Setiap Problema Pasti Beriring Solusi

Setiap Problema Pasti Beriring Solusi

“Aku terus menyuapkan potongan bakwan kepada si kecil nan lucu ini, abangnya tak mau kalah, menyantap bakwan, panas-panas di tengah malam, puas, batinku. Hasil gorengan pertama (bakwan buatan dua jagoanmu) itu sangat gurih dan membuatku ketagihan, tentu diriku turut menikmati suapan mereka, tangan-tangan mungil bergantian menyuapiku, langsung kosong piring di tanganku yang tadinya penuh dengan bakwan dan saos sambal. Alhamdulillah….” tulisku pada saat “laporan” kepada kekasih halalku via video-call, Saya dan anak-anak tetap beraktivitas di Krakow, sedangkan suamiku sedang berada di Lausanne, Swiss. Karena di seberang sana ia sedang menikmati makan malamnya, kita saling memandang di web-came itu, sementara tangan sibuk mengetikkan pesan cinta.

Namun, sikap antusiasnya seolah harus ditahan, ia malah “melaporkan” urusan lain, meskipun diriku mengetahui bahwa ia selalu sangat antusias jika mendengarkanku bercerita tentang tumbuh kembang anak-anaknya. “Rugi deh abimu, nak…. Dua minggu gak ketemu kalian, jangan lupa doain abi yah seusai sholat, dan jaga ummi-mu baik-baik… Mmmmuach…” ujarnya subuh itu seraya menciumi permata jiwa, ketika harus terbang dari Krakow ke Swiss selama dua minggu. Waktu terlama baginya untuk ‘tugas kantor’ yang kudu meninggalkan keluarga sejak tiga tahun terakhir ini. Biasanya bisnis-trip hanya tiga sampai lima hari saja.

Ia menuliskan balasan di pesan instant tersebut :

Tiba-tiba teleponku tadi berdering, “Assalamu’alaykum, brother…” suara di seberang sana mengawali percakapan.

“Ya, wa’alaykumussalaam warohmatullohi wabarokatuh… What’s up brother?” jawabku cepat. Lalu meminta maaf karena teleponnya itu sudah yang kesekian kalinya berdering, namun baru kuangkat, aku sedang meeting.

Ahmad maklum, saudara kita yang menelepon malam itu. Ia bercerita bahwa dirinya sedang menanti kelahiran bayi pertama, namun rencana yang semula sudah ia beritahukan dengan jelas kepadaku harus berubah, “Istriku harus operasi, sekarang sudah di dalam ruangan, brother… Tolong do’akan yah, syukron.”

Jadi, sekarang anaknya sudah lahir, lho sayang, kamu mungkin belum tau, karena Ahmad bilang bahwa “Ummu Azzam masih bercakap di skype dengan istriku malam-malam ketika istriku tak dapat memejamkan mata di rumah sakit. Pasti Ummu Azzam terkejut kalau tau bahwa pagi hari usai begadang itu, air ketuban istriku mengalir, dan selanjutnya kejadiannya begitu cepat….”

Tentu segera kubalas, “Haaaaaaaa?! Jadi sudah lahiran, benarkah? Subhanalloh… Memang prediksinya masih dua minggu lagi, tapi istri brother Ahmad itu lupa tanggal akhir haid sebelum kehamilannya, jadi hitungan di USG bedanya terlalu jauh, ditambah komunikasi sulit, dokter tak dapat menjelaskan banyak hal sedangkan pasiennya juga tak mengerti bahasa Polish sedikit pun. Kami begadang gara-gara kartu identitas sister hilang, selera makannya terganggu dan ia masih terus diinfus, aku sangat risau, kukatakan padanya bahwa kartu itu sangat penting saat registrasi nama anak ke kantor pemerintah. Dan kubujuk dirinya agar mau menjamah menu di rumah sakit, jangan sampai bad-mood menular kepada bayi suci di rahimnya. Alhamdulillah, brother telah melaporkan kasus hilangnya dokumen itu ke kantor polisi dan memperoleh surat keterangan dari pihak kepolisian supaya mereka mengurus kembali kartu identitas pengganti. Subhanalloh…. Detik-detik kelahiran sang bayi di Krakow, ayahnya sedang di ujung-ujung kesibukan disertasi, ibunya dua bulan harus berada di rumah sakit, keluarga besar jauh di benua asia, tiba-tiba kehilangan dokumen penting dan ternyata harus di operasi caesar karena ketuban telah pecah dan itu pun sangat sedikit serta keruh, dokter tidak mau ambil resiko yang lebih besar, bayi mungil yang baru sekitar dua kilo gram itu harus dilahirkan, Ujian mereka dahsyat yah sayang?” sosok di depan web-came itu tersenyum, dan mengajak berdo’a semoga brother dan sister kami itu selalu memperoleh kekuatan dan samudera keikhlasan dalam menyelesaikan problema satu persatu.

“Sudah kuceritakan padanya bahwa kita pun pernah berada di posisi yang mirip seperti saat itu, dan memang tidak ada pilihan buat kita selain ikhlas, tetap bersyukur dan bersabar, semua peristiwa yang kita alami bagaikan taburan bintang penghias malam, cantik. Btw, kamu naik taksi aja kalau ke rumah sakit, jangan lama-lama, jagoanmu yang dua bisa di rumah, si bungsu aja yang dibawa, yah sayang….” ujarnya, kemudian melempar foto pelangi di jendela kamar hotel tempatnya menginap, membuat hatiku kian berbunga menyambut ashar sore itu.

***

“I am fine, very good, my sister… Don’t worry…” sisterku membalas sms tatkala kutanyakan kabarnya. Istri dari brother Ahmad, dan sister yang satu lagi membalasi smsku, sama, mengungkapkan kebahagiaan akan lahirnya permata hati. Alhamdulillah, keduanya manten baru, sekitar setahun setengah lalu dua undangan pernikahan mereka memang mewarnai milist kami, yang satu undangan ke India, yang satu lagi ke Cairo, (berat di ongkos kalau kami langsung terbang kesana). Sehingga tentu kami sampaikan untaian do’a dan membalas undangan email tersebut dengan ucapan semoga Allah memberkahi pernikahan mereka.

Mereka sedang bergembira. Sisterku lainnya, Aminah, sedang resah menentukan pilihan. Aku bingung. Sohibku Yasmin mengirimi sms dari Turkey, mengabarkan bahwa ia mulai bertugas mengajar kembali. Aku turut bahagia mendengarnya, ia tetap bersemangat, meskipun ada orang gila yang diam-diam melaporkannya sebagai guru yang tidak mematuhi aturan (pemerintah), ia mengajar di sekolah selevel SMP, yang dalam aturan UU, tidak boleh berhijab. Semoga Allah ta’ala selalu menjaganya, aamiin. Lagi-lagi sms dan email Aminah membingungkanku. Menjadi kabut hatiku yang seharusnya banyak bersyukur akan kelahiran dua bayi saudaraku nan sehat.

Aminah ini adalah sohib muallaf yang baru beberapa bulan bersyahadat, yang memberanikan diri datang dari luar kota Krakow demi menjumpaiku dan sisters lainnya. Sebenarnya Aminah baru saja mengirimkan kabar baik tentang lulus sekolahnya. “Saya senang sekali, dear…. Gratulacje, Sekarang kamu sudah lulus SMU, sudah genap delapan belas tahun pula…” pujiku saat itu.

Hal yang membuatku bingung adalah ketika Aminah bilang bahwa ia berterus terang tentang keislamannya pada ibunya, sang ibu marah-marah, dan tidak mengizinkannya ke Krakow lagi. Akhirnya si ayah ikut tau, dan terang-terangan melarangnya untuk memilih universitas di Krakow. Aminah sedih. Ia mau berkuliah di Krakow. Aku bingung mencari jawaban atas sejumlah tanya, “Sister Ry, what should I do? I will go to Krakow or another place … Saya mau lari dari tempat yang tidak bebas beribadah ini. Saya mau hidup normal, bisa sholat normal, puasa, dan tidak diganggu anjing mama saya lagi, juga bersama-sama dengan saudari yang lain… Itu kata hati saya… Tolonglah sister, bagaimana sebaiknya bersikap, tinggal tiga hari lagi pendaftaran di universitas itu…hiks…” ia berbagi rasa.

Namun jelas ia tau, tak perlu menunggu jawabanku selanjutnya ketika kukatakan, “Be calm down, sist…kamu kan memang anak papa dan mama, wajar saja kalau mereka lebih mengkhawatirkanmu kalau kuliah di luar kota. Soal marah-marah akan keislamanmu, pelan-pelan menghadapinya, sabar dear, kamu sudah banyak tau akan kondisi saudari kita lainnya yang sepertimu. Saya yakin bahwa kamu kuat, kamu bisa menyelesaikan problema ini, kamu tanyakan kepada Allah, sist. Saya turut berdo’a dari sini, yah…” berat sekali mengeluarkan kalimat itu. Namun sejujurnya diri ini memang hanya mampu mendo’akannya, tak kulayani jika pertanyaan kekanakan muncul dari sisters di Krakow (yang merupakan muallaf). Misalnya pertanyaan untuk menikah tak resmi atau minggat dari rumah orang tuanya yang atheis, perlahan mereka bisa menyimpulkan bahwa ranah urusan yang sangat privasi seperti itu, tidak bisa melibatkan diriku atau saudara lainnya, terutama bagi kami sebagai orang asing di kota ini.

***

Usai melalui hari-hari yang ekstra sibuk ketika sulungku ujian sekolah dan hadir beberapa tamu muslimah di Krakow, di akhir minggu kami menyempatkan diri untuk menengok bayi dari brother Ahmad, Alhamdulillah, si mungil yang lahir premature itu tampak sehat meski berat badannya hanya dua koma tiga kilo gram tatkala kugendong. Subhanalloh, wajah sumringah kedua orang tuanya amat bercahaya, kami pun sangat bahagia melihat kelegaan dan kegembiraan mereka, anak-anakku pun menciumi si bayi mungil nan menggemaskan.

Cuaca siang itu sangat terik, kami hanya 40 menit berada di flat brother Ahmad, karena di libur panjang musim panas kami harus memperhatikan jadwal bus, armada bus dan tram berkurang, sehingga menanti jadwal bus selanjutnya adalah satu jam jika ketinggalan di jadwal sebelumnya. Ketika kami baca informasi di layar televisi bus, ternyata suhu mencapai 40 derajat Celsius, kelembaban amat rendah, pantas saja tenggorokan kering. Orang-orang di sekitar kami bengong memperhatikan “kelangkaan” pakaianku, mereka tak tahan akan panasnya mentari, ada yang bertanya, kira-kira artinya begini, “Pani, kamu keringatan, tuh… Koq pakai sweater? Kenapa tak membuka kain di kepalamu?” hal semacam ini sudah kualami lebih dari tiga kali, di tempat yang berbeda. Nenek yang bertanya menggunakan pakaian transparan warna putih, tanpa pakaian dalam, celana pendek warna kopi susu, bersandal motif bunga, dan kuku tangannya diberi warna hijau, senada dengan tas hijaunya.

“Pakaian saya memang begini, babciaWiem. Saya tau tentang keringatan, tapi kan berarti sehat, hehehe, gak apa-apa, baju ini nyaman koq…” senyumku, disambung ucapan dalam hati, “Yeaaah…Makanya Saya mau buru-buru pulang, supaya ngadem di kamarku sendiri, hehehe…” (#syukur walhamdulillah atas segala nikmat-Mu, ya Robbi…)

Dengan berlarian bagaikan jogging, seusai turun di halte bus,kami segera berebut masuk rumah, berlima mencuci tangan bareng, lalu dengan ekspresi tenggorokan kering, semuanya mau meneguk jus dingin dari kulkas, “Ooooh, Alhamdulillaaah, leganya….. nyessss….” Jadi teringat bahwa sebentar lagi akan datang bulan puasa, Ya Allah, semoga kami bisa berjumpa ramadhan yang tinggal beberapa hari lagi, aamiin.

Dan ternyata akhir minggu nan letih itu teruntai berita gembira. Usai sholat dzuhur bersama, Saya membaca email dari sister Aminah, sehari sebelumnya memang kukirim email untuknya, email yang menanyakan tentang keputusan pilihan registrasi lanjutan kuliahnya.

“Wa Aleikum Selam my sister 🙂

Do you know that I saw you in my dreams ? 🙂 Last night, and then I wanted to write to you, but you were first :))) Love…love…love…” tulisnya. “Sister, kamu benar…. Ayahku ternyata memberi izin untuk tes kuliah di Krakow, Walhamdulillah, hanya saja ada nilai salah satu pelajaranku yang kurang bagus….” lanjutnya. Ia meneruskan kalimat bahwa ia akan ujian ulang untuk pelajaran tersebut, maka ia mengharapkan untaian do’a pula agar kian dimudahkan-Nya saat ujian meraih cita-citanya itu. Hanya hari-hari ‘bernegosiasi’ atas izin masuk tes kuliah itu saja yang berat buatnya, selain hal itu, ia merasakan bahagia lahir bathin, apalagi sebentar lagi ramadhan akan tiba. Subhanalloh…

Selamat meneruskan perjuangan Aminah, bisik nuraniku… Sisterku yang sepuluh tahun lebih muda dari usiaku, Aminah, Sisterku yang bersikap lebih dewasa dibandingkan remaja seusianya. Ketika suatu hari ia bertamu dan kuambilkan minuman, ia bilang, “Tidak sister… kamu lebih capek dari pada saya, kamu yang harus minum duluan…” begitu pula tatkala ada kursi kosong di bus, “Saya tidak mau duduk sister, kamu lebih capek dan lebih tua dari pada saya, kamu yang lebih pantas untuk duduk…” betapa besar rasa cinta tatkala Allah ta’ala yang menyatukan hati kita. Dan hari ini benang-benang kusut di kepalaku sudah rapi kembali, ternyata bersujud kepada-Nya memang solusi paling mujarab sepanjang masa, semua problema pasti beriring solusi, bukankah Dia adalah Sang Pemilik nan Maha Sempurna? Kepada-Nya lah kita kelak akan kembali. (bidadari_Azzam, @Krakow, malam 14 juli 2012)