Belajar Kesetiaan dari Mursyid'am ke-3 Ikhwanul Muslimin, Umar Tilmisani

Ingat cerita singkat dari Syaikh Umar Tilmisani tentang segelas jus mangga? Pada suatu pertemuan, seorang “ikhwan” menghidangkan segelas jus mangga untuk ustadz Umar Tilmisani, tetapi beliau menolak jus mangga tersebut.

Penasaran dengan penolakan itu, si ikhwan bertanya kepada sang ustadz, “Ya Umar, kenapa antum tidak berkenan meminum jus mangga yang tadi saya hidangkan?” Beliau menjawab, “Setiap pulang dari kantor biasanya saya membuat 2 gelas jus mangga, kemudian meminumnya bersama isteri saya”. Tahu kenapa beliau menolaknya? Yup, karena setiap melihat jus mangga beliau selalu teringat dengan isteri beliau yang telah mendahului menghadap Sang Khalik. Subhanallah, sebuah pelajaran yang tak ternilai dari seorang manusia unggulan pemimpin Ikhwanul Muslimin yang saat itu menjadi incaran fitnah dan mihnah dari pemerintah Mesir.

Cerita berikutnya dari seorang anggota DPRD di kota tempat saya dilahirkan, utusan partai yang tidak perlu saya sebut namanya. Ia mengakhiri hidup dipangkuan wanita tuna susila di sebuh hotel berbintang, bukan di pangkuan isterinya. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah….

Manusia memang tidak pernah puas dengan apa yang sudah didapat. Ia akan terus mencari sesuatu yang ia inginkan bahkan tidak peduli apakah sesuatu yang dikejarnya itu hak milik orang lain atau bukan. Halal atau haram. Target hidupnya adalah “Saya harus menjadi yang ‘ter…’, entah terkaya, tercantik, terganteng, terpopuler dan sebagainya”. Sungguh disayangkan manusia yang memiliki sifat seperti itu. Hidup kita di dunia hanya dalam waktu yang singkat, seperti dicantumkan dalam Q.S. An-Nazi’at ayat 40: “…mereka seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari”, tetapi banyak sekali keinginan duniawi yang ingin kita raih.

Membahas tentang kesetiaan, akan membawa kita pada dimensi yang lebih luas lagi. Tidak hanya berhenti pada kesetiaan terhadap pasangan hidup kita, isteri terhadap suami atau suami terhadap isteri. Lebih dari itu, kesetiaan kita sebagai seorang hamba. Kesetiaan kepada Allah SWT. Kesetiaan yang tidak mengenal dimensi ruang dan waktu. Kesetiaan yang berujung pada keikhlasan.
Seringkali kita melupakan kewajiban sebagai seorang hamba. Kita mudah dilenakan oleh kesenangan duniawi sesaat. Tanpa kita sadari, apakah beberapa menit ke depan kita masih diberi kesempatan untuk menghirup segarnya udara kehidupan.

Begitulah, dan setiap kita tidak sedikit yang melakukan kesalahan yang sama secara berulang. Kita melupakan kesetiaan yang diberikan Abu Bakar kepada Rosulullah. Ketika kaum kafir quroisy melakukan pengejaran terhadap diri Rosulullah, abu Bakar dengan setia selalu menemani dan melindungi Rosulullah. Ketika berada di Gua Tsur, saat rosulullah tengah tertidur dipangkuannya, tiba-tiba dari lubang tanah tempat menginjakkan kaki keluar seekor ular.

Takut membangunkan tidur rosullah, Abu Bakar tidak bergerak dari tempat duduknya hingga ular tersebut mematuk kakinya. Peluh air matanya karena menahan sakit yang mengenai wajah Rosulullah yang akhirnya membangunkan beliau. Dalam sebuah riwayat, disampaikan jika diminta memilihj klekasih dari kaum lelaki maka Rosulullah akan memilih Abu Bakar Ash-shidiq sebagai kekasih beliau. Subhanallah.

Saatnya mengevaluasi diri, apakah kita sudah menunjukkan wala’ kita terhadap aqidah ini? Wallahu ’alam bish-showab….