Mengapa Ikhwan Dapat Bertahan?

Tokoh-tokoh Ikhwan yang memimpin gerakan yang didirikan oleh Hasan Al-Banna, di tahun 1928 itu, tak banyak yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Diantara para pemimpin yang menjadi mursyid ‘aam Ikhwan itu, sebagian besar mereka berlatar belakang pendidikan umum.

Mereka rata-rata dengan latar belakang pendidikan yang mereka miliki itu, tak menjadi penghalang mereka memimpin gerakan Ikhwan, yang sekarang telah memiliki cabang di hampir 80 negara di seluruh dunia.

Diantara pemimpin yang pernah menjadi Mursyid ‘Aam Ikhwan itu, Hasan al-Banna, Hasan Hudaibi, Umar Tilmisani, Hamid Abu Nashr, Mustafa Masyhur, Ma’mun Hudaibi, Mahdi Aqib, dan sekarang Mohamad Badie’. Itulah tokoh-tokoh Ikhwan yang membimbing dan mengarahkan Jamaah Ikhwan, dan diantara delapan Mursyid, yang memiliki latar belakang pendidikan agama (ulumul syar’i), hanya dua orang, yaitu Hasan al-Banna dan Hamid Abu Nashr.

Sedangkan, Hasan Hudaibi seorang ahli hukum dan pengacara, Umar Tilmisani seorang insinyur, Mustafa Masyhur seorang insinyur, Ma’mun Hudaibi seorang ahli hukum, Mahdi Akif seorang insinyur dan Mohamad Badie’ seorang dokter hewan. Mereka para tokoh yang membimbing dan mengarahkan gerakan Ikhwan sampai hari ini. Sekalipun, mereka berlatar belakang dari sekolah umum, seperti halnya Sayyid Qutb, yang awalnya seorang sastrawan telah menuliskan tafsir yang monumental Fi Dzilalil Qur’an.

Tetapi, Ikhwan sebuah gerakan yang memiliki tradisi keilmuan yang terkemuka, diantara gerakan-gerakan Islam, yang ada. Karena banyak para ilmuwan yang lahir dari Ikhwan.

Seperti Sayyid Sabiq, yang menulis tentang fiqh sunnah, Ramadhan al-Buthi, yang mengarang tentang shiroh Nabi, Syaikh Qardawi, yang mengarang buku tentang fiqh zakat, Mohamad al-Gazali, Abdul Qadir Audah, Hasan Turabi, Said Hawa, Sayyid Qutb, yang mengarang dan menulis tafsir Fi Zilalil Qur’an dan Ma’alami Fit thoriq (Petunjuk Jalan), dan menyelesaikannya waktu dipenjara. Termasuk ahli tasawuf, yang menjadi guru dari Hasan al-Banna dan Syaikh Qardawi, yaitu Syakh Al Bahi Al Khuli.

Jamaah Ikhwan kaya dengan para ilmuwan di berbagai bidang. Tradisi keilmuan menjadi sesuatu hal yang sangat penting. Inilah yang menyebabkan Ikhwan dapat bertahan dan tak pernah berakhir eksistensinya di dunia Arab. Karena gerakan ini dibimbing para pemimpin yang memiliki latar belakang keilmuan, dan orang –orang tetap sabar dan istiqomah di tengah-tengah kehidupan yang penuh kontradiksi, khususnya kekuasaan di dunia Arab.

Awal gerakan Ikhwan ini sangat besar kontribusi dari para ulama, dan mereka mendidik, dan mencetak kader yang menjadi generasi penerus mereka. Seperti Syaikh Al Bahi Al Khuli yang menjadi Ketua Lajnah Dakwah dalam Ikhwan mencetak kader-kader mereka diantaranya Ahmad Assal, Muhammad Shaftawi, Muhammad Damirdasy Murad, Abdul Azim Daib, Abdul Wahab Bintanuni, Muhammad Abdul Fatah Hessyah, dan sejumlah mahasiswa dari Al-Azhar. Syaikh Qardawi, dan Hasan al-Banna pernah berguru dengan Syaikh Al Khuli.

Belakangan ini lebih banyak lagi para ilmuwan dari berbagai kalangan yang muncul dari Ikhwan, yang memang dipersiapkan. Perguruan Tinggi di Mesir dan dunia Arab menjadi tempat perektutan dan sekaligus, tempat mendidik dan menciptakan kader di berbagai lapisan.

Mereka sebenarnya jauh l ebih baik kondisinya, sekalipun menghadapi tantangan dengan kekuasaan yang otoriter sekalipun. Karena itu, Jamaah Ikhwan tetap berkembang dan bertahan menghadapi kehidupan politik yang sangat tidak ramah.

Kampus-kampus di Mesir, hampir semuanya dikuasai oleh kader-kader Ikhwan. Seperti Universitas Cairo dan Al-Azhar menjadi tempat Ikhwan merekrut dan mendidik kader-kader baru, yang sangat potensial, dan kemudian sesudah mereka menyelesaikan kuliahnya mendirikan organisasi profesi sebagai wadah untuk melakukan kegiatan mereka.

Kehidupan yang sangat ketat dan tertutup di Mesir, tak menyebabkan mereka kehilangan peluang mengembangkan dan meningkatkan kemampuan dan kualitas anggota-anggota mereka secara utuh. Itulah karakter Ikhwan sebagai jamaah dakwah, yang terus mampu bertahan dengan berbagai kondisi yang ada di Mesir.

Tradisi keagamaan yang dibangun secara lekat oleh para pemimpi Ikhwan itu, menyebabkan para anggota Ikhwan menjadi sangat kuat, tak dapat dihancurkan dengan mudah oleh rezim-rezim otoriter di Mesir.

Seperti digambarkan oleh Mohamd al-Gazali, ketika berada di penjara, dan mereka tetap sabar. “Bagaimana kami mengisi waktu di penjara? Hari-hari kami dimulai sejak beberapa jam sebelum fajar. Para ikhwan telah bangun dan bersiap untuk shalat fajar dengan melakukan qiyamul lail”, ujarnya. “Ketika kumandang azan Shubuh, kami bergegas melaksanakan shalat, dan sesudah itu, kami membaca do’a khunut nazilah”, tambah al-Gazali.

Usai shalat Shubh , bagaimana Mohamad Al-Gazali menggambarkan, suasana di dalam penjara, berlangsung wirid ma’syurat, dan dibaca bersama-sama. Sungguh suasana yang sangat luar biasa nikmat, khususnya di dalam kehidupan penjara. Mereka yang berada di penjara itu, lalu mendengarkan ceramah yang disampaikan oleh Syaikh Mohamad Al-Gazali tentang shirah Nabawiyah. Itulah yang menghidupkan ruh dan jasad para ikhwan yang dipenjara oleh para penguasa Mesir, dan tetap bersabar atas keadaan yang mereka alami.

Bagi para pemimpin Ikhwan yang sudah mengalami berbagai pengalaman dan kesulitan dalam perjuangan di Mesir, tak menjadi masalah bagi mereka. Di dalam suasana yang sulit tradisi keilmuan tetap mereka jalankan dengan baik.

Di penjara Mohamad Al-Gazali membacakan kitab Madarijus Salikin yang merupakan karya agung dari Imam Ibnul Qayyim, Syarh Manazil oleh Syaikh Ahmad Abdul Hamid, Syaikh Sayyid Sabiq mengisi tentang fiqh sunnah, dan Syaikh Abdul Badi Saqar, mengajarkan, “Bagaimana Kita Menyeru Manusia?”.

Inilah yang membuat Ikhwan mampu bertahan menghadapi bencana demi bencana yang ditimpakan oleh para penguasa Mesir. Mereka tetap sabar dan terus meningkatkan keilmuan mereka. Sayydi Qutb mengarang berbagai kitab, dan bahkan menyelesaikan karya monumentalnya Fi Dzilali Qur’an, saat berada di penjara militer Liman Thuroh. Wallahu’alam.