Kembali ke UUD 1945 : Kompromi atau Revolusi?

perjuangan-para-pahlawanEramuslim.com –

Kolom Santai Siang Bersama Djoko Edhi SA (Mantan Anggota Komisi III DPR RI)

Saya usulkan untuk menyelesaikan konsep operasional “Kembali ke UUD 45” di seminar yang diadakan Mubarok Center. Faktor determinannya adalah frasa kata “kembali” itu. Sedangkan kelompok UUD 45 adalah kelompok variabelnya.

Dengan demikian harus dibreakdown lebih dulu faktor determinannya. Karena kita sudah dua tahun membahas variabel kelompok UUD 45, maka tak perlu diulang lagi. Artinya, semua orang sudah tahu problematika UUD 45 ketika diubah menjadi UUD 2002.

Fokus yang harus memperoleh perhatian adalah faktor determinannya: kembali! Itu harus diubah menjadi konsep operasionalisasi.

Mari kita breakdown. Pertama, apakah “kembali” seperti memutar jarum jam ke belakang? Artinya, jika saya berangkat dari rumah berusia 17 tahun, 50 tahun kemudian saya kembali ke rumah usia saya kembali 17 tahun, bukan 67 tahun?

Kedua, apakah “kembali” itu adalah letterlijk seperti tertulis aslinya?

Ketiga, apakah “kembali” itu seperti Nahdlatul Ulama yang kembali ke Khittoh?

Keempat, apakah “kembali” itu seperti perpindahan dari UUD 45 ke UU RIS, dari UU RIS ke UUDS?

Kelima, apakah “kembali” itu seperti Dekrit 5 Juli 1959?

Saya kemukakam tadi hasil pertemuan dengan Rachmawati Soekarnoputri sehari sebelumnya bersama Syahganda Nainggolan dan Bursah Zarnubi di Universitas Bung Karno yang dipenuhi para aktivis. Bahwa Rachma menghendaki kembali itu secara absolut.

Pernyataan yang sama dari Jenderal (purn) Djoko Santoso: revolusi! Yang berbeda dari Marzuki Ali dan Prof Mubarok yang menghindar dari revolusi. Sedang Hatta Taliwang tetap di call tinggi.

Perbedaan pandangan itu menunjukkan belum adanya metodologi konsep kembali tadi. Berserakan laksana daun kering di musim munson.

Saya kemukakan juga adanya reaksi dari Ketua Pengkajian MPR gerbong DPD, Bambang Sudono yang beranggapan kita adalah garis keras yang dimuat harian Kompas. Bahwa anggapan itu mewakili garis lunak, sehingga telah terbentuk demarkasi Garis Keras versus Garis Lunak mengenai kembali tadi.

Menurut saya, perjelas saja demarkasi itu sehingga jelas persimpangannya. Masing-masing bisa mengayak padi menjadi beras!

Masalahnya, ilmu politik meyakini tak ada kemenangan absolut. Saya tak mengambil paradigma Haris Rusli, bahwa katanya, itu ilmu suka-suka.

Dari rujukan yang saya baca dari ilmu politik, antara lain dari Harold D Lasswell, bapak ilmu politik modern dalam The Modern Politics, yang mampu dicapai oleh politik, maksimal adalah kompromi!

Ada dua jalan yang bisa ditempuh. Pertama secara ilmu negara, perang. Coup de etat. Baik kudeta berdarah, maupun kudeta konstitusional. Keduanya memiliki resiko fisik dan politik. Kudeta berdarah bisa seperti Gestapu PKI 1965 atau Kudeta militer Turki kepada Presiden Erdogan. Jika sukses, kita bisa memaksakan kehendak kita kepada garis lunak. Yang tak setuju, buldozer!

Kedua, secara politik. Tak ada resiko fisik, tak berlumuran darah, tapi beresiko politik. Rachma dan Djoko Santoso tak suka itu.

Tadi, direkomendasikan tim kompromi ini utk menghadapi garis lunak. Seperti apa maunya garis keras, seperti apa pula maunya garis lunak. Mereka akan bertemu di meja bundar seperti di KMB, Renville, atau Linggarjati.

Tapi takkan mudah. Garis Keras harus bersatu dulu. Dan, akan makan waktu bertahun. Itu politik!

Proses diskursus itu penting. Besok akan bersua 60 tokoh nasional di tempat Ratna Sarumpaet membahas kembali. Tadi siang di DPR, materi yang sama juga dibahas dipandu Ramly Kamidin, Wasekjen KAHMI.*

Oleh : Djoko Edhi SA (Mantan Anggota Komisi III DPR RI)