M. Natsir Pemimpin Islam Sejati

M. Natsir adalah tipologi pemimpin Islam yang berpegang teguh terhadap prinsip dan cita-citanya. Tak pernah lekang oleh apapun. Sesudah Indonesia merdeka, ia berbeda pendapat dengan Presiden Soekarno, yang tak pernah mau kompromi. Sampai Partai Masyumi dibubarkan, di tahun 1960.

Sesudah Soekarno jatuh, dan digantikan Presiden Soeharto, tak lama M. Natsir, akhirnya berbeda pendapat dengan pemimpin Orde Baru itu, sampai akhirnya ia dikucilkan oleh Soeharto sampai meninggalnya. M.Natsir dapat menjadi suri tauladan, terutama bagi generasi baru Indonesia, yang mendambakan keluhuran budi pekerti.

Sesudah Pemilu 1955, M. Natsir membawa Partai Masyumi, yang merupakan gabungan partai-partai Islam di Konstituante, yang secara sungguh-sungguh memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Mereka adalah para pemimpin Islam, yang memiliki karakter dan kepribadian yang utuh, serta organisator dan pemimpin politik yang ulung. Dalam berpolitik mereka berprinsip. Dengan prinsip-prinsip Islam yang mereka yakini. Dan, mereka memperjuangkan dengan segala kemampuan yang mereka miliki. Mereka tak pernah bergeser atau ‘berpirau’ dengan prinsip-prinsip politik, yang menjadi khittah perjuangan mereka.

Waktu terjadi perdebatan di Konstituante masing-masing pemimpin partai memperjuangkan ide dan gagasannya masing-masing. M. Natsir waktu itu, menjelaskan perbedaan pokok antara sekulerisme dengan Islam. Menurut Natsir, sekulerisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan dan sikap yang hanya di dalam batas keduniaan. “Seorang sekuleris tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah ataupun oleh bekas-bekas kehewanan manusia, semata-mata dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam kehidupan sekarang belaka”,ujar M. Natsir.

Selanjutnya, dalam pandangannya, yang disampaikan di depan para anggaota Konstituante, M. Natsir, menegaskan: “Jika dibandingkan dengan sekulerisme yang sebaik-baiknya pun, maka adalah agama masih lebih dalam dan lebih dapat diterima akal. Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat dan perseorangan yang dapat diberikan oleh sekulerisme, tidak melebihi konsep dari apa disebut humanity (perikemanusiaan).”, tegas Natsir. Lalu, ia menambahkan : “Di mana sumber perikemanusiaan itu?”.

Para pemimpin Masyumi adalah orang-orang yang berlatarbelakang pendidikan Barat (Belanda), tapi mereka yang paling teguh dalam memegang prinsip dan cita-cita Islam. Mereka bukan pemimpin yang berasal dari sekolah agama (pesantren), tapi tak mengurangi penghargaan mereka terhadap Islam. Justru mereka yang paling gigih memperjuangkan Islam. Sesudah Partai Masyumi dibubarkan, mereka tak lantas menjadi oportunis dan pragmantis. Ketika, pergantian kekuasaan , mereka ingin tetap mendirikan Partai Masyumi. Dan, ketika gagal menghidupkan kembali, mak mereka mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Inilah tempat berkhidmat para pemimin Islam, Partai Masyumi, sampai akhair hayat mereka, termasuk M. Natsir.

M. Natsir yang lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, tahun l908, dan meninggal,di tahun 1993, pernah menjadi Perdana Menteri di tahun l950, sesudah ‘mosi integral’, yang menyatukan Indonesia menjadi negara kesatuan. Atas jasa-jasanya yang tak terhingga, Presiden SBY, melalui Keputusan Presiden Nomor 41/TK/Tahun 2008, menetapkan M. Natsir sebagai Pahlawan Nasional. Padahal, usulan itu sudah pernah disampaikan oleh Menteri Sosial, Mintardja, diawal tahun 1970, namun Keppres itu, baru lahir bersamaan dengan peringatan 100 tahun M. Natsir.

M. Natsir terkenal sangat bersahaja,misalnya, waktu ia menjadi Menteri Penerangan, menggunakan baju tambalan, bahkan rumahnya di Jalan Cokroaminoto, tak lain adalah hadiah Pak Idit Djunaedi, karena melihat Natsir, yang tinggal disebuah gang, dan tak layak ditempati seorang perdana menteri. Ia juga menolak hadiah mobil Chevy Impala dari cukong. Dan, satu-satunya pejabat pemerintah, yang pulang dari Istana yang membonceng sepeda sopirnya, sesudah menyerahkan jabatan perdana menteri kepada Presiden Soekarno.

Namun, Natsir telah meletakkan tonggak-tonggak yang dipancangkan secara kokoh, tanpa siapapun dapat melupakannya. Adalah Kabinet M.Natsir yang memperjuangkan Indonesia menjadi anggota PBB. Dia memahatkan politik luar negeri ‘bebas aktif’ sejak awal Indonesia merdeka. Tidak pemimpin politik Indonesia yang memiliki pandangan yang jauh ke depan dibandingkan dengan Natsir. Putra dari Alahan Panjang ini pula, yang meletakkan ekonomi ‘Benteng’, yang menghasilkan konglomerat pribumi, seperti Hasjim Ning, Dasaat, Rahman Tamin, Ayub Rais, dan Achmad Bakri dan lain-lain. Tokoh Masyumi ini pula yang membangun konsep Negara berkesejahteraan dalam rangka pembangunan yang diperuntukkan bagi rakyat kecil.

M.Natsir mempunyai sikap yang tegas, dan tidak mau kompromi dengan Soekarno, dan menolak pengaruh komunisme. Ia ingin menegakkan Islam melalui prinsip-prinsip demokrasi. Meskipun, perjuangan ini menjadi gagal. Tapi, tokoh-tokoh Masyumi telah melakukan ‘sesuatu’ yang berharga bagi masa depan Islam. Mereka tak pernah bergeser dari cita-citanya sampai akhir hayat.
Tidak salah bila M.Natsir diberikan gelar pahlawan oleh pemerintah. Karena jasa-jasanya yang besar, ketika awal-awal kemerdekaan. Mereka telah memberikan sumbangannya yang berharga, dan sangat penting bagi masa depan Islam dan Indonesia. Patut diteladani oleh siapapun, yang masih mempunyai prinsip dan cita-cita. Wallahu ‘alam.