Seandainya SBY Bisa Bersedih?

Kita hanyalah bisa berandai-andai. Tidak lebih dari itu. Menghadapi penguasa di negeri ini. Penguasa yang tidak dapat bersedih melihat penderitaan rakyatnya. Penguasa yang sudah kehilangan empati terhadap rakyatnya. Penguasa yang sudah tumpul hati nuraninya. Tidak peduli dengan segala penderitaan rakyat.

Kita ingin Presiden SBY menangis dan bersedih, berempati langsung kepada keluarga yang anaknya satu demi satu meninggal. Meninggal akibat kemelaratan yang menderanya. Satu demi satu sebuah keluarga anaknya meninggal. Enam orang anaknya seluruhnya meninggal. Tak tersisa. Sangat getir. Presiden SBY yang lahir di kota Pacitan, mestinya sanngat paham. Karena Pacitan dalam kurun waktu yang panjang rakyatnya di dera kemiskinan yang akut. Makanan rakyatnya tiwul, yang terbuat dari gaplek. Mestinya Presiden SBY sangat merasakan penderitaan itu, dan langsung mengulurkan tangannya kepada keluarga yang miskin itu.

Masih hampir 100 juta lebih penduduk negeri ini yang miskin, dan masih 40 juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Fakta sosial yang lekat dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dibantah. Tidak bisa dibantah oleh data-data statistik yang disajikan oelh BPS. Tidak bisa dibantah oleh laporan yang dibuat oleh Menko Ekuin. Kehidupan rakyat sehari-hari di pedesaan sangat sulit. Banyak diantara mereka hidup tanpa penghasilan, yang memadai.

Bagaimana 80 persen rakyat Papua hidup di bawah garis kemiskinan? Sedangkan di Papua ada tambang emas di Free Port? Bagaimana propinsi-propinsi lainya? Adakah mereka sama dengan kondisi rakyat di Papua yang rata-rata miskin. Padahal negeri ini sangat melimpah sumber daya alamnya. Papua memiliki sumber daya alam, seperti emas, tembaga, dan lainnya, yang menghasilkan triliun rupiah. Tetapi, kehidupan rakyatnya tak banyak berubah, sejak Papua menjadi bagian Indonesia.

Bagaimana kondisi rakyat di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi? Di Nusatenggara Barat, yang masih banyak rakyat mengalami busung lapar dan kekurangan gizi. Tidak memiliki penghidupan yang layak. Rata-rata mereka hanya hidup seadanya, tanpa mendapatkan kehidupan yang layak. Sementara itu, sumber daya alam mereka telah habis dikeruk, dan dimiliki oleh asing.

Akhir-akhir banyak rakyat yang memilih hidup dengan jalan bunuh diri. Karena mereka sudah tidak mampu lagi menerima beban hidup yang amat berat. Penderitaan yang tidada henti. Penderitaan yang terus menerus. Akhirnya mereka melakuakn bunuh diri. Kemiskinan yang akut membuat mereka hanya memilih satu-satunya jalan dengan bunuh diri.

Mestinya, Presiden SB Y sedih menangis, dan merespon dengan langsung peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang dialami rakyat. Bukan malah Presiden menyampaikan di depan para perwaira TNI dan Kepolisian di Mabes TNI, yang menyatakan sudah tujuah gajinya tak naik. Seharusnya Presiden berkaca layakkah mengucapkan seperti itu. Tidakkah seharusnya Presiden SBY, merasa bahwa apa yang dilakukannya belum ada arti apa-apa, di bandingkan dengan kenyataan yang dihadapi oleh rakyatnya.

Substansi yang dihadapi Presiden SBY adalah menyelesaikan masalah-masalah yang sekarang sangat fundemental, yang menjadi perhatian dan keprihatinan rakyat. Bukan menyampaikan perihal pribadinya, yang terkait dengan gajinya.

Rakyat pasti akan bertanya kepada Presiden SBY. Apa sesungguhnya prestasi Presiden selama tujuh tahun pemerintahannya? Adakah perbaikan kehidupan rakyat secara fundamental? Atau kondisi rakyat stagnan, tidak berubah, selama pemerintahannya berlangsung? Ini semuanya harus menjadi perhatian Presiden.

Tengoklah kehidupan rakyat di lereng-lereng Merapi dan Bromo? Pasca gunung Merapi meletus, sekarang mereka menghadapi lahar dingin yang menghancurkan. Rumah-rumah mereka hancur luluh lantak. Sebagaian mereka masih hidup di tenda-tenda. Mengapa pemerintah tidak segera mengambil keputusan memberikan tempat tinggal yang layak. Agar mereka bisa hidup kembali secara normal. Tapi dibiarkan sampai hari ini dalam penderitaannya.

Presiden SBY mestinya sedih dan menangis. Ketika mengeluarkan 12 instruksi untuk menyelesaikan kasusnya Gayus. Tetapi, sesudah sehari dikeluarkannya 12 instruksi Presiden, justru majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan, hanya memvonis Gayus hanya 7 tahun penjara, ditambah denda Rp 300 juta rupiah.

Padahal, ongkos Gayus membuat paspor saja Rp 900 juta. Ini artinya 12 instruksi Presiden SBY itu, seperti angin lalu, dikalangan aparat penegak hukum. Tidak digubris. Tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Instruksi Presiden SBY itu hanya menjadi sangat artfisial dan penuh dengan lelucon. Tidak mempu menghukum Gayus, dan membuka jaringan mafia pajak.

Tengoklah kehidupan rakyat di lereng-lereng Merapi dan Bromo? Pasca gunung Merapi meletus, sekarang mereka menghadapi lahar dingin yang menghancurkan. Rumah-rumah mereka hancur luluh lantak. Sebagaian mereka masih hidup di tenda-tenda. Mengapa pemerintah tidak segera mengambil keputusan memberikan tempat tinggal yang layak. Agar mereka bisa hidup kembali secara normal. Tapi dibiarkan sampai hari ini dalam penderitaannya.

Seharusnya Presiden SBY sedih menangis melihat kondisi dan kenyataan aparat penegak hukum seperti yang ada sekarang ini. Bukan malah Presiden menyampaikan sudah tujuh tahun gajinya sudah tuju tahun tidak naik.

Di mana kesedihan dan empati Presiden terhadap rakyat? Adakah masih tersisa di dada Presiden empati terhadap nasib rakyat kecil, yang sekarang ini menuntut adanya keadilan, dan perlindungan dari penguasa mereka?

Dulu Umar Ibn Khattab setiap malam jarang tidur. Selalu berkeliling ke kampug-kampung melihat kondisi kehidupan rakyatnya. Masih adakah diantara mereka yang kelaparan dan tidak mampu makan? Ini dikerjakan oleh Umar Ibn Khattab sebagai seorang pemipin yang mendapatkan amanah dipundaknya.

Tetapi, memang Presiden SBY bukan tipe  penguasa di zaman dahulu dalam Islam, seperti yang dicontohkan oleh Umar Ibn Khattab. Sekarang Presiden SBY dan rombongan ke India, sesudah vonis Gayus. Di tengah-tengah rakyat yang menjerit akibat penderitaan hidup yang mereka alami. Wallahu’alam.