Dosa Kolektif

لا تحـقــروا الذنوب الصغـار فـانها تنعـشب منها الذنوب الكبار

“Jangan remehkan dosa kecil karena ia dapat membiakkan dosa besar.” (Hukama)

Hakikat dosa adalah penyalahgunaan kebebasan yang dianugerahkan Allah kepada manusia, dengan melanggar kehendak-kehendak Allah Swt yang termuat dalam hukum-hukum-Nya yang jelas. Boleh jadi wujudnya berupa kecenderungan mengabaikan, atau berupa perbuatan. Secara teknis, setiap pelanggaran terhadap hukum Allah dan norma etika dipandang sebagai dosa.

Dalam pandangan Islam cakupan dosa tidak hanya dalam konteks kesalahan individu tetapi juga dalam konteks kesalahan kolektif manusia. ”Tidak ada doa mereka selain ucapan: "Ya Tuhan Kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (QS, Ali ’Imran [3]: 147).

Bahkan, Iqbal dengan sangat kerasnya mengecam dosa kolektif. ”Bisa jadi dosa individu dapat dimaafkan akan tetapi dosa kolektif yanag dialkukan sebuah kumpulan manusia terorganisasi akan sulit dimaafkan.”

Dalam al-Qur`an banyak ditemukan beberapa istilah yang substansinya semakna dengan dosa. Misalnya dzanb, istm, sayyi`ah, dan khati`ah. Selanjutnya al-Qur`an memperkenalkan dua macam dosa secara berperingkat, yaitu dosa kecil dan dosa besar. ”Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS, al-Nisa [4]: 31).

Tidak seperti halnya kategori-kategori moral pada umumnya, Islam tidak mengambil pandangan statis terhadap dosa yang dilakukan manusia. Dosa dapat bertambah dan berkurang atau bahkan dihapuskan sama sekali serta keutamaan-keutamaan lainnya. Rasululah Saw bersabda, ”Barang siapa memperbanyak Istighfar maka Allah akan membebaskannya dari kedukaan, dan memberinya jalan keluar bagi kesempitannya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak diduga-duga.”(HR, Abu Dawud).

Meski demikian, dosa sangat berkaitan dengan kategori-kategori moral lainnya. Oleh sebab itu, menghindari dosa, selain bersifat religius, juga sekaligus bersifat moral. Dalam konteks inilah kita dapat memahami tentang larangan menyepelekan dosa sekecil apa pun. Sebab pembiakan dosa bermula dari yang kecil dan dipandang remeh.

Padahal sekecil apa pun dosa yang dilakukan akan berpengaruh terhadap keadaan kalbu atau kejiwaan pelakunya dan akan membentuk kondisi obyektifnya. Sedangkan kondisi obyektif kalbu atau kejiwaan seseorang akan memancar pada perilaku lahiriahnya. Kalbu yang sakit akan melahirkan perilaku yang sakit pula.

Abu Hurairah Ra menceritakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya seorang mukmin, jika ia mengerjakan suatu perbuatan dosa, maka akan timbul noda hitam dalam hatinya. Jika ia bertobat, menarik diri dari dosa itu, dan mencari rida Allah, maka hatinya menjadi jernih. Jika dosanya bertambah, maka bertambah pula nodanya sehingga memenuhi hatinya. Itulah yang disebut ar-ran (penutup), yang disebut oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya, ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang telah mereka usahakan itu menutupi hati mereka’."(HR, al- Tirmidzi dan al-Nasa’i)

Oleh sebab itu Ibnu Taimiyah, dalam al-Tuhfah al-’Iraqiyah fi al-A’mal al-Qalbiyah wa Yaliha Amradh al-Qulub wa Syifa`uha, menjelaskan bahwa keseimbangan hidup seseorang adalah cerminan kesehatan hatinya sedangkan kezaliman merupakan refleksi kerusakan hatinya. Oleh karena itu dosa yang dilakukan seseorang sama artinya merusak kesehatan hati, yang berarti telah menzalimi diri sendiri.

Atas dasar semua itu tidak sepatutnya kita memandang remeh sekecil apa pun dosa yang dilakukan. Sebaliknya, kita dituntut berusaha keras menghindarinya dan jika terlanjur melakukannya harus berupaya menghapusnya. Sebab jika kita lalai, dikhawatirkan perbuatan dosa akan menjadi kebiasaan. Sedangkan perbuatan dosa yang telah membudaya, hanya akan memuaskan setan. ”Sesungguhnya setan telah berputus asa untuk disembah di bumi kalian ini. Akan tetapi dia cukup merasa puas jika kalian membiasakan melakukan dosa-dosa yang kalian anggap remeh.” (HR, Ahmad).

Istighfar dan taubat adalah medium efektif penghapusan dosa, termasuk dosa-dosa yang dikategorikan kecil. Sebab terdapat hukum moral yang tidak bisa dihindari sebagai akibat meremehkan dosa. Pada dasarnya, baik dosa kecil atau pun dosa besar, memiliki konsekuensi hukum yang akan berpulang kepada pelakunya dan bahkan efek dan implikasinya sangat luas. “Barang siapa yang mengerjakan amal yang shaleh, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri, dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba(Nya). (QS,.Fushshilat :46)

Ketekunan seseorang melakukan dosa kecil dan pembiakannya bisa berakibat ditangguhkan pengampunannya. Di sini ada semacam hukum moral yang melekat dalam kaitan pelanggaran yang dikategorikan dosa. Setiap perbuatan dosa yang dipandang besar oleh pelakunya, disisi Allah Swt dosa itu menjadi kecil. Sebaliknya, apabila ia dipandang kecil atau diremehkan oleh pelakunya, disisi Allah justru ia menjadi besar. Dosa kecil yang dilakukan karena tidak memiliki rasa malu, tidak peduli, tidak takut dan meremehkannya bisa mengakibatkan nilai pelanggarannya sama dengan dosa besar, bahkan bisa menjadi puncak dosa besar.

Atas dasar itu sepatutnya kita memiliki kehati-hatian yang tinggi terhadap semua jenis pelanggaran diketegorikan sebagai dosa kecil sebagaimana diperingatkan Rasulullah Saw, ”Berhati-hatilah kalian terhadap dosa-doa yang dianggap remeh. Sebagaimana suatu kaum yang singgah di satu lembah, lalu seseorang datang dengan membawa ranting kayu bakar. Kemudian datang pula seseorang dengan membawa ranting kayu bakar yang lain sehingga dengan ranting-ranting itu mereka dapat memasak roti mereka. Sesungguhnya dosa-dosa yang dianggap remeh itu jika pelakunya dihisab, niscaya akan membinasakannya.” (HR, Ahmad).

Wallahu A’lam