SEDEKAH atau WAKAF? INI PENJELASAN HUKUMNYA

Advertorial – Wakaf termasuk amal ibadah yang paling mulia bagi kaum muslim, yaitu berupa membelanjakan harta benda. Dianggap mulia, karena pahala amalan ini bukan hanya dipetik ketika pewakaf masih hidup, tetapi pahalanya juga tetap mengalir terus, meskipun pewakaf telah meninggal dunia. Bertambah banyak orang yang memanfaatkannya, bertambah pula pahalanya; terlebih bila yang memanfaatkan hasil wakaf ini orang yang berilmu dinul Islam, ahli ibadah menurut Sunnah dan ahli da’wah, tentunya akan lebih bermanfaat lagi . Ini semua akan dipetik oleh pewakafnya besok pada hari kiamat.

Dari Abu Mas’ud Al Anshari Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang itu berkata kepadanya: ”Saya kehabisan bekal dalam perjalananku ini, maka antarkan aku ke tempat tujuan?” Beliau menjawab, ”Saya tidak punya kendaraan,” lalu ada seorang laki-laki yang berkata,”Wahai, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku tunjukkan orang yang dapat mengantarkan dia,” lalu Beliau bersabda:

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya. [HR Muslim, 3509].

Bayangkan, orang yang menunjukkan kebaikan, yang modalnya hanya berupa lisan atau tenaga, dijamin akan mendapatkan pahala semisal orang yang mengerjakannya. Maka, bagaimana dengan orang yang menunjukkan kebaikan disertai harta bendanya? Bukankah lebih utama dan lebih banyak pahalanya? Tentunya ini hanya dapat diterima dan diamalkan oleh orang yang kuat imannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berharap pahala-Nya besok pada hari pembalasan. Misalnya, sahabat Thalhah Radhiyallahu ‘anhu tatkala mendengar ayat :

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. [Ali Imran:92].

Anas Radhiyallahu ‘anhu berkata: Abu Thalhah Radhiyallahu ‘anhu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ”Wahai, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (Ali Imran:92). Sesungguhnya harta yang paling aku senangi adalah tanah bairoha. Dan sesungguhnya tanah ini aku shadaqahkan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aku berharap surga-Nya dan simpanannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wahai, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Aturlah tanah ini sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi petunjuk kepadamu … [HR Bukhari, Kitab Az Zakat, 1368].

Demikianlah suri tauladan sahabat yang wajib kita contoh. Barangsiapa yang ingin menirunya, silahkan simak tata cara wakaf ini, agar amal kita diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendapat pahala yang banyak. Dan harta kita tidak sia-sia di dunia.

DALIL DISYARI’ATKAN WAKAF

Wakaf termasuk amal ibadah yang berupa harta benda, telah disyari’atkan Islam semenjak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, dan kemudian dilanjutkan oleh para sahabatnya serta para pengikutnya yang setia. Sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata :

أَصَابَ عُمَرُ بِخَيْبَرَ أَرْضًا فَأَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ مِنْهُ فَكَيْفَ تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا , فَتَصَدَّقَ عُمَرُ , أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ , فِي الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ , لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ

Umar Radhiyallahu ‘anhu telah memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata, ”Aku telah mendapatkan bagian tanah, yang saya tidak memperoleh harta selain ini yang aku nilai paling berharga bagiku. Maka bagaimana engkau, wahai Nabi? Engkau memerintahkan aku dengan sebidang tanah ini?” Lalu Beliau menjawab,”Jika engkau menghendaki, engkau wakafkan tanah itu (engkau tahan tanahnya) dan engkau shadaqahkan hasilnya,” lalu Umar menyedekahkan hasilnya. Sesungguhnya tanah ini tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwaris, tetapi diinfakkan hasilnya untuk fuqara, kerabat, untuk memerdekakan budak, untuk kepentingan di jalan Allah, untuk menjamu tamu dan untuk ibnu sabil. Orang yang mengurusinya, tidak mengapa apabila dia makan sebagian hasilnya menurut yang makruf, atau memberi makan temannya tanpa ingin menimbunnya. [HR Bukhari no. 2565, Muslim 3085].

Imam Nawawi berkata: Hadits ini menunjukkan asal disyari’atkan wakaf. Dan inilah pendapat jumhurul ulama’, serta menunjukkan kesepakatan kaum muslimin, bahwa mewakafkan masjid dan sumber mata air adalah sah. [Lihat Syarah Muslim, 11/86].

Dalil dari hadits yang lain, Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata:

لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ الْمَدِينَةَ أَمَرَ بِبِنَاءِ الْمَسْجِدِ وَقَالَ يَا بَنِي النَّجَّارِ ثَامِنُونِي بِحَائِطِكُمْ هَذَا ؟ قَالُوا : لَا ,وَاللَّهِ لَا نَطْلُبُ ثَمَنَهُ إِلَّا إِلَى اللَّهِ

Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di Madinah, Beliau menyuruh agar membangun masjid. Lalu Beliau berkata,”Wahai, Bani Najjar! Juallah kebunmu ini kepadaku!” Lalu Bani Najjar berkata,”Tidak kujual. Demi Allah, tidaklah kami jual tanah ini, kecuali untuk Allah. [HR Bukhari].

Berdasarkan hadits di atas, jelaslah bahwa Bani Najjar mewakafkan tanah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sala untuk dibangun masjid, dan wakaf termasuk amal jariyah (yang mengalir terus pahalanya).

KEUTAMAAN WAKAF

Syaikh Abdullah Ali Bassam berkata: Wakaf adalah shadaqah yang paling mulia. Allah menganjurkannya dan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi pewakaf, karena shadaqah berupa wakaf tetap terus mengalir menuju kepada kebaikan dan maslahat. Adapun keutamaannya, (meliputi):

Pertama : Berbuat baik kepada yang diberi wakaf, berbuat baik kepada orang yang membutuhkan bantuan. Misalnya kepada fakir miskin, anak yatim, janda, orang yang yang tak memiliki usaha dan perkerjaan, atau untuk orang yang berjihad fi sabilillah, untuk pengajar dan penuntut ilmu, pembantu atau untuk pelayanan kemaslahatan umum.

Kedua : Kebaikan yang besar bagi yang berwakaf, karena dia menyedekahkan harta yang tetap utuh barangnya, tetapi terus mengalir pahalanya, sekalipun sudah putus usahanya, karena dia telah keluar dari kehidupan dunia menuju kampung akhirat. [Lihat Kitab Taisiril Allam, 2/246].

HUKUM WAKAF

Hukum wakaf adalah sunnah, dengan mengingat dalil di atas dan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila manusia meninggal dunia, maka terputus amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya. [HR Muslim 3084].

Syaikh Ali Bassam berkata: Adapun yang dimaksud dengan shadaqah dalam hadits ini ialah wakaf. Hadits ini menunjukkan, bahwa amal orang yang mati telah terputus. Dia tidak akan mendapat pahala dari Allah setelah meninggal dunia, kecuali (dari) tiga perkara ini; karena tiga perkara ini termasuk usahanya. Para sahabat dan tabi’in mengizinkan orang berwakaf, bahkan menganjurkannya. [Lihat kitab Taisiril Allam, 2/132].

Imam Tirmidzi berkata: Kami tidak melihat salah seorang sahabat dan orang Ahli Ilmu pada zaman dahulu mempermasalahkan kebolehan mewakafkan tanah, melainkan hanya Syuraih yang mengingkarinya. [Lihat Fathul Bari, 5/402].

Imam Syafi’i berkata: Kami tidak pernah mengetahui orang Jahiliyah mewakafkan sesuatu, tetapi orang Islam yang mewakafkan hartanya. Ini menunjukkan, bahwa di dalam Islam, wakaf adalah masyru’. [Lihat Taisiril Allam Syarah Umdatul Ahkam, 2/245]

WAKAF BERKELOMPOK

Wakaf tidak harus dilakukan oleh perorangan, tetapi boleh dengan berjama’ah. Misalnya, iuran membeli tanah untuk membangun masjid, pondok pesantren, pendidikan Islam dan lainnya.

Adapun dalilnya, Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemilik kebun yang merupakan milik orang banyak:

يَا بَنِي النَّجَّارِ ثَامِنُونِي بِحَائِطِكُمْ هَذَا قَالُوا لَا وَاللَّهِ لَا نَطْلُبُ ثَمَنَهُ إِلَّا إِلَى اللَّهِ

Wahai, Bani Najjar! Juallah kebunmu ini kepadaku!” Lalu Bani Najjar berkata,”Tidak kujual. Demi Allah, tidaklah kami jual tanah ini, kecuali untuk Allah. [HR Bukhari, kitab Al Washaya, no. 2564].

Sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”Wahai, Bani Najjar!” menunjukkan bahwa wakaf dapat dilakukan lebih dari satu orang.

Pembangunan Mushola Pondok Tahfidz Al Hujjah masih menunggu partisipasi muhsinin.(lebih jauh penjelasan kami, klik gambar diatas) 

MENUNDA PENYERAHAN WAKAF

Orang yang telah berikrar wakaf tetapi belum menyerahkannya, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang membolehkannya, dan ada yang tidak membolehkannya.

Ibnu Hajar berkata : Apabila ada orang wakaf, sedangkan barangnya belum diserahkan, (maka) hukumnya boleh dan sah wakafnya. Begitulah pendapat jumhur ulama’. Sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i tidak membolehkannya, tetapi hendaknya segera diserahkan. Adapun alasan Imam Thahawi dan jumhur membolehkannya, karena kedudukan wakaf seperti memerdekakan budak, sebab keduanya memiliki kesamaan, yaitu milik Allah. Oleh karena itu, (wakaf tersebut, Red) sah, sekalipun baru diucapkan dengan lisan. Berbeda dengan pemberian hadiah, maka harus diserahkan segera. Adapun dalil lain yang membolehkan penundaan penyerahan wakaf, (yaitu) kisah sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu. Beliau menjelaskan ”tidak mengapa yang mengurusinya ikut makan hasilnya”. [Lihat Fathul Bari, 5/384].

Waqaf pembebasan lahan untuk asrama santri

Terlepas dari pembahasan hukum boleh menunda penyerahan harta wakaf, maka sebaiknya harta wakaf itu segera diserahkan, kalau memang yang mengurusinya orang lain dan dapat dipercaya, agar selamat dari hal-hal yang tidak diinginkan oleh pewakaf atau keluarganya pada kemudian hari.

Pondok Tahfidz Al Hujjah, yang berlokasi di Jln. Tirtaria Waykandis Bandarlampung, mengajak para muhsinin, untuk bersama-sama kami dalam perjuangan mencetak generasi penghapal Qur’an. Sisihkan sedikit rezeki yang Allah berikan, maka yang sedikit itu akan menjadi pemberat timbangan kebaikan kita di hadapan Allah kelak.

BNI Syariah norek 0762942025 an.Suhardi
WA 08154043592