Pelajaran Berinfak

Semenjak kedua putri saya mengenal uang dan sedikit memahami nilai serta kegunaannya, sejak saat itulah saya mulai mengajarkan dua hal; menabung dan berinfak. Meski hanya beberapa jenis satuan mata uang saja yang dimengertinya, terutama untuk satuan di bawah lima ribu rupiah, menabung dan berifak semestinya memang menjadi kebiasaan untuk mereka.

Dari dua kebiasaan yang sedang ditanamkan itu, hanya satu yang bisa dimengerti oleh kedua putri saya, yakni soal menabung. Ya, mereka mengerti betul bahwa menabung akan membuat ia memiliki uang yang cukup untuk membeli sesuatu. Misalnya, ketika mereka hendak membeli mainan tertentu dengan harga yang sedikit lebih mahal. Maka serta merta mereka akan menanyakan berapa jumlah tabungan yang ada, atau setidaknya langsung membuka penutup kaleng ‘celengan’ miliki mereka masing-masing kemudian menghitungnya.

Bagaimana dengan satu kebiasaan lagi? Tentang berinfak. Selama ini saya akui sedikit bingung untuk memberikan penjelasan yang bisa diterima logika sepasang anak di bawah usia enam tahun tentang manfaat berinfak. Baik, saya sudah mengajarkan dan mencontohkan langsung bagaimana berinfak, kepada siapa dan untuk apa berinfak. Tetapi pertanyaan-pertanyaan polos mereka membuat saya berkeyakinan bahwa mereka belum benar-benar mengerti tentang infak. Misalnya, pernah suatu kali saya mengajarkan langsung agar mereka memberikan sejumlah uang untuk anak yatim. Kemudian mereka berujar, “Memang Ayahnya nggak kerja? Kok kita yang ngasih uang?”

Atau ketika seseorang yang kami persilahkan untuk makan di rumah kami, tiba-tiba saja putri kedua saya berseloroh polos, “Memang ibunya di rumah nggak masak ya?” Tentu saja kami harus meminta maaf teramat sangat kepadanya, khawatir perasaannya terluka oleh kalimat si kecil itu.

Anak-anak tidak cukup memahami kalimat, “Allah senang kalau kita bisa membantu orang lain” atau terlebih kalimat, “Berinfak itu, untungnya buat kita. Kita akan mendapatkan keuntungan berlipat ganda dengan berinfak”. Meski kalimat-kalimat tersebut sudah saya ubah menjadi kalimat yang lebih pas dan lebih bisa dipahami untuk usia mereka, tetap saja kesimpulan mereka tidak berubah. Bahwa menabung lebih baik daripada berinfak. Dalam batas pikiran mereka, menabung sama dengan menyimpan dan mengumpulkan uang. Uangnya terlihat, tidak berkurang dan terus bertambah sehingga suatu saat bisa digunakan untuk membeli sesuatu yang diinginkan.

Tetapi berinfak, mereka lebih melihatnya sebagai ‘membuang’ uang, atau memberikan uang secara cuma-cuma kepada fakir miskin, pengemis, anak yatim atau kaum dhuafa (lemah) lainnya yang sangat membutuhkan. Anak-anak pun tidak mampu menangkap manfaat langsung dari berinfak. Misalnya ketika pada satu kesempatan mereka meminta sejumlah uang untuk jajan, kemudian saya bilang uangnya sudah habis, lantas mereka berkata, “Tadi uangnya dikasih tukang minta-minta sih…” Nah, dalam perspektif mereka, berinfak itu merugikan.

Setelah sekian lama, akhirnya saya mulai bisa menemukan sedikit cara memberikan pemahaman tentang berinfak kepada kedua putri saya. Suatu hari saya membelikan mereka mainan saat pulang dari kantor. Mereka sangat bahagia mendapatkan mainan itu, namun cukup kritis untuk bertanya, “Katanya Abi nggak punya uang? Kok bisa beliin mainan?”

Di sinilah kesempatan pelajaran berinfak itu datang. Lalu saya mengajaknya berdialog, “masih ingat nggak waktu teteh sama dede ngasih uang ke tukang minta-minta kemarin?” mereka pun mengangguk. “Nah, karena teteh dan dede sudah baik sama tukang minta-minta itu, Allah sayang sama kita. Uang yang Abi pakai untuk membeli mainan ini, hadiah dari Allah karena memberi uang untuk tukang minta-minta”.

Begitu seterusnya, setiap kali saya membelikan apapun untuk anak-anak. Selalu menjelaskan, bahwa ini hadiah dari Allah karena sudah berinfak. Hingga suatu hari, saya merasa mereka sudah mulai memahami ketika mendengar anak saya berkata, “pasti hadiah dari Allah” saat saya membawakan lagi sesuatu untuknya. Kemudian mereka pun mengingat-ingat, beberapa hari lalu baru saja memberi uang kepada petugas pengumpul infak masjid di jalan raya.

***

Berinfak sesungguhnya pun menabung. Menabung, hanya sejumlah yang ditabunglah yang didapat. Tetapi berinfak, yang didapat kembali jauh lebih banyak dari yang kita berikan. Berinfak, tidak (hanya) berbunga, bahkan berbuah. Buahnya sangat manis untuk dinikmati, dan takkan pernah habis karena akan terus bertambah dan bertambah. (Gaw)