Beribadahlah Hanya Untuk Allah Semata

Al-Qur’an Makkiyah (surah-surah al-Qur’an yang diturunkan di Makkah) merupakan garis aqidah yang menjadi pusat seluruh inti dari ajaran Islam, di mana ia menjadi poros aqidah, dan tempat berputarnya manhaj Rabbani untuk kehidupan umat manusia, baik yang bersifat global atau detilnya. Al-Qur’an Makkiyah telah melahirkan generasi pertama (assabiqunal awwalun), yang bersama-sama dengan Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam.

Seperti surah Hud yang hakikat utamanyaadalah dalam muqadimahnya, yang memaparkan kandungan al-Qur’an itu kepada Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa salllam, dalam kisahnya menjelaskan dengan sangat gamblang tentang pergerakan aqidah sepanjang sejarah umat manusia, dan bagaimana Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, ketika menghadapi orang-orang musyrik dengan pandangan yang sangat final.

Alur surah Hud itu fokus dalam perintah ibadah kepada Allah semata, dan larangan beribadah kepada selain-Nya. Penegasan ini adalah inti agama (Islam) secara keseluruhan, serta realisasi janji dan ancaman, hisab dan pembalasan, pahala dan siksa, yang bersifat komprehensif dan menyeluruh. Tidak ada lagi sesuatu yang disembunyikan sikap terhadap orang-orang musyrik dan para penyembah berhala. Inilah adalah hukum yang bersifat final.

Hakikat pentauhidan ibadah hanya untuk Allah, hal ini seperti digambarkan di dalam dua ayat dibawah ini.

“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain dia”. (QS. Hud : 50)

“Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira kepadamu dari Nya”. (QS. Hud : 2)

Makna bentuk kalimat (ayat) pertama (QS. Hud, 50), berupa perintah beribadah kepada Allah dan penegasan tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Sedangkan makna bentuk ayat kedua (QS. Hud, 2), merupakan larangan beribadah kepada selain Allah, makna bentuk kalimat kedua adalah manka tersirat (implisit) dari makna bentuk kalimat pertama. Bentuk kalimat pertama bersifat eksplisit,sedangkan bentuk kedua adalah bentuk mafhum (implisit).

Al-Qur’an Makkiyah dengan sangat gamblang menegaskan, bahwa pertama, beribadah kepada Allah dan tidak beribadah kepada selain-Nya. Kemudian, memberikan pengertian bahwa jiwa manusia menghajatkan nash yang tegas tentang kedua sisi hakikat ini – tidak cukup perintah beribadah kepada Allah semata, tetapi adanya penegasan bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan adanya larangan yang tegas untuk beribadah selain-Nya. Karena, hakikatnya sepanjang selalu terjadi manusia tidak menolak beribadah kepada Allah, dan tidak mengingkari-Nya, tetapi dalam waktu bersamaan mereka juga menyembah dan beribadah kepada selain-Nya. Ini ironi dan tragedi yang terjadi dalam kehidupan umat manusia. Baik di masa lalu maupun di masa kini.

Hakikatnya Al-Qur’an itu, mengungkapkan tentang hakikat tauhid itu ada dalam dua bentuk. Yaitu perintah dan larangan. Supaya yang satu menguatkan yang lain, yang akan menghilangkan segala celah yang mungkin bisa dimasuki kemusyrikan dalam suatu bentuk diantara bentuk-bentuk yang berbeda-beda.

Allah berfirman : “Janganlah kamu menyembah dua tuhan, sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut”. (Q.S. An-Nahl, 51).

Al-Qur’an Makkiyah ini menjadi pedoman yang bersifat final, di mana hanya dibolehkan menyembah kepada Allah semata.

Tidak layak makhluk melakukan penyelewengan aqidah dengan menyembah selain-Nya. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, yang memusuhi agama Allah, dan selalu membawa kehidupan ke dalam kegelapan dan kehancuran, karena sikap kemusyrikan mereka. Wallahu’alam.