Masjid Kecil di Padang Ilalang Nagano

Kangen. Mungkin terasa aneh. Tapi sungguh, ada rindu merekah di setiap perjalanan dalam gerbong kereta api senja. "Nagano, aku kan kembali…!" Satu ucapan yang hanya bisa tersimpan dalam hati. Sambil menikmati dedaunannya yang hijau dengan beberapa bukit berbaris rapi, dari balik kaca jendela kereta yang melaju cepat.

Saya akan merindukan semua. Tidak hanya tatapan hangat dalam senyuman, tapi juga lekuk bangunan tempat duduk bersama hari itu. Sebuah masjid dengan bangunan sederhana, berada jauh di luar kota. Masjid Toda, di daerah Nagano. Dengan jarak tempuh dua jam setengah dari Tokyo menggunakan kereta cepat shinkansen.

Mengunjunginya mendatangkan keharuan dalam berjuta bangga. Tempat yang jauh dari gegap ibu kota, namun geliat syiarnya mulai terasa. Dan dapat berjumpa, berinteraksi dengan beberapa muslimah Jepang yang berusaha menggalakan syiar di masjid tersebut adalah kebahagiaan.

Dalam ingatan, selalu muncul sekelebat wajah-wajah bercahaya disertai senyum hangat dan mata penuh harap ketika berpisah.

Mata teduh perempuan dengan tiga bocah ciliknya menatap. Lalu mendekap dengan jabat erat. "Tiga bulan ke depan, sempatkan datang kembali ke sini…."

Perempuan setengah baya tersenyum dengan jabat tangan tak kalah erat. Sambil berusaha membawakan kantong bawaan yang terasa berat. "Masjid ini harus dihidupkan…." Ucapnya tegas berwibawa.

Begitu pula pesan lembut dari perempuan muda dalam balutan penutup kepala sejuk. "Jangan lupa, kirimin aku buku-buku Islam berbahasa Jepang."

Tidak hanya tiga perempuan dengan mata sipit dan kulit putih yang menatap. Ada empat pasang mata lain yang tersenyum disertai anggukan, sambil berucap "Arigatou gozaimasu" tanda ucapan terima kasih.

Bukan, mereka tidak seperti saya yang lahir dan besar dari keluarga muslim. Hingga berIslam dan menjalankan syariatnya kadang tak lebih karena sebagai sesuatu hal yang sudah wajar. Sedangkan beberapa muslimah Nagano, mereka berjuang untuk mendapatkan cahaya kebenaran. Meloncat dari kondisi jahiliyah ke jalan penuh hidayah. Saya yang datang hanya sesekali sebagai tamu undangan pengisi materi, bagitu sering terkagum-kagum dengan semangat, izzah dan istiqomah para muslimah Nagano.

***

Sacchan, perempuan muda yang memberi pesan untuk mengirimkan buku-buku Islam. Baru enam bulan menemukan mutiara iman. "Aku bersyahadat di negeri Paman Sam." Pernah ucapnya satu kali dalam senyuman. Belajar di luar negeri, jauh dari sanak saudara-sahabat dekat dengan bahasa asing yang belum dikuasai, Ia merasakan kesepian. Hingga tak sangka Yang Maha Pengasih menunjukan padanya untuk bertemu dengan seseorang. Perempuan berhijab yang sedang asyik mengkaji indahnya ayat suci di salah satu sudut kampus, dalam belaian angin sepoi. Pembicaran singkat yang hangat dengan jabatan erat, membuka jalan untuk bersahabat. Keikutsertaannya dalam sebuah majelis ilmu dengan sahabat tersebut membuka jalan untuk tertarik pada Islam. Memperlajarinya hingga merasakan Islam adalah kebutuhan. Sampai akhirnya bulat bersyahadat, menemukan cahaya iman.

Nagase-san, perempuan setengah baya yang selalu berbaik hati menawarkan membawakan tas bawaan. Mutiara iman didapatkannya berawal dari ketidaksengajaan. Saat ajaran Shinyoen – salah satu aliran Shinto di Jepang – yang telah lama dipercayainya tak dapat lagi memberikan ketenangan. "Tuhan ada di setiap benda" satu kalimat yang sering membuatnya pusing untuk mempertanyaakan. "Kenapa harus ada Tuhan dalam setiap benda?" Beberapa ajaran agama dicoba dipelajari. Untuk mencari jawaban akan keberadaan Tuhan. Hingga pada akhirnya, jalan cahaya itu datang menghampiri. "Ajaran Islam paling masuk akal. Tuhan itu cukup satu yaitu Allah."

Adapula Iwate-san, Macchan, Yani-san dan beberapa orang muslimah lainnya yang menjadi pengunjung setia kegiatan belajar di masjid tersebut. Mungkin, pada awalnya memeluk dan belajar Islam adalah sebuah tuntutan yang klise. Menikah dengan pria muslim. Namun tak disangka, dari alasan klise memeluk Islam, jalan cahaya menuju kebenaran terbuka.

***

Little Mosque on the Prairie, begitu yang selalu saya rasakan ketika mengunjungi Masjid Toda dengan perjalanan jauh di luar kota. Masjid kecil di padang ilalang daerah Nagano. Sebuah bangunan yang tak seberapa besar, namun terawat dengan asri. Tidak hanya berdiri gagah di tengah sebuah padang ilalang, tapi ruhnya begitu merasuk, mendatangkan rasa syahdu. Dan mereka – para muslimah Jepang – yang giat menghidupkan syiar Islam di masjid tersebut, selalu membuat rasa kerinduan ingin kembali berkumpul, duduk bersama. Ada ikatan hati yang disatukan dalam rasa persaudaraan, ukhuwah Islamiyah.

Semoga, dari masjid kecil ini, akan lahir para mujahid mujahidah yang siap berjuang menegakan kalimat Allah. Melahirkan generasi yang berjiwa kuat, seperti para generasi sahabat di zaman Rasulullah saw. Hingga syiar Islam kokoh tegak berkibar di bumi sakura. Insya Allah.

Catatan kecil Aishliz, Tokyo