Intellectual Impacts

C. INTELLECTUAL IMPACTS

Masih segar dalam ingatan kita ketika Menteri Riset dan Teknologi di zaman reformasi yang pernah melontarkan ide kerjasama pengembangan teknologi di pesantren dengan komunitas jin. Di zaman rezim (Presiden) berikutnya, ada pula seorang menteri yang memerintahkan pasukannya menggali situs di kota Bogor setelah mendapat bisikan dari salah seorang yang mengatakan di dalam situs tersebut terdapat tumpukan emas murni yang konon jumlahnya sangat besar. Ketika ditanya wartawan kenapa situs tersebut digali, sang Mentri yang doktor lulusan salah satu Universitas Islam ternama di Mekkah tersebut dengan enteng menjawab, bahwa di dalamnya terdapat tumpukan emas murni yang jumlahnya cukup untuk menutupi utang luar negeri Indonesia yang mencapai lebih dari 160 milyar Dolar Amerika.

Ide Menteri pertama memang tidak menyebabkan masyarakat heboh, mungkin karena tidak menyentuh langsung kepentingan masyarakat, apalagi baru sebatas wacana dan belum pernah diujicoba – dan tidak akan pernah mampu — yang formatnya juga masih majhul. Sedangkan ide Menteri yang kedua mendapatkan perlawanan keras dari mayarakat khususnya masyarakat pencinta sejarah dan peniggalan kuno, dan bahkan sang Menteri sempat diadukan ke aparat penegak hukum karena dituduh merusak peninggalan bersejarah di kota hujan tersebut. Namun demikian, ide kedua Menteri tersebut sama konyolnya dan sama-sama menunjukkan tingkat dan kualitas intelektualitas mereka yang sesungguhnya.

Di zaman para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw juga terdapat berbagai ide dan perilaku konyol yang menunjukkan rendahnya tingkat intelektualitas para pemilik ide dan pelaku-pelakuanya. Al-Qur’an menceritakan dalam berbagai Surah untuk berbagai kasus kekkonyolan orang-orang yang memiliki ide dan perilaku rendahan tersebut. Dalam surah Al-A’raf (7) : 138, misalnya, Allah menceritakan betapa konyolnya ide Bani Israel ketika mereka Allah selamatkan dari kejeran Fir’aun dan pasukannya di Laut Merah. Setelah Allah selamatkan mereka dengan mukjizat yang maha dahsyat, yakni terbelahnya laut merah agar mereka bisa menyeberanginya dengan selamat. Namun, ketika mereka melihat sekelompok masyarakat yang menyembah berhala, maka dengan spontan timbul ide mereka untuk menyembah berhala dan meminta pada Nabi Musa untuk dibuatkan pula tuhan yang disembah selain Allah. Mereka lupa akan keagungan dan kebesaran ayat Allah yang mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri terkait terbelahnya laut mera yang baru saja mereka alami. Allah menceritakan hal tersebut sebagaimana firman-Nya :

وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (138)
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang telah menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)". Musa menjawab: Sesungguhnya kamu ini benar-benarkaum jahiliyah (yang tidak mau mengetahui sifat-sifat Tuhan (Ailah) yang pantas disembah)." (Q.S. ِAl-A’raf (7):138)

Kasus lain ketika Nabi Nuh As menyeru masyarakatnya untuk mengabdi hanya kepada Tuhan Pencipta, bukan kepada tuhan-tuhan hasil rekaan dan rekayasa nenek moyang mereka. Mereka dengan vokal dan kasar menolak ajakan itu hanya karena Nuh juga manusia, pengikutnya orang-orang sederhana dan Nuh tidak dari kalangan konglomerat. Sampai-sampai Nabi Nuh yang berda’wah kepada kaumnya selama 950 tahun itu menjelaskan bahwa Dia mendapatkan wahyu dan petunjuk yang amat jelas dari Tuhan Penciptanya, namun tetap membangun sikap apriori dan negative thinking dan serta tidak mau mendengarkan apalagi memikirkan kebenaran yang disampaikan Nabi Nuh. Mereka malah mengajukan syarat yang tidak logis, yakni mendiskriminasi pengikut-pengikut Nabi Nuh yang sudah beriman dengan alasan mereka orang-orang sederhana, tidak seperti mereka yang kaya raya dan keren. Dalam kasus penolakan atas kebenaran konsep Tauhid itu, Nabi Nuh juga mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Nabi Musa :

وَيَا قَوْمِ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالا إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى اللَّهِ وَمَا أَنَا بِطَارِدِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّهُمْ مُلاقُو رَبِّهِمْ وَلَكِنِّي أَرَاكُمْ قَوْمًا تَجْهَلُونَ (29)
“Dan (dia berkata): "Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhan Pencipta mereka. Akan tetapi aku memandangmu kaum jahiliyah (yakni tidak mau memahami sifat-sifat Tuhan (Allah) yang pantas disembah).” (Q.S. Hud (11) : 29)

Dalam kasus lain, Al-Qur’an juga mengangkat cerita perilaku seks kaum Luth yang menyimpang. Penyimpangan perilaku seks kaum Luth juga bersumber dari ketidakpahaman mereka terhadap Tuhan yang pantas disembah dan ditaati. Dengan dugaan sederhana mereka mengira persoalan hubungan seks itu murni persoalan pribadi sehingga bebas menyalurkannya sesuai nafsu dan birahi mereka, kendati tidak fitri (normal). Nasihat Nabi Luth untuk tidak menjalankan praktik seks menyimpang itu mereka tanggapi dengan reaksi sangat kasar sampai-sampai mereka hendak mengusir Nabi Luth dari kampungnya, dan bahkan menuduh Luth dan para pengikutnya sok suci. Sebagai balasan dari perilaku seks menyimpang dan pembangkangan terhadap Nabi Luth, Allah turunkan kepada mereka azab berupa hujan batu panas dari neraka sehingga hancurlah mereka semua.

Lalu Allah selamatkan Nabi Luth dan keluarganya kecuali istrinya termasuk yang menerima azab dari Allah. Dalam kasus penyimpangan seks tersebut, Nabi Luth juga memberikan komentar yang sama, yakni :

أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (55)
“Kenapa kalian menyalurkan syahwat kepada sesama lelaki dan bukan kepada wanita (lawan jenis)? Sungguh kalian itu orang-orang yang sedang berada dalam jahiliyah, (yakni tidak mau memahami sifat-sifat Tuhan yang pantas disembah dan ditaati) (Q.S. An-Naml (27): 55)

Kasus yang dihadapi oleh Nabi Hud As tidak kalah serunya dibandingkan tiga kasus di atas. Kaum ‘Ad yang tinggal sekampung dengan Nabi Hud yang gigih menyerukan konsep Tauhid dengan segala konsekuensinya, selalu dihujat kaumnya dan dituduh melakukan subversif karena mau menggantikan ideologi peninggalan nenek moyang mereka yang musyrik (menyekutukan Tuhan Pencipta). Mereka juga menantang Nabi Hud agar diturunkan azab saja jika yang dibawa Nabi Hud itu adalah kebenaran. Dalam menanggapi ide yang tidak logis tersebut, Nabi Hud menanggapinya dengan rendah hati:
قَالَ إِنَّمَا الْعِلْمُ عِنْدَ اللَّهِ وَأُبَلِّغُكُمْ مَا أُرْسِلْتُ بِهِ وَلَكِنِّي أَرَاكُمْ قَوْمًا تَجْهَلُونَ (23)
“Ia berkata Sesungguhnya pengetahuan (tentang itu) hanya pada sisi Allah dan aku (hanya) menyampaikan kepadamu apa yang aku diutus dengan membawanya tetapi aku lihat kamu adalah kaum yang sedang dalam keadaan jahiliyah (tidak memahami Tuhan mana yang patut disembah dan ditaati).” (Q.S. Al-Ahqaf (46): 23)

Empat kasus yang terjadi di zaman sebelum Nabi Muhammad Saw. di atas adalah catatan sejarah yang sangat berharga. Kisah-kisah tersebut menjelaskan kepada kita betapa intelektualitas yang sudah ternoda oleh kecintaan pada kemusyrikan dan sudah dikendalikan hawa nafsu menjadi lumpuh dan tidak berdayaguna sedikitpun. Nalar jadi tumpul, tak mampu memahami nilai-nilai kebenaran hakiki, khususnya yang terkait Knsep Tauhid (mengesakan Allah sebagai Tuhan Pencipta, Tuhan Yang disembah dan ditaati dan Tuhan yang memiliki sifat dan nama-nama agung yang mustahil dapat ditiru manusia apalagi menyerupainya).

Terhadap tipologi manusia seperti itu, Al-Qur’an menggunkan kata jahiliyah yang berasal dari akar kata jahala. Sedangkan jahala dalam bahasa Al-Qur’an bukan berarti “tidah bisa baca tulis” atau “buta aksara”, melainkan tidak bisa menalar kebenaran yang diturunkan Tuhan Pencipta kepada para Nabi dan Rasul-Nya, seperti yang diangkat dalam empat kasus di atas, kebenaran konsep Tauhid yang konsekuensi logisnya adalah ketaatan mutlak terhadap semua aturan kehidupan dari Tuhan Pencipta.

Sebab itu, INTELLECTUAL IMPACTS dalam metode SEI Empowerment melahirkan tiga sifat (character) mulia, yakni Aqidah Bersih (keyakinan hidup yang bersih sesuai konsep Tauhid, yakni terhindar dari keyakinan, perkataan dan perbuatan syirik), Ibadah Benar dan Wawasan Luas. Semua itu merupakan puncak dari kematangan dan ketinggian pencapaian kecerdasan intelektual manusia. Kecerdasasan intelektual yang hanya mampu menghitung angka-angka dan sistem yang ada pada penciptaan makhluk di langit dan bumi, termasuk manusia itu sendiri, namun tidak menyampaikan pemiliknya kepada kebenaran Tuhan Pencipta, bukanlah kecerdasan yang prima atau unggul. Melainkan kecerdasan biasa, karena tidak sedikit orang bodoh yang tidak tau angka-angka juga bisa menghitung arah angin dan bintang untuk petunjuk jalan di laut atau di padang pasir.

Kecerdasan intelektual yang juga mampu merangkai dan merekayasa potensi alam menjadi sarana dan fasilitas yang bermanfaat, seperti teknologi komunikasi, informasi dan transportasi, namun jika hanya ITU, dan tidak mampu menyampaikan kepada pemahaman urgensi ketaatan kepada Tuhan Maha Perkasa yang berdiri dibalik semua itu, TIDAKLAH PANTAS disebut kecerdasan intelektual yang sesungguhnya. Tingkat kecerdasan seperti itu sebenarnya biasa saja, tidak pantas dikagumi, apalagi diagung-agungkan. Karena kecerdasan akal semacam itu hanya akan menyebabkan kehancuran besar bagi bumi dan seisinya seperti yang dilakukan oleh sekelompk penguasa dan pengusaha di dunia sekarang ini.