Panggilan dari Makkah

Perempuan itu sudah lama berwajah duka. Umurnya saat ini sudah limapuluh tahun lebih. Kerut-kerut di wajahnya, dan kelopak matanya yang agak masuk ke dalam, menandakan bahwa ia sering tidak bisa tidur pada malam-malam harinya.

“Ternyata, semakin tua, manusia itu tidak semakin enak ya… ada saja problem yang silih berganti. Dulu saya membayangkan, kalau umur kita semakin senja, maka kebahagiaan akan bisa segera dicapai. Karena anak-anak semakin besar dan mapan. Kenyataannya tidak seperti yang saya bayangkan…”

Ia sering sekali mengeluh seperti itu saat saya berdekatan dengannya. Biografi hidupnya memang termasuk luar biasa bagi saya. Kematian sang suami saat ketiga anaknya masih duduk di bangku SD, sungguh-sungguh sangat memukul hatinya.

Ia menjadi TKW di Arab Saudi, sampai anak-anaknya bisa sekolah semua di SMA. Dalam bayangannya, kalau semua anaknya sudah tamat sekolah, ia akan lebih gembira dan bahagia hidup di rumah dengan menyaksikan kesuksesan anak-anaknya.

Ternyata apa yang ia impikan terlalu jauh dengan kenyatan hidup. Problem dan masalah keluarganya, baik dengan anaknya ataupun dengan saudara-saudara almarhum suaminya, seolah tak pernah berhenti menyerang dirinya.

Hari-harinya makin kusut dan tak bergairah. Saya temasuk salah satu orang yang khawatir, ia menjadi depresi dan stress berkepanjangan. Setiap kali mencurahkan hatinya, saya hanya mampu memberikan nasehat sesuai dengan yang pernah di contohkan Nabi kepada kita.

Di matanya, apa-apa yang saya katakan, mungkin sesuatu yang klasik. Sesuatu yang terlalu biasa dikatakan semua orang jika ada saudara, atau siapa saja sedang mengalami kegundahan hati.

Tapi, saya seringkali memaksakan dia agar kembali kepada Allah. Memperbaiki sembahyang lima waktu, memperbanyak dzikir di malam hari, berpuasa untuk tidak terlalu banyak ngomong, apalagi membicarakan hal ihwal tetangga.

“Itu resep mujarab, agar kita bisa tenang hati menjalani hari-hari tua, ” kata saya suatu saat. Ia mulai mau kembali getol beribadah. Ia mulai menjauh dari acara ‘ngrumpi’ dengan para perempuan tetangganya. Kata anaknya, ia juga sering lama-lama duduk bersimpuh sehabis shalat lima waktu.

Saya ikut senang mendengar penuturan anak sulungnya. Karena ternyata ia bisa mulai menikmati hidup seadanya, tidak muluk-muluk. Saat kehidupannya mulai tenang, ada masalah datang lagi. Kini dengan saudara-saudara almarhum suaminya, yang menjadikan ia kembali gelisah.

Ia bercerita panjang lebar, tentang kesedihannya. Ia tak nyenyak tidur. Air matanya selalu keluar. “Seandainya aku masih muda, dan masih bisa menjadi TKW lagi, lebih baik aku akan pergi lagi keluar negri. Mungkin aku lebih tenang bekerja di sana, ” kisahnya kepada saya.

Saya tak bisa memberi nasehat apa-apa, kecuali kalimat-kalimat yang pernah saya katakan beberapa waktu lalu. Saya tak bisa memberi jalan keluar apapun terhadapnya, apalagi dengan sesuatu yang berupa materi.

Beberapa hari kemudian, anak sulung perempuan itu menemui saya. Ia memberitahu, bahwa ibunya mau pergi ke Arab Saudi lagi. Saya sempat terperanjat. Mungkinkah orang setua itu masih bisa bekerja di sana? Adakah biaya untuk proses keberangkatan ke luar negeri? Mampukan ia menunggu proses di tempat penampungan yang sekarang makin sulit dan menjemukan?

Saya membayangkan itu semua. Sampai pada ahirnya saya penasaran dan menemui sendiri perempuan itu. Ia dengan muka berseri-seri bercerita panjang lebar. “Ada seseorang mengajak saya untuk bekerja di Makkah. Saya tak dipungut biaya. Semua proses, dari pembuatan paspor, medikal dan tiket ke sana gratis. Saya tinggal pergi saja, ” katanya.

Ia tak mampu menyembunyikan kegembiraannya.. Perubahan dalam hatinya mungkin sangat drastis. Kalau beberapa waktu yang lalu ia sering murung, sekarang ia benar-benar ada dalam keceriaan. “Saya akan banyak ibadah di sana. Saya akan manfaatkan ibadah umrah dan juga ibadah haji sebaik-baiknya. Tugas saya, sekarang adalah memperbanyak doa untuk kebaikan saya, dan anak cucu. ”

Tak pernah terlintas dalam hati dia, bahwa ia akan bisa kembali ke Arab Saudi apalagi ke Makkah yang mulia. Tak pernah terlintas sedikitpun akan ada seseorang datang padanya dan menawarkan sesuatu yang segalanya mudah pada dirinya. Tak pernah terlintas sedikitpun pada saat air mata berderai karena banyaknya permasalahan, akan datang malaikat penolong dengan wajah yang sangat bersahabat. Tak pernah terlintas dalam dirinya, anaknya, dan tentu juga tetangga-tetangganya, bahwa pada saat ekonomi sulit seperti ini dan terlalu banyaknya orang yang ingin bekerja di luar negri, akan datang suatu panggilan dari Makkah yang tanpa dipungut biaya serupiahpun.

Selamat berbahagia perempuan! Semoga engkau bisa menapaki hari tuamu di kota suci dengan naungan kemuliaan dari Sang Penguasa alam. Kebencian yang ditebarkan orang-orang yang tidak suka denganmu, semoga bisa berubah menjadi istigfarmu yang mampu meluruhkan dosa-dosamu. Sekali lagi, selamat mereguk kemulian Allah, hai…perempuan!

***

Purwokerto, Maret 07 <woyo_sus@yahoo. Co.id>