Akhir Historis Industri Ekstraktif Migas di Aceh

migas acehOleh : Cut Asmaul Husna TR, S.H.,M.Kn

Demi kuda perang yang berlari kencang terengah-engah

Demi kuda yang memercikkan bunga api (dengan pukulan kuku kakinya)

Dan, kuda yang menyerang (dengan tiba-tiba) di waktu pagi

Sehingga  menerbangkan debu

Lalu menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh

Sungguh, manusia itu sangat ingkar (tidak bersyukur) kepada Tuhannya

Dan, sesungguhnya dia (manusia) menyaksikan  (mengakui) keingkarannya

Dan,  sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan

Maka tidaklah ia mengetahui apabila apa yang di dalam  kubur dikeluarkan

Dan, apa yang tersimpan di dalam dada dilahirkan

Sungguh, Tuhan mereka pada hari itu Maha Teliti terhadap kedaaan mereka

(Q.S. Al-‘Adiyat:1-11)

 

Kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) berawal dari lahirnya Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menandakan kilas baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakatnya menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Hal yang patut dipahami bahwa Nota Kesepahaman adalah suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan.

Dalam Rentang waktu tersebut, tanpa dinafikan telah membawa perubahan yang signifikan terhadap perekonomian Aceh. Paska UUPA, kontribusi migas terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) sangat besar. Kontribusi dana bagi hasil Migas terhadap APBA pada tahun 2007 Rp. 2,2 triliun mencapai 40,04%. Besaran dana perimbangan (termasuk dari migas) yang diterima Aceh  tahun tahun 2006 Rp 2,4 triliun  dan tahun 2005 Rp 1,0 triliun. Pada tahun 2011 kontribusi dana bagi hasil migas mencapai 1,7 juta barel. Lifting migas tersebut sebagian besar dihasilkan dari eksplorasi migas di beberapa lokasi di Aceh yang dilakukan sejumlah perusahaan, termasuk Perusahaan Transnasioanl (Transnational Corporation/TNCs) ExxonMobil Oil.

Kehadiran UUPA masa transisi untuk melakukan refleksi terhadap perlakuan negara yang selama ini mewakili anutan paradigma hukum represif di Aceh, semula diyakini sebagai pencerahan rakyat Aceh. Selama ini, Rakyat Aceh hanya bisa melihat dengan tetesan air mata, saat kekayaan alam tanah leluhurnya, dieksploitasi habis-habisan oleh perusahaan Transnasional (Transnational Corporation/TNCs). Rakyat Aceh tidak bisa lagi menjadi tuan di rumahnya sendiri ketika ExxonMobil Oil mengeksploitasi hasil bumi hingga mencapai 3,4 juta ton per tahun, dan ekspor LNG memberikan lebih dari US$ 1,8 milyar setiap tahun dari produksi 11 juta ton setiap tahunnya.

Sebagaimana  di belahan lain di Nusantara Indonesia, euphoria awal UUPA mulai pudar seiring semakin kaburnya langkah konkrit yang ditempuh untuk merealisasi UUPA, khususnya Pasal 160 UUPA. Bagian Keempat tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Migas, pasal 160 menyebutkan: (1) Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam migas yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh, (2) untuk melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Aceh dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang ditetapkan bersama. Selanjutnya Pasal 271 Undang-Undang a quo menyebutkan “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menjadi kewajiban Pemerintah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”.

Nyatanya, menjelang tahun ke-8 pemberlakuan UUPA, dan sampai tulisan ini dipublikasikan, peraturan  mengenai pengelolaan bersama sumberdaya alam Migas sebagai amanah Pasal 160 UUPA tak kunjung hadir. Dilematis memang! Inikah akhir dari kisah historis imperium sumberdaya industri ekstraktif di Aceh? Dibatas Masa!

Rekam Jejak Pemburuan Emas Hitam di Aceh

Aceh memiliki latar belakang sejarah yang panjang, kaya dan kompleks, dan beberapa sumber data klasik menunjukkan posisinya sebagai pusat kontak budaya dan perdagangan dengan berbagai komunitas dunia mulai dari Cina hingga Pantai Coromandel di India (R. Michael Feener, 2001: 1). Aceh terletak di ujung Barat Laut Pulau Sumatera, diapit oleh dua laut, yaitu Lautan Indonesia dan Selat Malaka. Secara Astronomis dapat ditentukan bahwa Aceh terletak antara 950 13’ dan 980 17’ Bujur Timur dan 20 48’ dan 50 40’ Lintang Utara. Letak strategis Aceh merupakan pintu gerbang lalu-lintas perdagangan dan pelayaran internasional.

Dari letaknya yang sangat strategis inilah, maka tidak mengherankan jika Aceh memainkan peranan yang sangat penting dalam sejarah Samudera Hindia karena posisinya dalam situasi geografis. Aceh banyak dikunjungi oleh berbagai bangsa asing, seperti Cina, Arab, India bahkan Eropa, di mana tujuan kedatangan mereka adalah untuk melakukan suatu transaksi dalam berbagai kepentingan perdagangan, diplomasi, tranformasi ilmu pengetahuan, dan sebagainya.

Aceh telah ditakdirkan Allah SWT menjadi salah satu dari Lima Besar Islam di dunia (Kerajaan Islam Marokko di Afrika Utara, Kerajaan Islam Turki Usmaniyah di Asia Kecil, Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah, Kerajaan Islam Acra di India, dan Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara) merasa berkewajiban melindungi kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Kepulauan Nusantara dari penyerangan dan penjajahan Barat.

Lembaran awal sejarah permulaan perkenalan antar bangsa bermula  pada kronika Tiongkok kuno “Tsien–han-shu” (tarikh dinastin Han, antara 206 tahun sebelum Nabi Isa AS sampai 24 tahun sesudah Nabi Isa AS). Kronika tersebut berkenaan dengan masa pemerintahan Kaisar Wang Mang (1-6 M). Kaisar tersebut mengirimkan bingkisan berupa mutiara dan permata lainnya kepada sebuah negeri yang disebut dalam kronika itu bernama Huang Che. Kaisar Wang memesan imbalan bingkisannya dikirimkan binatang badak, yang terdapat di negeri itu. Sejarawan banyak sependapat untuk memperkirakan bahwa Huang Che dimaksud adalah Aceh.

Orang Barat pertama yang memperkenalkan Nusantara dan Semenanjung Melayu adalah Prolemacus, seorang ahli geologi berkebangsaan Yunani, tinggal di Alexandria datang ke Aceh pada abad ke-7 (I Hijriah), dan membuat peta dunia yang dapat digunakan para pelaut. Dalam bukunya “Geographike Uplehesis” menjelaskan tentang kepulauan dan semenanjung bagian Asia Tenggara. Ia memperkenalkan “Aurea Chersonesus” atau “Golden Chersonese” pulau emas. Dalam peta tersebut ditempatkannya sebuah pulau bernama Jabadio (Aceh) karena pulau itu kaya dengan emas dan memiliki kesuburan yang luar biasa di pantai sebelah Barat.

Selama abad ke-13, daerah di sepanjang pantai Sumatera Utara sepertinya menikmati otonomi bebas di bawah kekuasaan raja-raja pesisir. Selama periode ini, beberapa pelabuhan, termasuk Perlak, diyakini di bawah kekuasaan Islam. Sejak kebangkitan Pasai, dan selanjutnya kemunculan Kesultanan Aceh, daerah ini telah menunjukan identitas Islami yang kental dan banyak sumber mencatat perkembangan dalam interpretasi Islam versi lokal dan perubahan mendasar hubungan antara Aceh dengan dunia luar dalam ranah umma yang global (R. Michael Feener, 2011: 4-5).

Sumberdaya alam Aceh yang melimpah, menjadi daya tarik tersendiri bagi negara-negara imperialisme. Pada abad ke-15, kondisi Eropa dalam keadaan risau dan kemelut, dunia perdangangan berkembang dan penjelajahan daerah baru tak terelakkan. Nafsu untuk memburu dan menguasai sumber daya alam negara-negara lain tumbuh seiring keterpurukan Eropa. Bangsa Portugis nyatanya memang sangat aktif mencari arus jalan baru ke Timur, pada saat menentukan sebelum Columbus (Michael H. Hart, 1994: 74-75). Orang-orang Portugis sudah lama mencari jalur jalan laut langsung dari Eropa ke India dengan berlayar mengelilingi Afrika sejak saat Pangeran Henry Sang Navigator (1394-1460).

Tahun 1488, sebuah ekspedisi Portugis di bawah Bartolomeus Dias dengan mengitari Tanjung Harapan di ujung Selatan Afrika dan kembali ke Portugis. Pada tahun 1497 sebuah ekspedisi ke India di bawah komando Vasco Da Gama (1460-1524). Arti penting perjalanan Vasco Da Gama, ia membuka jalur laut langsung antara Eropa dan India serta Timur Jauh. Portugis yang semula negeri melarat di pinggiran Eropa yang berbudaya, sontak menjadi negeri terkaya di Eropa.  Portugis dengan cepat mendirikan koloni-koloni jajahan di seputar Samudera Indonesia (Mohammad Said, 1981: 424-425). Kedatangan orang Portugis akhir abad ke-15 didahului dengan timbulnya di Eropah nafsu menemukan apa yang mereka namakan “dunia baru”. Merebut untuk mendapatkan hasil kekayaan bumi yang lebih murah harganya setelah berita dari orang-orang yang telah berhasil melawat keluar Eropa, sesudah Columbus menemui Amerika dan Vasco de Gama ke India.

Eropa bukanlah kawasan yang paling maju di dunia saat itu, juga bukan merupakan kawasan paling dinamis. Akan tetapi, orang-orang Eropa, terutama Portugis, mencapai kemajuan-kemajuan di bidang teknologi tertentu yang kemudian melibatkan bangsa Portugis dalam salah satu petualangan mengarungi samudera. Dengan bekal pengetahuan Geografi dan Astronomi dari bangsa Arab yang seringkali tersebar di kalangan Kristen Eropa lewat para sarjana Yahudi, orang-orang Portugis menjadi mahir dalam melakukan aksi ini.

Berdasarkan beberapa sumber sejarah, Pasai merupakan pelabuhan laut yang terhubung ke seluruh daerah pesisir di Asia Selatan pada abad ke-15 dan ke-16. Sepanjang sejarahnya, kota seperti Pasai menjadi tempat percampuran manusia-manusia kosmopolitan dengan pedagang-pedagang asing dalam jumlah yang cukup besar berasal dari berbagai kota-kota sepanjang pesisir Samudera India. Bukti tertulis di awal abad ke-16 bukan hanya menjelaskan siapa saja yang berdagang, akan tetapi juga barang-barang apa saja yang mereka bawa. Baik Pasai maupun Aceh merupakan emporium perdagangan, di mana barang-barang datang dari seluruh pelosok Nusantara, termasuk merica, pala, timah, emas, kamfer, kapur barus, gading dan gajah (Daniel Perret, 2011: 24-25).

Sejarah menukil bangsa asing pertama yang melakukan kontak dengan Kerajaan di Aceh dan kemudian menimbulkan konflik adalah bangsa Portugis. Kedatangan bangsa Portugis tidak memberikan keuntungan dalam bentuk apapun bagi Kerajaan di Aceh. Hal ini terbukti dengan keinginan Portugis menguasai Kerajaan-kerajaan di Aceh dan sekitarnya untuk kepentingan imperialismenya. Munculnya imperialisme dan kolonialisme menimbulkan antagonisme dan reaksi dari berbagai pihak yang merasa dirugikan. Tidak sedikit kerajaan-kerajaan di Nusantara yang akhirnya harus berperang dengan para kafir penjajah yang mengedepankan semangat imperialisme dan kolonialisme Barat.

Sumber Portugis menyebutkan bahwa Pasai menjadi negeri yang kaya dengan perdagangan yang mapan. Negeri ini menghasilkan merica, sutra dan getah kapur barus. Beras hanya ditanam untuk konsumsi domestik. De Lemos mengatakan “sungguh-sungguh amat menabjubkan kekayaan Sumatera itu, sehingga jika apa yang diekspor oleh Aceh berhasil direbut pastilah ‘Mahkota’, Kerajaan Potugis/Spanyol akan dapat memulihkan kembali wilayah-wilayah Kristen yang telah dicopot  (termasuk Jerussalem) bahkan juga meruntuhkan Kerajaan Ottoman (Turki), (Mohammad Said, 1981: 180).

Kekayaaan Kerajaan Pasai juga terekam dalam catatan sumber Portugis, Tome Pires, yang mengunjungi Kota Pasai tahun 1511, mendiskripsikannya sebagai kota yang kuat, makmur dan kosmopolis. Pires menjelaskan di Pasai banyak pedagang asing dari India, Asia Barat, beberapa di antara mereka mendapat label “Rumi” atau “Turki”. Pedagang-pedagang ini datang dari Kairo, Aden, dan Hormuz, pertama mendarat di Pelabuhan Gujarat di India, dan berlayar terus hingga ke Sumatera dan Malaka (Ismail Hakki Goksoy, 2011: 62). Oleh karena itu, daerah Pasai dan Pidie terus menjadi pusat produksi dan ekspor lada.

Menjelang akhir abad ke-15, Pasai mulai tenggelam. P.A. Hoesein Djajadiningrat menduga karena persaingan dengan kerajaan baru yang sedang berkembang sebagai pusat perdagangan di daerah sepanjang Selat Malaka di Aceh. Sultan Ali Mughayat Syah mengalahkan Samudera Pasai tahun 1524 dan menguasai negeri itu. Penguasa Pasai mengungsi ke wilayah Portugis di Malaka. Aceh muncul sebagai kesultanan yang kuat dengan keuntungan dari perdagangan internasional pada paruh abad ke-16. Ketika Portugis mulai mendominasi Samudera India dan mengambil kontrol sebagian besar perdagangan lewat laut, kesultanan Islam yang terkena pengaruh di wilayah ini mencari bantuan Sultan Mamluk di Mesir. Mamluk membangun angkatan laut di Suez untuk mengusir Portugis jauh dari Laut Merah dan pesisir Samudera India. Angkatan laut Mamluk beroperasi hingga ke pelabuhan Diu pada tahun 1512 untuk mengusir jauh dari kota itu.

Dokumen Portugis atau dokumentasi yang ditulis dalam bahasa Portugis telah digunakan secara luas untuk mempelajari hubungan sejarah antara Aceh dengan Portugis. Fakta mendasar yang membuat Aceh selalu muncul dalam dokumentasi Portugis, setidaknya hingga awal abad ke-19, menjadi sangat berarti. Hal ini menunjukan bahwa bagi Portugis yang selalu menjadi pemerhati serius realitas Asia, Aceh terus memainkan peranan penting dalam konteks Asia Tenggara dan dunia luas Samudera India selama lebih dari tiga abad (Jorge Santos Alves. 2011: 95).

Seorang Belanda bernama Van Linschoten bekerja pada kapal Portugis dan berangkat ke Goa di dalam tahun 1583. Dia kembali ke Holland (Belanda) di tahun 1592, dalam keadaan pertikaian Belanda-Portugis sudah tajam. Phillips II Raja Spanyol yang juga menguasai Portugis telah melarang barang-barang dari Timur dibeli orang Belanda, sebab itu Belanda terpaksa berusaha mencari jalan sendiri ke Indonesia. Kesan-kesan Van Linshoten tentang Indonesia membantu Belanda dalam melaksanakan cita-citanya mencapai Indonesia. Dalam buku “Reys-Geschrift van de Navigatien der Portugal oyser in Orienten” dan “Itineraio” dikeluarkan pada tahun 1596 menceritakan “dater een fonteyn is op Sumatra die louter en enckel Balsem vloeitj” bahwa ada sumber di Sumatera mengeluarkan zat balsam (Mohammad Said, 1981: 212). Bahkan Jan Huygen van Linschoten menyebutkan tenggelamnya dua kapal Portugis setelah diserang oleh pelaut-pelaut Aceh dengan bola-bola api yang sebelumnya telah dicelupkan ke dalam minyak bumi.

Kebenaran akan sumber minyak bumi di Sumatera, akhirnya dapat dibuktikan, karena kolonial Belanda sudah membawanya dari Sumatera “waar deze ly der aarde met veel profyt voor de stromme leden de Heeren XVII werd gebruikt als geneesmiddel” dimana didapati minyak tanah, oleh Tuan-tuan yang pada abad ke-17 telah diperoleh khasiatnya untuk obat. Konon ketika Marco Polo di Perlak (Aceh) tahun 1292, mengetahui ada zat minyak bumi tersebut dan mengambil contoh rembesan minyak bumi dari daerah tersebut, sewaktu singgah dalam perjalanannya kembali ke Eropa sepulang dari mengunjungi Raja Kubilai Khan (Cina).

Agendan politik ekonomi pun diungkapkan dengan tindakan menguasai sumber kekayaan negara lain. Dominasi negara-negara imperialisme dalam penguasaan Migas semakin menarik untuk dikaji, terlihat bahwa sumberdaya alam sudah sejak lama menjadi elemen konflik baik dalam skala internasional, nasional, lokal maupun individual. Konflik telah mendorong penguasaan aset sumberdaya alam lintas negara dan antar negara yang ditunjukkan oleh tindakan kolonialisme fisik, sosial, ekonomi dan politik dari satu negara terhadap negara lainnya.

Sumberdaya alam Migas kemudian menjadi faktor penting dalam lingkungan politik internasional. Semenjak Perang Dunia (PD) I, negara-negara yang berperang ketika itu mengandalkan Migas untuk menggerakkan industri militer, teknologi, komunikasi, serta transportasi di medan pertempuran (Daniel Yergin, 1991: 14).  Posisi strategis Migas di topang oleh dua faktor antara lain, tidak semua negara di dunia ini memiliki cadangan Migas yang memadai, dan Migas merupakan sumberdaya alam yang tidak bisa diperbaharui (Phillip Connelly dan Robert Perlman, 1975: 26). Pasar Migas dunia dikendalikan oleh negara imperialis, mengatur perekonomian dunia dengan cara neoliberal dan perang, penciptaan konflik dan kemiskinan pada negara yang dikuasainya. Maka sangat jelas ketika Rasulullah SAW bersabda “Seandainya anak Adam mempunyai dua lembah yang berisi harta, ia akan mencari lembah ketiga. Padahal yang memenuhi perut anak Adam tidaklah lain dari tanah belaka. Namun, Allah menerima taubat kepada orang-orang yang mau bertaubat”. (H.R. Imam Muslim).

 

Jejak Yang Hilang

Merupakan fakta sejarah hukum, pada awal kekuasaan Soeharto dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan (UUP) pada 2 Desember 1967, pemerintah otoritarian Orde Baru telah melegalisasikan penjarahan sumberdaya alam Indonesia pada perusahaan transnasional (Transnational Corporation/TNCs). Selisih 24 (dua puluh empat) hari semenjak ditandatangani UUP, kontrak pertambangan Migas I di Aceh untuk jangka waktu 30 tahun ditandatangani pada 26 Desember 1967 yang diserahkan pada Mobil Oil Indonesia, Inc (MOI), perusahaan Migas terbesar asal Amerika Serikat. Sejak ditandatangani Kontrak Production Sharing dan penemuan ladang gas arun pada tahun 1971 di Aceh telah membawa kesuksesan besar bagi Indonesia dengan berhasilnya proyek pengembangan gas alam yang diolah menjadi Liquefied Natural Gas (LNG) dan  Liquefied Petroleum Gas (LPG). Guna melaksanakan pembangunan kilang LNG dAceh, pilihanpun jatuh pada Bechtel,Inc.

Respon positif terhadap Proyek Gas Alam Arun disampaikan oleh Soebroto sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada peresmian kilang gas cair Arun 19 September 1971, bahwa keberhasilan pelaksanaan proyek gas alam cair Arun (Aceh) sekarang ini, telah pula melampaui rekor yang telah dicapai Indonesia selama ini….. dan menempatkan Indonesia pada posisi yang sama dengan Aljazair sebagai negara pengekspor utama LNG di dunia pada saat ini. Prestasi ini sangat penting artinya dalam pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan nasional dalam sektor Pertambangan dan Energi yang diharapkan dapat meningkatkan sumber penerimaan negara yang sangat dibutuhkan dalam rangka pembiayaan pembangunan nasional.

Fakta sejarahnya, kesuksesan besar Indonesia berbanding terbalik dengan realitas masyarakat Aceh. Bahkan, di titik kulminasi ini pula, telah membawa provinsi ini dalam pusaran Revolusi Sosial Berdarah selama 30 tahun dan menelan 15.000 korban. Miris memang. Sejak tahun itu pula, Indonesia memilih politik hukum migas yang berorientasi pada kekuatan modal besar dan eksploitatif. Sejumlah diskresi dan regulasi pemerintah berpihak pada kepentingan modal. Dengan diskresi dan regulasi yang demikian, pemerintah terjebak dalam posisi yang lemah dibandingkan posisi TNCs.

Di tengah Revolusi Sosial Berdarah, Gelombang Tsunami 26 Desember 2004 bertepatan dengan perayaan penjarahan Migas Samudera Pasai oleh ExxonMobil yang genap berusia 37 tahun, memaksa rakyat Aceh harus melupakan konflik berdarah. Pertanyaan sederhananya, adakah korelasi antara konflik bersenjata, kemiskinan, ketidakadilan dan tragedi tsunami dengan penguasaan sumberdaya industri ekstraktif di Samudera Pasai? Siapakah yang paling bertanggungjawab dan memiliki kepentingan kuat atas sumberdaya Migas? Sejauhmana peranan asing dalam percaturan penguasaan sumberdaya industri ekstraktif?

Gelombang Tsunami telah menelan korban tidak kurang dari 200.000 jiwa dan ratusan ribu lainnya luka-luka. Ironisnya, Condoleezza Rice, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat menyampaikan Tsunami yang terjadi di Aceh merupakan peluang bagus yang akan memberi keuntungan besar bagi Amerika. Letak geografis Aceh yang strategis merupakan pintu masuk Selat Malaka sekaligus jalur utama dari Samudra Hindia dan Atlantik ke Asia Timur dan Pasifik, telah mendorong Amerika dan Uni Eropa lainnya untuk menjalankan misi terselubungnya.

Beberapa petikan dari Tabloid Intelijen Nomor 26/V/2009 menulis selangkah lebih maju dari Papua, tangan-tangan AS dan Yahudi telah mencengkram Aceh. Saat ini wilayah Aceh memang menjadi ajang operasi USAID. Bahkan untuk kepentingan kapitalis di Aceh, George Soros, tokoh kapitalisme global sekaligus orang paling berpengaruh di AIPAC. Setidaknya USAID telah menggelontorkan dana tak kurang US$ 409 juta untuk merekonstruksi wilayah Aceh pasca Tsunami. Sumber Itelijen juga mengungkapkan, perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam rekonstruksi Aceh merupakan hasil dari lobi Yahudi (AIPAC).  Jika Peace Corp berkiprah di Aceh, julukan Serambi Mekkah akan berganti menjadi Serambi Tel Aviv. WikiLeaks membocorkan memo berkategori rahasia yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri AS yang membahas soal tambang dan pabrik timah di dekat Selat Melaka, Indonesia–yang diincar AS karena dianggap vital bagi kepentingan Amerika Serikat. Tambang dan pabrik timah di Selat Melaka, Indonesia, termasuk dalam ratusan aset yang berkatagori infrastruktur penting dan sumber daya kunci bagi AS. Daftar itu dimuat dalam Critical Foreign Dependencies Initiative 2008, yang bertujuan untuk mendata sejumlah aset vital di luar negeri untuk melindungi kepentingan AS dari berbagai ancaman, baik terorisme maupun bencana alam.

 

Pembelajaran Sejarah

Allah SWT berfirman: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya”. (Q.S. Al-Maidah: 17).  Pada surat lainnya, Taha ayat 6 : “Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang diantara keduanya, dan semua yang di bawah tanah”. Dan, Allah SWT juga berfirman: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya”. (Q.S. Al-Maidah: 120).

Hasil kekayaan alam merupakan hak Allah SWT yang berdiri sendiri, tidak bertalian dengan tanggung jawab manusia sebagai hamba-Nya yang wajib dilaksanakan sebagai tanda kepatuhan kepada-Nya.  Bila harta, sumberdaya alam baik di atas, di permukaan atau di dasar perut bumi, adalah Milik Allah Raja Segala Raja, Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, maka tangan-tangan manusia hanyalah perantara suruhan untuk menjadi khalifah di muka bumi. Manusia hanyalah khalifah-khalifah Allah ‘Azza wa Jalla dalam mempergunakan, mengolah dan mengatur sumberdaya alam demi kemashalatan bersama.  Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 30: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, ‘sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.

Proses penguasaan sumberdaya alam di berbagai tempat di Indonesia tak terkecuali Aceh, terkesan sengaja penciptaan yang diawali oleh konflik komunal. Kesan ini menimbulkan pertanyaan selanjutnya, apakah konflik dan kemiskinan berkaitan erat dengan penguasaan modal oleh TNCs? Apakah fakta-fakta di atas hanya suatu kebetulan? Bukankah politik dan hukum diibaratkan sebagai 2 (dua) sisi dari satu mata uang logam? Ini bukan sebuah kebetulan tapi penemuan, ini bukan fatamorgana tapi fakta yang berbicara, ini bukan perkiraan tapi kejanggalan-kejanggalan yang ditempuh dalam pengambilan kebijakan mengenai penguasaan sumberdaya alam.

Aceh memang tidak sendirian, di belahan lain nusantara, pemerkosaan sumberdaya alam terus terjadi. Lihatlah  Papua dengan Free Port Indonesia, Sulawesi Selatan, Teluk Buyat dengan PT. Newmont Minahasa Raya (NMR), Elang Dodo dengan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT). Produksi Migas disedot dari bumi Kalimantan Timur mencapai 21 juta barrel per tahun. Kalimantan Timur juga menghasilkan tidak kurang 120 juta ton batubara, 14 juta ton gas, dan 3 juta m3 kayu, serta kerusakan hutan yang mencapai 65% dibandingkan kondisi tahun 1972. Eksploitasi sumberdaya alam  telah mengakibatkan penyusutan dan gangguan lahan untuk pertanian (12,4 juta ha HPH, 4,2 juta ha tambang, 670 ribu ha Migas). Transfer benefit dari sumberdaya alam Kalimantan Timur lebih banyak disedot keluar karena Kalimantan Timur hanya menerima rata-rata Rp 7 trilliun dari Rp 100-120 trilliun yang ditransfer ke pusat dari sumberdaya alam Kalimantan Timur.

Kontribusi industri ekstraktif terhadap pendapatan negara sangat signifikan. Pemandangan yang berbeda yang dirasakan mayarakat Indonesia hampir tidak ada nilai tambah, selain bertambah angka kemiskinan dan angka pengangguran serta yang jelas setiap tahunnya bertambah angka hutang luar negeri.

Dalam konteks Aceh saat ini, untuk dapat terekspektasi sejumlah keraguan dan kesalahpahaman, sejatinya Pemerintah Pusat merespon positif amanat Pasal 160 UUPA. Tarik ulur kepentingan dan friksi yang berkembang hanya akan membawa implementasi UUPA dalam wujud konflik yang baru. Campur tangan ataupun hegemoni dari luar, hanya akan mengkondisikan peraturan-peraturan yang tidak begitu tanggap. Pada gilirannya konsep-konsep Pasal 160 UUPA sama sekali kosong tanpa makna. Hal ini berarti bahwa UUPA yang hari ini eksis, tidak bisa mengingkari apa yang baginya menjadi bentuk di masa lampau, dan masa lampau hadir dan selalu hadir untuk memproyeksi Aceh di masa depan. Meskipun pada tahun 2014 PT. Arun akan mengakhiri kontrak production sharing dan di tahun 2018 ExxonMobilpun mengakhiri kontrak setelah 50 tahun mengeruk keuntungan. Inilah akhir historis industri ekstraktif Migas di Aceh? Ironis memang.Wallahu’alam bishawab

Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.” (Q.s. Ar-Ra’d: 15)

 

 

Cut Asmaul Husna TR,S.H.,M.Kn

Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh-Aceh Bidang Kontrak (Migas)

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga

 

 

Daftar Bacaan

Daniel Perret, “Aceh Sebagai Wilayah Studi Sejarah Masa Lampau” dalam R. Micheal Feener, et.al (Ed), Memetakan Masa Lalu Aceh, (Bali: Pustaka Larasan, 2011).

Daniel Yergin, The Price: The Epic Quest for Oil, Money, and Power (New York: Simon & Schuster, 1991).

Ismail Hakki Goksoy, “Hubungan Turki Usmani-Aceh Yang Terekam Dalam Sumber-sumber Turki”, dalam R. Micheal Feener, et.al (Ed), Memetakan Masa Lalu Aceh, (Bali: Pustaka Larasan, 2011).

Jorge Santos Alves, “Aceh dari Kaca Mata Portugis: Pandangan Sebagai Kota Pelabuhan Asia Tenggara”, dalam R. Micheal Feener, et.al (Ed), Memetakan Masa Lalu Aceh, (Bali: Pustaka Larasan, 2011).

Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, ( Jakarta: Pustaka Jaya, 1994).

Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981).

Phillip Connelly dan Robert Perlman, The Politics of Scarcity: Resources Conflicts in International Relation (Oxford: Oxford University Press, 1975).

R. Micheal Feener,  “Aceh: Masa Lalu dan Studi Masa Kini”, dalam R. Micheal Feener, et.al (Ed), Memetakan Masa Lalu Aceh, (Bali: Pustaka Larasan, 2011).