Menerima yang Tak Diinginkan

Satu tahun terakhir ini saya tengah rutin melakukan terapi di sebuah pusat bekam dan ruqyah berkenaan dengan penyakit yang saya derita. Pada lima kali pertama kunjungan, saya ditangani oleh lima terapis (tentu saja laki-laki) yang berbeda. Tak pelak saya melakukan semacam penilaian terhadap pelayanan yang mereka berikan, bukan saja berkenaan dengan kemampuan teknis terapi yang dimilikinya, tetapi juga menyangkut kemampuan public relation secara umum. Di antara kelima terapis tersebut, ada satu nama yang menurut penilaian saya ”di bawah standar”. Maka saya sampaikan hal itu ke bagian custemer service agar pada terapi berikutnya saya tidak dilayani oleh yang bersangkutan. Dengan sangat santun ia menanggapi keluhan saya dan berjanji akan memenuhinya.

Bulan berikutnya – sesuai jadwal dan anjuran – saya kembali melakukan terapi. Saya mengulangi permintaan saya pada resepsionis yang – lagi-lagi – ditanggapi dengan santun dan menyejukkan hati. Namun betapa kecewanya saya ketika yang muncul di kamar bekam adalah orang yang ingin saya hindari. Separuh hati saya menjalani terapi itu. Di dalam hati bergejolak perasaan jengkel, marah dan menjadi tak sabaran. Rasanya tersiksa sekali saya menjalani sesi bekam. Memang waktu itu lumayan sibuk, banyak pasien yang antri menunggu giliran. Tapi saya kan bukan orang baru. Orang yang telah melakukan kunjungan lebih dari lima kali tentu saja memiliki ”hak istimewa” untuk mendapatkan perhatian khusus, termasuk permintaan untuk ditangani oleh orang tertentu. Apalagi mereka juga menyanggupinya. Saya protes ke bagian resepsionis. Ia kembali menanggapi dengan santun dan profesional sambil tak lupa meminta maaf dan berjanji akan memenuhinya pada terapi berikutnya.

Tiba pada saat saya harus melakukan terapi kembali, saya langsung menemui terapis yang saya inginkan dan memintanya untuk menangani saya. Ia menyanggupinya. Namun ketika giliran saya tiba, lagi-lagi saya harus kecewa karena ternyata dia harus menangani pasien lain. Kembali dengan separuh hati saya menjalani terapi. Segala yang dilakukan oleh sang terapis rasanya tak ada yang membuat nyaman. Setiap pertanyaannya untuk membuka komunikasi di sela-sela terapi saya jawab dengan pendek-pendek dan enggan. Sempat terfikir untuk berhenti melakukan terapi di tempat itu dan mencari tempat lain. Ketika saya selesai menjalani terapi, di luar (di bagian counter herbal) saya melihat terapis yang sebelumnya telah saya mintakan untuk melakukan terapi kepada saya itu. Dia langsung menyambut saya dan memohon maaf dengan sungguh-sungguh. Ada sesuatu yang serasa menohok batin ini. Segala ketulusan, profesionalitas, kesantunan yang istiqomah yang ditunjukkan oleh mereka itu menghadirkan sesuatu yang berbeda. Tiba-tiba sesuatu menjalari otak saya untuk memandang segalanya dari sisi yang lain. Sisi yang selama ini terabaikan oleh nafsu egois dan ingin diistimewakan.

Sepanjang jalan pulang saya terus merenungkannya. Betapa saya telah berlaku tidak adil. Kalau semua orang berfikiran sama dengan saya, bagaimana terapis yang saya ’deskreditkan’ itu akan mampu menunjukkan keterampilannya dengan baik? Walau bagaimanapun dia memiliki hak mendapatkan kesempatan itu. Ketidaksempurnaan adalah manusiawi. Masukan yang konstruktif dan santun perlu disampaikan agar ia memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas kecakapannya. Bukan dengan menutup jalan baginya mengembangkan diri. Kalau saya menginginkan orang yang berpengalaman, bagaimana dengan dia yang belum berpengalaman sementara kesempatan tak diberikan kepadanya? Saya lantas teringat pada masa-masa ketika saya rajin membolak-balik lembaran surat kabar hanya untuk mendapatkan informasi lowongan pekerjaan dan selalu jengkel dengan klausul ’diutamakan yang berpengalaman’ pada deretan persyaratan memasuki/mendapatkan pekerjaan tertentu. Tapi justru sekarang saya menjadi orang yang menjengkelkan itu. Astaghfirullah.

Kemudian saya berfikir pada sisi yang lain lagi yang menurut saya adalah bagian terpentingnya. Bahwa tidak selalu apa yang kita inginkan itu dapat terpenuhi. Karena belum tentu apa yang kita inginkan itu adalah sesuatu yang benar-benar terbaik untuk kita. Kita hanya berfikir dan merasa bahwa hal itu adalah sesuatu yang benar-benar kita inginkan dan butuhkan. Namun kemudian kita seperti mengejar fatamorgana; ketika semua kita dapatkan ternyata kita hanya menemui kehampaan dan merasa masih ada dan selalu ada yang kurang. Maka, saat kita mendapatkan sesuatu yang tak diinginkan (baik berupa hal-hal sepele seperti yang saya alami itu maupun kejadian yang lebih ’serius’ seperti musibah, kegagalan, kebangkrutan) sebenarnya adalah suatu anugerah. Di dalamnya terdapat ruang untuk kita merenungkan adanya kuasa dan kasih Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wahana untuk melakukan introspeksi diri terhadap proses yang dijalani dalam rangka menemukan beberapa catatan perbaikan di masa mendatang, Juga sebuah pengukuran terhadap kadar tawakal dan sabar yang kita miliki.

Menerima sesuatu yang tak diinginkan semestinya memang menjadi sifat muslim/muslimat sejati. Logikanya adalah bahwa keinginan yang tak terbatas sungguh sangat tak berbanding lurus dengan kemampuan yang serba terbatas. Bahwa tak setitikpun manusia mengetahui grand scenario Allah di Lauhul Mahfudz sana. Dan, sungguh, tak ada yang kebetulan. Semua serba rapih dan serba teratur dari yang Maha Rapih dan Maha Teratur Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menerima sesuatu yang tak diinginkan merupakan rangkaian sikap dari struktur RIP (rencana, ikhtiar dan doa, pasrah). Bermula dari sebuah perencanaan yang baik dan matang. Kemudian diimplementasikan ke dalam amalan yang optimal sebatas kemampuan, dibalut untaian doa pada Allah mengharap ridhoNya serta kebaikan dunia dan akhirat. Lalu berakhir pada kepasrahan seorang hamba dalam keyakinannya akan kehadiran Allah yang Maha Ada.

Berbekal pandangan yang berbeda saya kemudian kembali mendatangi tempat pusat bekam dan ruqyah itu untuk ke sekian kalinya. Namun saya tak lagi peduli dengan terapis yang akan menangani saya. Saya luruskan niat bahwa saya berobat untuk mengharap ridho Allah atas kesembuhan saya dan menyempurnakan ikhtiar. Maka ketika saya kembali ditangani oleh terapis yang sama, Alhamdulillah, saya sudah bisa ’berkompromi’ dengan batin ini. Rileks dan nyaman saya menjalani terapi. Saya memang tidak langsung meminta maaf kepadanya atas segala prasangka buruk yang pernah ada di batin ini, namun saya berusaha memperbaiki sikap kepadanya. Dan sungguh Alhamdulillah, pengaruhnya sangat saya rasakan terhadap proses penyembuhan penyakit saya.

Jayagiri, Juni 2008

[email protected]