapun perjumpaan mereka bayangkan, Allahlah yang akhirnya menentukan, tak semuanya berwujud menjadi kenyataan. Satu hal yang mereka pertahankan, ketidak hadiran mereka di rumah tetangga dan juga kerabat, bukan karena tak peduli dengan silaturahmi atau karena merasa tak punya dosa, jauh berbeda dengan yang ada dalam benak Fulan.

Bagaimana dengan lebaran yang anda dan keluarga rayakan? Maksimalkah silaturahmi yang anda lakukan? Andai tidak semuanya tercapai , semoga saja bukan karena anggapan bahwa selama kita tidak pulang kampung, tidak bertemu muka dengan tetangga dan keluarga berarti tak ada sedikitpun dosa dan kesalahan dalam diri, tapi karena keterbatasan waktu dan mungkin juga tenaga.

Hati-hatilah dengan anggapan semacam ini sebab merasa diri bersih dan tidak memiliki salah adalah sebuah kesombongan. Dan waspadalah ketika silaturahmi dikesampingkan, ditinggalkan dengan berbagai dalih yang sebenarnya hanya untuk membenarkan diri sendiri sehingga menyebabkan renggang atau bahkan putusnya silaturahmi, sesungguhnya adalah sebuah kesalahan. Bahkan bisa menjadi dosa pertama di hari yang suci.

http://abisabila.blogspot.com