Natsir beranggapan, ketidakpahaman atau kesalahpahaman terhadap negara Islam, negara yang menyatukan agama dan politik, pada dasarnya bersumber dari kekeliruan memahami gambaran pemerintahan Islam.
“Kalau kita terangkan, bahwa agama dan negara harus bersatu, maka terbayang sudah di mata seorang bahlul (bloody fool) duduk di atas singgasana, dikelilingi oleh “haremnya” menonton tari “dayang-dayang”. Terbayang olehnya yang duduk mengepalai “kementerian kerajaan”, beberapa orang tua bangka memegang hoga (pipa, red)”.
Sebab memang beginilah gambaran ‘pemerintahan Islam’ yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropa yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru bangsa barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa: Chalifah = Harem; Islam = poligami.” (Muhammad Natsir, Capita Selecta, hlm. 438).
Secara implisit Natsir menilai bahwa pandangan “negara Islam” seperti tertulis di ataslah yang terdapat dalam pandangan Soekarno maupun Kemal Ataturk.