Manusia terbagi dalam tiga golongan. Masing-masing golongan mempunyai karakter, dan orientasi sendiri-sendiri. Menurut Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah, pertama, golongan yang hanya menuruti hawa nafsunya.
Mereka tidak rela melainkan terhadap apa yang diberikan orang lain kepada mereka. Mereka tidak marah melainkan jika orang lain menghalanginya dari sesuatu yang diingininya. Jika seorang dari mereka diberikan apa saja yang disenanginya, baik yang halal maupun yang haram, maka kemarahannya akan segera hilang dan merasa puas. Mereka berbalik memberikan kesetiaannya.
Kemudian, perkara yang pendapatnya semula mungkar – di mana ia melarang dari hal mungkar tersebut, memberikan sanksi, celaan dan murkaan pada pelakunya akan berbalik menjadi suatu yang disenanginya. Ia menjadi sekutunya dan membantunya, serta menentang siapa saja yang melarang dan mengingkarinya. Mengapa demikian?
Penyebabnya tak lain karena manusia itu zalim dan bodoh. Ia tidak suka berbuat adil. Ketika ia melihat suatu kaum mengingkari kezaliman pemimpin terhadap rakyatnya, dan sikap melampui batasnya terhadap mereka. Tapi, kemudian pemimpin itu membuat senang mereka yang mengingkarinya dengan suatu hal, lalu mereka berubah menjadi pendukungnya. Inilah sikap yang menonjol dalam kehidupan orang-orang yang sudah dikendalkan nafsu.
Golongan kedua, kaum yang berbuat menurut agama yang benar. Mereka ikhlas, karena Allah dalam melaukan semua itu, melakukan perbaikan dalam segala yang hal, dan beristiqamah,s ehingga mampu bersabar menghadapi cobaan yang menimpa mereka. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan tergolong orang-orang yang shalih.
Sedangkan golongan ketiga, kaum yang dalam diri mereka berhimpun segala hal. Umumnya, mereka adalah kaum muslimin, yang dalam diri mereka berhimpun agama dan syahwat, yang ingin melakukan ketaatan dan berbareng dengan keinginan melakukan kemaksiatan. Adakalanya mereka menang, tapi ada kalanya mereka kalah.
Sehingga, manusia menjadi tiga golongan ini, yang disebut dengan tiga macam nafsu, “Ammarah, Muthma’innah, dan Lawwamah”.
Kemudian, dalam shiroh terdapat kisah yang disampaikan oleh Shahabat Ali bin Abi Thalib yang telah melaksanakan kebaikan-kebaikan yang pernah dijalankan oleh Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, dan membawa misi yan amat berat. Tokoh yang kelak diambil menantu Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam, dan menikahi Fatimah itu, memang selalu ditakdirkan menghadapi kehidupan yang sulit. Adapun, kenikmatan, kemewahan, bahkan semata-mata istirahat pun, hal-hal yang tak layak bagi Ali.
Ali melihat keadaan keadaan Rasulullah , di saat bahaya yang beliau hadapi bersama pamannya Abu Thalib, dan bahaya itu telah mencapai puncak yang sangat mengkawatirkan, maka tampillah keutamaannya dalam kebesaran yang agung, hingga mampu mengatasi marabaya, terungkap dari kalimat beliau, ketika menghadapi keinginan kaum kafir Qurays, yang dipimpin Abu Sofyan, dan ungkapan itu , “Demi Allah meskipun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, aku tetap tiak akan meninggalkan urusan ini sampai akhirnya Allah menjadikannya berhasil, atau aku binasa karenanya”.
Pada peristiwa lainnya, Ali melihat pula sikap seperti itu, di saat pembebasan Makkah (Yaumul Fath). Nasib kaum Qurays saat itu benar-benar tergantung kepada keputusan yangakan keluar dari Rasulullah. Kiranya jiwa pemaafnya tampil ke depan dengan segala keramah tamahannya yang luas dan kasih sayangnya yang menyejukkan. Perbuatan mereka yang selama ini, membunuh sanak keluarga dan para shahabatnya, mengunyah-ngunyah hati pamannya dan mencincang jasadnya, semua dilupakannya. Ali menyaksikan semuanya itu.
Tidak mungkin sifat-sifat seperti itu akan dimiliki oleh jenis manusia yang selalu dipenuh dengan hawa nafsunya.
Shahabat Ali tahu dan belajar dari Rasulullah, ketika beliau membatasi dirinya untuk tidak meminum susu, ia memberikannya kepada seorang muslim yang miskin.
Dan, suatu ketika Ali menyuruh isterinya Fatimah, puteri Rasulullah Shllahu Alaihi Wa Sallam, meminta agar diberi bagian , walau sedikit, sebagaimana biasa yang diperolehya dengan mudah oleh kaum muslimin lainnya. Namun, Rasulullah dengan air mata berlinang, sebagai bukti kasih sayang seoran ayah kepada anaknya, menjawab,
“Tidak, Fatimah ..
Bapak tidak akan memberikannya kepadamu, sementara kaum muslimin yang miskin tidak mendapatkannya”, ucap Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Salam kepada puterinya Fatimah.
Sedih memang. Tapi, itulah hakekat manusia yang tidak lagi dibelenggu oleh hawa nafsunya. Walllahu ‘alam. [email protected]