Pelajaran dari Tukang Sol Sepatu

Kisah ini terjadi lebih dari duapuluh tahun yang lalu, saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Di masa itu, sepatu-sepatu yang rusak tidak langsung dibuang ke tempat sampah, seperti sekarang. Kalau kondisinya ‘masih terselamatkan’, maka sepatu cuma rusak sedikit masih bisa diperbaiki atas jasa para tukang sol sepatu.

Tukang sol sepatu keliling, biasanya berjalan keluar-masuk kampung, berkilo-kilo meter untuk menawarkan jasanya, mempermak sepatu-sepatu yang rusak.

Suatu hari ibu saya bermaksud ‘mereparasi’ beberapa sepatu milik keluarga kami. Mungkin sekitar lima pasang sepatu milik orangtua saya, adik saya dan saya sendiri yang harus di’reparasi’. Sudah menjadi kebiasaan ibu saya untuk menunggu tukang sol sepatu di sore hari, sekitar pukul setengah lima, karena banyak dari mereka yang tinggal di kampung sebelah dan biasanya sekitar jam itu mereka berjalan pulang.

Namun sore itu entah kenapa setelah beberapa lama menunggu di depan rumah tidak satupun tukang sol sepatu lewat. Mungkin hari itu mereka memilih lewat jalan lain, atau bisa jadi juga mereka sedang mudik ramai-ramai sehingga tak satupun lewat di jalan depan rumah.

Hampir pukul setengah enam sore ketika akhirnya seorang tukang sol sepatu lewat di muka rumah kami. Dengan gembira tentu saja ibu saya pun memanggil tukang sol sepatu ini. Setelah terjadi kesepakatan harga, mulailah si tukang sol sepatu mengerjakan tugasnya di halaman rumah kami.

Saat itu matahari mulai meredup sinarnya, langit mulai merah, tak lama lagi tentu adzan Maghrib akan berkumandang dari masjid kampung. Dengan logat khas Jawa Barat, Mamang tukang sol sepatu berkata pada ibu saya, “Bu, ini sudah hampir Maghrib. Saya harus pulang, harus sholat. Ini sepatunya saya bawa aja ya, Bu? Besok saya antar lagi kemari. Yah itu mah, kalau Ibu percaya sama saya. Kalau nggak boleh yah, gak apa-apa nggak jadi juga. Maaf ya Bu, saya betul-betul harus pulang, karena saya harus sholat”.

Saya yang mendengar perkataan si tukang sol sepatu memandang ibu saya, ingin tahu apa reaksi ibu. Pikiran kanak-kanak saya waktu itu berusaha mencerna, kenapa si Mang tidak mau menyelesaikan pekerjaannya? Apa ia malas? Kalau memang tidak mau mengerjakan, atau harga yang disepakati tidak cocok, kenapa tidak dari awal dia bilang? Ibu saya kemudian menawarkan si tukang sol sepatu untuk sholat di rumah kami, dan Mang tukang sol sepatu ini pun menerima tawaran ibu, dan bersedia melanjutkan pekerjaannya setelah sholat Maghrib.

Sampai sekarang kejadian ini masih membekas dalam ingatan saya. Ingatan akan seorang mulia yang ingin senantiasa menjaga shalatnya. Seseorang yang bahkan bersedia meninggalkan pekerjaan setengah jadinya dengan resiko tidak medapat upah yang seharusnya dia dapat demi menghadap Sang Kekasih.

Terkadang saya membandingkannya dengan kondisi saya sekarang, atau kondisi sekitar saya yang insya Allah jauh lebih beruntung daripada si Mang Tukang Sol Sepatu. Betapa seringnya kita menunda shalat untuk pekerjaan yang tidak terlalu penting, yang sebetulnya bisa kita kerjakan setelah shalat. Menonton tivi misalnya, atau sibuk membaca berita di internet. Tentu saja ini bukan apa-apa jika dibandingkan dengan tukang sol yang rela kehilangan kesempatan mengumpulkan rupiah demi sholatnya.

Bukankah kita tidak kehilangan apapun jika menunda sepuluh atau lima belas menit saja untuk sholat, baru kemudian meneruskan membaca berita? Bahkan sebetulnya kalau direnungkan kita akan kehilangan jika menunda sholat kita. Bukankah Ash sholatu afdholu fii awwali waqtiha? Shalat yang afdhol itu adalah di awal waktu…