Bilamana Kita Berzakat

Takkala membaca berita tentang balita gizi buruk di salah satu surat kabar, hati saya terenyuh. Menyedihkan sekali kondisi seorang bayi perempuan berumur sebelas bulan penderita gizi buruk tersebut. Dia tergolek lemah tanpa daya di RSD dr Muhammad Soewandhi, Surabaya. Bahkan, saudara kembar bayi tersebut telah meninggal lebih dulu, juga disebabkan gizi buruk. Ibu sang bayi hanya bisa menangisi kemalangan dan ketidakberdayaannya. Masya Allah.

Mungkin, di beberapa tempat lain, gizi buruk juga menimpa banyak balita-balita yang lain. Jumlahnya makin hari selalu bertambah. Harga kebutuhan pokok melambung tinggi, hingga beras tak sanggup terbeli. Rakyat duafa dan miskin lah yang akhirnya menjadi korban. Ketika lapangan kerja semakin sulit didapat, sedangkan kebutuhan sehari-hari harus dipenuhi, maka susu bayi menjadi kepentingan nomor sekian bagi kaum fakir.

Sebenarnya, Islam telah menganjurkan solusi terbaik untuk mengatasi kemiskinan. Yaitu, zakat. Namun, di antara kita masih belum banyak yang tergugah kesadaran dalam berzakat.

Ada satu fenomena bahwa terkadang kita ringan membelanjakan uang hingga ratusan ribu. Tapi, ketika ada pengemis, kita masih mencari uang receh. Inilah salah satu bentuk dari mentalitas atau wajah bangsa kita yang tengah mengalami krisis multidimensi. Segala sesuatu masih diukur dengan materi. Lalu, pengorbanan dinilai sebagai sesuatu yang abstrak dan sulit untuk dilakukan.

Kalau saja kesadaran mengeluarkan zakat di masyarakat kita semakin baik, tentunya harapan mengurangi angka kemiskinan itu bisa terwujud. Padahal, amal yang disertai dengan niat ikhlas akan dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT.

Zakat yang merupakan investasi ”masa depan” tidak banyak dilirik. Ia bahkan kalah dengan investasi dunia seperti kredit rumah ataupun kendaraan. Padahal, jumlah 2, 5 persen dari penghasilan tetap tiap bulan tidaklah seberapa dibandingkan manfaat yang didapatkan, baik di dunia maupun di akhirat, baik manfaat untuk diri sendiri maupun orang lain.

***

Suatu ketika, saya ditawari merokok oleh seorang teman. Saya menolak halus tawarannya dan mengatakan bahwa saya tidak merokok. Kami lalu berbincang ringan. Kemudian, iseng saya bertanya kepadanya tentang budget tiap bulan yang dia keluarkan untuk merokok. Dia menjawab bahwa tiap hari bisa menghabiskan satu bungkus rokok seharga sekitar Rp 7.000. Jikalau dikalikan selama sebulan atau 30 hari, maka uang yang harus dia keluarkan untuk membeli rokok adalah Rp 210.000. Jumlah yang fantastis untuk benda yang nyata-nyata bisa membahayakan kesehatan tersebut.

Saya tercenung, kalaulah tiap bulan seorang pegawai menerima gaji sekitar Rp 1 juta, maka zakat 2, 5 persen yang dikeluarkan mungkin tak sampai Rp 30 ribu. Namun, kesadaran zakat ternyata bisa tersisih oleh kebutuhan rokok yang mencapai ratusan ribu per bulan. Sementara, di luar sana, balita gizi buruk meregang nyawa membutuhkan uluran tangan kita. Padahal, dalam penghasilan kita, ada sebagian hak kaum duafa dan fakir miskin.

Meniti kasih memang tak semudah kita berkata. Niat yang terpatri belum cukup untuk menggerakkan hati jika penyakit hati ingin dipuji masih merangkup di kalbu.

Bayi sebelas bulan itu hampir-hampir tak bisa merengek dengan tangisannya karena begitu lemah tergolek tak berdaya dengan mata yang terkatup. Hanya sang ibu yang selalu tak henti menangis meratapi nasib putrinya tersebut. Dan itu adalah realita sosial di sekitar kita.

Mereka, kaum duafa, adalah saudara kita. Mereka ada bukan untuk terpinggirkan. Allah adalah sebaik-baik pemberi janji dan hakim yang mahaadil. Rezeki yang Allah berikan merupakan tanggung jawab yang akan dipertanyakan di mahkamah akhirat kelak. Maka, bilamana dengan berzakat bisa menumbuhkan cinta kepada sesama, mengapa jalan sutera merajut kasih dengan Allah masih ditunda? Apakah kita masih bisa bahagia dengan perut kenyang, sementara ada orang lain yang lapar bertaruh maut?

”Rabbana zhalamnaa anfusanaa, wainlam taghfirlanaa, watarhamnaa lanakunannaa minal khasiriin..”

[email protected]