Catatan Ramadhan: Malu Pada Subuh Mereka

Sambil menunggu iqomat, subuh tadi saya duduk di barisan kedua, persis di depan saya seorang jamaah yang usianya diperkirakan tak jauh berbeda dengan saya belum selesai dengan sholat sunnahnya. Dalam keadaan berdiri ketika sholat, tubuhnya selalu bergoyang karena ia sering membetulkan posisi kakinya. Oh ternyata, -maaf- sebelah kakinya tak sempurna layaknya kebanyakan orang lain. Karena itulah tubuhnya terlihat selalu bergerak, gerakan-gerakan tak lazim itu semakin membuat saya lebih memerhatikan kondisi lelaki di depan saya ini. Sejenak menjadi pengamat, ooh rupanya kaki kirinya yang mengecil itu “dipaksa” untuk menahan beban bersama kaki kanannya yang normal. Tentu saja tak berimbang, si kiri terus bergetar menahan beban.

Ia tetap berusaha berdiri dalam sholatnya, meski ia sebenarnya boleh saja sholat dalam posisi duduk bila kakinya tak kuat menahan beban. Namun getaran-getaran kaki kirinya membuat hati saya ikut bergetar, sehebat itukah kekuatan saya menahan beratnya godaan untuk tetap subuh berjamaah di masjid? Sedahsyat itukah perjuangan saya melawan rasa kantuk selepas sahur untuk bersegera ke masjid? Setegar itukah saya bila berada dalam posisinya, tetap berdiri dengan getaran yang hebat meski sebenarnya boleh memilih untuk duduk dalam sholat.

Di subuh yang lain, saya dibuat malu oleh seorang anak kecil. Ia berjuang menahan kantuk di sisi Ayahnya. Ia ikuti terus gerakan Ayahnya sedang sholat sunnah. Ia masih kecil, mungkin saja ia tak tahu apa yang sebenarnya ia kerjakan. Di usianya masih sekitar tiga tahun, bisa jadi iapun tak paham apa maksud gerakan-gerakan dari mulai berdiri, ruku, sujud, duduk dan seterusnya. Dan mungkin juga ia tak benar-benar mengerti apa yang dibaca Ayahnya ketika sholat, sehingga dari mulut mungilnya hanya terdengar suara kecil berbunyi, “wisiwis wisiwiiss…”

Tetapi anak sekecil yang belum mengerti tentang sholat itu justru membuat saya malu, ia yang seharusnya masih terlelap tidur justru berada di masjid bersama Ayahnya untuk menunaikan sholat subuh berjamaah. Ia belum wajib untuk sholat, dan boleh memilih untuk tidur saja seperti anak-anak lainnya. Sementara saya, kadang harus terus menerus berjuang dan memaksa diri untuk bisa selalu berjamaah ke masjid. Sedangkan orang-orang dewasa seperti saya, terkadang terpikir untuk tidur saja di waktu subuh. Atau setidaknya, sholat subuh di rumah saja, tanpa harus bergelut dengan dinginnya udara, dan bisa langsung tidur lagi!

Subuh yang lain lagi, di masjid yang berbeda. Seorang lelaki paruh baya mengenakan jaket super tebal berangkat ke masjid, padahal udara tak terlalu dingin waktu itu. Usai sholat, saya beranikan diri bertanya, “jaketnya tebal sekali pak?” “Iya, dari semalam tidak enak badan, bapak sedang sakit” Wow, terperangah saya dibuatnya, sekaligus malu. Saya yang sering cengeng dan memilih untuk tidak ke masjid hanya karena terserang flu biasa. Saya yang kerap memiliki sejuta alasan untuk tidak berjamaah di masjid, yang seolah jadi teramat cerdas memilii akal yang tak pernah berhenti mengeluarkan alasan masuk akal untuk tidak ke masjid.

Masih di waktu subuh, kadang terlambat datang ke masjid, mendapati jamaah sudah berbaris. Artinya saya tertinggal dan tak mendapat waktu untuk lebih banyak di masjid, berdzikir sebelum iqomat dilafazkan. Kadang lebih parah, tiba disaat yang lain sudah mengucap salam. Masih lebih bagus, pernah pula sampai di masjid sebagian jamaah sudah beranjak pulang, sempat ada yang berkelakar, “belum masuk dhuha loh…” menohok, benar-benar menohok.

Sunggguh malu saya pada subuh mereka, yang sebelah kakinya tak sempurna ia bertahan meski kakinya terus bergetar. Kepada lelaki tua setengah baya yang sambil terbungkuk-bungkuk menahan beban tubuhnya yang mulai rapuh, kepada anak balita yang menerjang dinginnya subuh dan berjuang memerangi kantuknya, kepada mereka yang tak pernah absen dan telat berjamaah subuh di masjid. Sungguh, saya malu! (Gaw)

Bayu Gawtama
LifeSharer
SOL – School of Life
085219068581 – 087878771961

twitter:
@bayugawtama
@schoolof_life