MERDEKA KOK MASIH NGANTRI!

MERDEKA KOK MASIH NGANTRI!
Fiyan Arjun


“Katanya merdeka! Tapi kok cari minyak tanah kudu nyari sama ngatri kayak begini!” seru seorang ibu muda memakai daster motif kembang-kembang sambil tangan kanannya membawa dirigen berwarna putih.

“Iya, masa sih seliter sampai sepuluh ribu. Sudah gitu susah lagi nyarinya, ” sambung seorang laki-laki kurus kering yang ada di belakangnya yang masih menggunakan helm di kepalanya.

Saya yang mendengar mereka berkomentar seperti itu hanya tersenyum. Tersenyum atas kesedihan mereka yang begitu susahnya menikmati hari merdeka saat ini. Saya—yang saat itu seperti mereka. Pengantri minyak tanah, hanya bisa menjadi pendengar yang baik bagi mereka. Tak dapat untuk bisa lebih lanjut saya lakukan.

Tak terasa ketika saya asyik mendengar mereka berbicara satu dengan yang lainnya, siang makin tak menghiraukan para pengantri minyak tanah termasuk saya juga. Panas makin membuat kepala saya berkunang-kunang. Tak bisa saya untuk bertahan lama untuk mengantri di tempat barisan saya. Akhirnya say pun mundur beberapa derap langkah. Menghindari terik panas raja siang sejenak.

“Oya, jam berapa sekarang?” Tanya seorang pengantri yang tiba-tiba mengejutkan saya dari arah belakang. Ternyata orang yang mengejutkan saya itu adalah pengantri minyak tanah juga. Pengantri minyak tanah yang terlambat datangnya.

“Jam dua belas kurang lima menit, Mas, ” jawab saya singkat.

“Untung saya masih bisa ngantri ya, Mas, ” ujarnya lagi kepada saya. Saya lagi-lagi hanya bisa terenyuh ketika melihat arahnya. Dikarenakan dengan situasi seperti itu ia masih mau mengantri minyak tanah walau saat itu raja siang kian marah. Memuncakan panas ke setiap para pengantri minyak.

Saya yang melihat ke para pengantri minyak tanah saat itu saya berpikir apakah ini yang namanya merdeka? Lagi-lagi hati kecil saya bergumam. Merasakan betapa sulitnya menikmati kemerdekaan pada saat ini. Terlebih pada tahun yang penuh dengan tekhnologi modern.

Entahlah, namun ketika ekor mata saya lagi-lagi melihat para pengantri minyak tanah hari itu. Penuh semangat dan sabar mengantri di bawah teriknya matahari saya disadarkan kembali. Bahwa hidup bukanya hanya memikirkan arti kemerdekaan melainkan arti sesungguhnya untuk hidup di dunia fana. Selagi bisa harus dikorbankan. Baik dari segala upaya dan daya demi kemakmuran diri masing-masing. Inilah hidup penuh untuk berkorban. Berkorban untuk apa saja. Ya, termasuk mengatri minyak yang saya lakukan.***(fy)

Ulujami, 16 Agustus 2008

website: Lhttp://sebuahrisalah.multiply.com