Bercermin Dari Wasiat Nabi Kepada Abdurrahman bin ‘Auf

padangpasirOleh : Irvan Riviandana Nst – Mahasiswa S1 Tingkat Akhir Teknik Kimia Univ. Islam Indonesia

Latar Sejarah Munculnya Wasiat

Pada bulan Sya’ban tahun keenam Hijriah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai pimpinan Negara Islam Madinah pada saat itu mengutus seorang duta untuk berdakwah ke daerah perbatasan antara Jazirah dan Syam, yakni sebuah wilayah datar yang dikenal dengan nama Daumatul Jandal (Moenawar Chalil, 2001). Daerah ini berada di timur laut Madinah dengan jarah tempuh sejauh 15 hari perjalanan dari Madinah dan sudah dekat dengan Damaskus. Disana hiduplah satu bani (keluarga/suku) yang dikenal dengan nama Bani Kalb (keluarga anjing) yang mayoritasnya beragama Kristen Katolik, sebagaimana agama penguasa mereka yakni Kekaisaran Romawi sebelum akhirnya cahaya Islam datang menyinari kehidupan mereka. Sebab daerah ini berada di pinggiran Syam, maka meskipun bernama Suku Anjing, namun rupa mereka tidaklah buruk menyerupai anjing. Mereka lebih mirip orang-orang Syam, dengan badan tinggi dan wajah-wajah yang cantik dan tampan.

Sebagai pembawa risalah, menjadi tugas utama Rasulullah-lah untuk berdakwah. Menyerukan kalimat tauhid hingga tiada satu manusia pun di muka bumi yang mengingkari keesaan dan kekuasaan Allah semata adalah misi utama dari dakwah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu sebagai kepala negara sekaligus pemerintahan, tentu Rasulullah memiliki otoritas penuh untuk mengutus duta-duta negara ke suatu wilayah demi mengemban amanah penyampaian risalah Islam ke seluruh pelosok. Maka pengutusan duta ke Daumatul Jandal ini pula bagian daripada syiar Islam yang dilakukan oleh Rasulullah beserta para shahabat guna memurnikan tauhid pada mereka yang telah mencemarinya, atau mengenalkannya pada mereka yang belum mengenalnya. Terlebih lagi Daumatul Jandal adalah salah satu wilayah strategis sebab ia adalah pintu gerbang yang biasa dilalui kafilah dagang yang hendak lalu lalang dari Hijaz dan Jazirah ke Syam atau sebaliknya, bila wilayah ini telah disinari dengan cahaya Islam tentulah akan memudahkan Islam untuk lebih tersebar luas lagi pada masa nantinya.

Tersebutlah seorang shahabat utama dari golongan As-sabiqun Al-Awwalun sekaligus Muhajirin bernama Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu ‘anhu. Satu diantara sepuluh shahabat yang semasa hidup pun telah Rasulullah jaminkan masuk ke dalam surga. Seorang shahabat yang teramat kaya, bahkan ia sanggup menyumbang 700 ekor unta bermuatan harta benda penuh untuk dakwah Islam dan perjuangan di jalan-Nya. Yang meski demikian ia tetaplah zuhud dan anti kekuasaan. Sebab tatkala Amirul Mu’minin Umar bin Khattab menunjuknya sebagai salah seorang yang pantas dibai’at sebagai khalifah umat Islam sepeninggal beliau, maka Abdurrahman bin ‘Auf dengan tegas menolaknya (Khalid Muhammad Khalid, 2007).

Dialah Abdurrahman bin ‘Auf yang dipilih Nabi sebagai duta ke Daumatul Jandal, lengkap bersama sejumlah pasukan untuk mengantisipasi kalau-kalau Bani Kalb malah menyatakan perang. Sebagai salah satu generasi yang paling awal dibina Rasul, bahkan jauh sebelum Rasul menjadikan Darul Arqam di Makkah sebagai pusat pembinaan ke-Islaman, Abdurrahman bin ‘Auf dipandang telah matang dan sangat representatif untuk menyampaikan Islam ke Daumatul Jandal.

Sebagaimana duta-duta Islam yang lain, adalah suatu hal yang lazim bagi mereka untuk mendapatkan wasiat dari Rasulullah sebelum keberangkatannya sebagai bekal ruhaniyyah di perjalanan. Maka pagi itu datanglah Abdurrahman bin ‘Auf menghadap Nabi, dan dalam forum itu turut serta pula seorang shahabat bernama Abdullah putra dari Umar bin Khattab yang dalam riwayat dikisahkan telah bertekad sedari malamnya untuk bisa mengikuti forum itu demi mendengar wasiat Rasulullah pada Abdurrahman bin ‘Auf. Abdullah bin Umar inilah yang kemudian menjadi perawi (periwayat) dari hadits wasiat Rasulullah untuk Abdurrahman bin ‘Auf. Dan tentu saja amalan beliau yang bertekad kuat untuk datang ke forum itu karena hausnya akan ilmu, lalu turut menyimak wasiat Rasulullah, dan akhirnya mampu meriwayatkan hadits ini amatlah sangat mulia, sepatutnya kita mampu mencontoh semangat beliau dalam mencari ilmu.

 

Isi Wasiat

Apakah kiranya wasiat Rasulullah pada Abdurrahman bin ‘Auf itu? Marilah kita simak dengan seksama. Dalam kitab At-Targhib wat-Tarhib karya Imam Al-Mundziri, dicatatlah hadits yang sangat berharga itu, yakni pada bab Peringatan dari Mengurangi Takaran dan Timbangan, disebutkan:

 

Ibnu ‘Umar bin Al-Khatthab radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menghadap ke arah kami dan bersabda: ‘Wahai sekalian kaum Muhajirin, ada lima hal yang menimpa kalian (dan aku berlindung kepada Allah supaya kalian tidak menjumpainya); (1)Tidaklah tampak pada suatu kaum perbuatan zina sehingga dilakukan secara terang-terangan (sebab telah terbiasa dan telah hilang rasa malu) melainkan akan tersebar tha’un (wabah) di tengah-tengah mereka dan penyakit-penyakit yang tidak pernah menjangkiti generasi sebelumnya; (2)Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan melainkan (mereka) akan ditimpa paceklik, susahnya penghidupan dan kezhaliman penguasa atas mereka; (3)Tidaklah mereka menahan zakat (tidak membayarkannya) melainkan akan ditahan hujan dari langit untuk mereka (tidak akan diturunkan hujan), dan sekiranya bukan karena hewan-hewan, niscaya manusia tidak akan diberi hujan; (4)Tidaklah mereka melanggar perjanjian mereka dengan Allah dan Rasul-Nya, melainkan Allah akan menjadikan musuh mereka (dari kalangan selain mereka; orang kafir) berkuasa atas mereka, lalu musuh tersebut mengambil sebagian dari apa yang mereka miliki; (5)Dan selama pemimpin-pemimpin mereka (kaum Muslimin) tidak berhukum dengan Kitabullah (Al-Qur’an) dan (tidak pula ia) mengambil yang terbaik dari apa-apa yang diturunkan oleh Allah (yakni syariat Islam), maka Allah akan menjadikan permusuhan di antara mereka (memecah belah mereka).’.” (H.R. Ibnu Majah dan Al-Hakim, hadits shahih).

 

Hikmah dan Pelajaran Dari Wasiat Tersebut

Inilah lima wasiat besar Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam kepada Abdurrahman bin ‘Auf saat melepas keberangkatannya untuk berdakwah ke Daumatul Jandal. Dan sungguh wasiat ini hakikatnya tidak hanya berlaku pada masa itu sahaja, tidak pula hanya berlaku untuk Abdurrahman bin ‘Auf saja, melainkan wasiat ini ialah untuk seluruh pengikutnya dari masa ke masa, dimanapun mereka berada. Sungguhlah bila kita bercermin atas apa yang terjadi pada tubuh umat Islam belakangan ini, terlebih lagi pada tubuh umat Islam di Indonesia, akan kita dapati kebenaran dari pesan Rasulullah sang khatamul anbiya’.

Tidakkah hadits ini cukup menjadi tamparan untuk kita? Sungguh benarlah setiap sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka sudah saatnyalah kita berbenah meninggalkan kebiasaan kita yang kelam. Wahai umat Islam, marilah kita kembali pada Allah dan Rasul-Nya. Berhentilah mengatakan “tak perlulah mencampurkan urusan dunia dengan urusan agama”, karena sungguh Rasulullah mengajarkan bahwa Islam itu melingkupi seluruh aspek kehidupan. Islam tak hanya bicara soal ibadah maghdhah dan akhirat semata, melainkan ia juga mengatur urusan dunia. Bila kita meninggalkan Islam di satu saja aspek kehidupan dunia, maka kerugian besar akan menimpa kita.

Cukuplah sudah kita acuh dengan perzinahan yang seakan sudah menjadi hal biasa, hentikanlah semampu kita karena Allah dan Rasul telah melarangnya. Cukuplah sudah kecurangan dan tipu daya merajalela, bahkan tak jarang kita ikut andil didalamnya, hentikanlah agar Allah tak semakin murka kepada kita. Cukuplah sudah kita lalai dari membayarkan zakat-zakat kita selama ini, atau Allah akan menurunkan azab-Nya kepada kita. Dan cukuplah sudah kita ingkari janji kita pada Allah dan Rasul-Nya selama ini dengan tiada taat pada-Nya. Ingatlah bahwa sebelum Allah tiupkan ruh kita ke jasad yang lemah ini, Allah telah terlebih dahulu menagih ikrar kita: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)’.” (Q.S. Al-A’raaf [7]: 172)

Dan akhirnya, cukuplah sudah kesombongan kita yang lebih suka berhukum dengan hukum yang dibuat-buat oleh manusia ketimbang menggunakan hukum yang sudah diturunkan oleh Allah dan telah dicontohkan oleh Rasul-Nya, kemudian malah menganggap hukum karangan manusia itu lebih baik dari apa yang telah Allah syariatkan lalu dengan beraninya kita mencela hukum yang datang dari sisi-Nya. Belumkah kita membaca firman Allah yang artinya: “…Barang siapa yang tidak memutuskan (suatu perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Maaidah [5]: 44)

Marilah kita renungi diri, sudahkah kita menghindarkan diri dari 5 hal dalam wasiat Rasulullah itu? Dan sudahkah kita berjuang menjauhkan lingkungan kita dari 5 hal yang mengundang 5 bala yang besar itu? Karena sungguh Rasulullah menggunakan kosakata “kaum” dalam wasiatnya itu, bukan orang per orang. Dan sungguh Allah pun telah berfirman dalam Al-Qur’an: “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (Q.S. Al-‘Anfaal [8]: 25).

Maka keshalihan individu saja tidaklah cukup untuk menghindarkan diri dari bencana-bencana itu. Perlu usaha yang keras untuk menyeru diri dan umat untuk bersama-sama menjauhi 5 maksiat besar sehingga terhindarlah kita dari 5 musibah yang besar itu. Semoga tulisan ini pun termasuk diantara usaha kita untuk menjauhkan diri dari bala dan mendekatkan diri pada Allah ‘Azza wa Jalla, amin ya Rabbal ‘alamin.

 

Yogyakarta, 12 Dzulqa’dah 1435 H / 7 September 2014 M