Tribute To Paman Adung

Sampai dengan hari ini walaupun sudah tidak bekerja di Kalimantan, saya masih ‘jatuh cinta’ dan akan terus ‘jatuh cinta’ dengan Desa Mangkalapi, sebuah desa di pedalaman Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Jika dulu saya berkisah tentang “Jejak Siliwangi di Mangkalapi”, tapi sekarang saya akan bertutur tentang seseorang yang bernama Muhammad Dong, yang lebih nyaman saya panggil Paman Adung, sebutan ‘paman’ merupakan istilah sapaan dalam bahasa banjar yang menunjukkan penghormatan sekaligus kedekatan emosional, beliau adalah Kepala Desa Mangkalapi.

Saya bukanlah orang yang mudah ‘menaruh hati’ pada orang lain, tapi dalam petualangan saya selama setahun di Kalimantan, kesan mendalam justru saya dapatkan pada sosok Paman Adung, karena dari beliaulah saya belajar apa itu kearifan, belajar hakikat demokrasi, dan juga belajar kebersahajaan dalam hidup. Bukan sekali ini pekerjaan saya beririsan dengan desa atau survey desa, mungkin sudah lebih dari 50 desa yang saya teliti atau kunjungi, namun baru kali inilah di pedalaman Kalimantan memiliki kesan mendalam terhadap kepala desa dan desanya.

Ketika awal saya bekerja, Manajer Humas mencoba mengenalkan saya sebagai (Corporate Social Responsibility) CSR Assistant perusahaan yang baru ke aparat Desa Mangkalapi, kebetulan setiap selesai shalat jumat di rumah Kepala Desa Mangkalapi biasanya ada pertemuan antara aparat desa dengan warga, sekedar mengobrol santai atau berkisah mengenai kondisi kampung, mungkin bahasa Dus Dur-nya open house. Seperti biasanya dalam pertemuan kampung saya datang ke rumah kepala desa dan bersalaman dengan seluruh orang yang ada disana, saya tidak tahu yang mana kepala desa, mana Sekdes, mana ketua Rt, karena semua memakai sarung dan kopiah duduk melingkar, dan mungkin manajer Humas-pun lupa menunjukan yang mana kepala desa dan aparatnya satu persatu, sampai akhirnya saya duduk diantara mereka dan terlibat dalam obrolan hangat, terlebih ketika warga desa baru tahu jika saya adalah CSR assistant yang baru. Sampai dengan open house selesai , saya hanya menduga-duga siapa kepala desa, dan dugaan saya jatuh pada bapak tua yang banyak bicara saat open house sebagai kepala desa Mangkalapi.

Pekan berikutnya merupakan jadwal saya melakukan pemetaan sosial di Desa Mangkalapi, dan tentunya harus menemui kepala desa untuk melakukan wawancara dan mengambil data monograf desa. Saya berangkat menuju rumah kepala desa, berdasarkan kesimpulan saya pada saat open house kalau kepala desa adalah bapak tua yang banyak bicara. Sampai di depan rumah kepala desa saya bertemu dengan sesoorang yang terlihat masih muda sedang menyapu pekarangan rumah, mengenakan kaus oblong dan celana pendek. Saya ingat dalam open house hari jumat pemuda tersebut hadir dan lebih banyak diam. Kemudian saya bertanya “Pak… Bapak Muhamad Dong kepala desa adakah dirumah?”, dengan tersenyum hangat orang yang saya hampiri tersebut menjawab, “Beliau ada, silahkan naik pak”, beliau bergegas masuk kedalam rumah dan meninggalkan sapu lidinya. Tak lama kemudian berganti celana panjang sambil membawa nampan berisi teh hangat pemuda tersebut menghampiri saya, “Ayo silahkan minum pak Rahmat, ini cuma ada air hangat”, lalu beliau duduk disamping saya sambil menepuk bahu, kemudian bertanya “Bagaimana Pak Rahmat, betahkah tinggal di kampung ini?”, karena tujuan saya bertemu kepala desa, maka saya jawab sekenanya “Hamdulillah betah pak, oia Bapak Kepala Desanya kemana pak?” kembali saya menguatkan pertanyaan. Sambil tersenyum lagi pemuda dihadapan saya menjawab “Beliau ada hehe… saya Muhammad Dong… ya wajah saya memang kurang mantap kalau disebut kepala desa, maklum masih belajar”. Alamak, rupanya pemuda yang tadi menyapu halaman, saya kira anak atau pembantu kepala desa, rupanya beliaulah yang bernama Muahammad Dong kepala Desa Mangkalapi. Saya malu luar bisa dan minta maaf salah menduga orang. Inilah kesan pertama yang selalu saya ingat, karena selama ini, saya terbiasa mengidentikan jabatan seseorang pada simbol-simbol luar, apakah itu pakaian, sikap, cara bicara dan kali ini betul-betul keliru. Seseorang yang menyapu di depan rumah yang amat sederhana mengenakan celana pendek dan membawa nampan, lalu menyajikannya ke tamu ternyata seorang kepala desa. Dimata orang lain berlebihan memang, tapi dimata saya begitu berkesan karena ada penggalan informasi berikutnya mengenai Paman Adung yang membuat saya semakin mengagumi beliau.

Muhammad dong meminta saya memanggilnya Adung saja, gak usah pakai sebutan Kepala Desa atau bapak. Usianya terbilang muda, kemungkinan tidak lebih dari 35 tahun, warga bilang beliau adalah kepala desa sementara menggantikan bapaknya yang meninggal 7 tahun lalu. Kepala Desa sementara, tapi telah menjabat lebih dari tujuh tahun, terdengar aneh memang, namun inilah wujud political trust sesungguhnya. Warga berpendapat dikarenakan masyarakat sudah sangat percaya dengan beliau, maka tidak perlu ada pemilihan lagi, soalnya percuma kalaupun ada Pilkades, gak akan ada yang mencalonkan diri karena suara warga desa sudah ke Pak Adung 100%. Pernyataan warga desa inilah yang membuat saya ingin tahu, karena baru ini menemukan ada warga yang “cinta mati” dengan kepala desanya.

Selidik punya selidik sambil menjalankan pekerjaan saya dikantor dan berhubungan dengan kepala desa, saya amati apa sih yang membuat warga amat sayang dengan kepala desanya. Temuan saya pertama mengenai kebersahajaan, rumah beliau berupa panggung yang terbuat dari kayu, sama dengan rumah warga pada umumnya, kendaraan yang ada hanyalah motor Yamaha Scorpio, memang sepertinya mewah tapi jika ukurannya Kepala Desa di Kalimantan sangatlah sederhana apalagi di tanah Desa Mangkalapi terdapat tambang batubara PT Arutmin, milik group Bumi Resources, terdapat beberapa Kuasa Penambangan (KP) Batu Bara lokal, dan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Namun Paman Adung sama sekali tidak memperkaya diri walaupun banyak perusahaan yang beroperasi diwilayahnya, padahal kalau mau, mungkin sudah menjadi orang terkaya, jikapun ada fee dari perusahaan batu bara atau perusahaan kelapa sawit beliau mengalokasikannya untuk honor guru, aparat desa, dan pembangunan fasilitas desa. Kondisi ini bertolak belakang dengan desa sebelah, dimana kepala Desanya mengendarai Toyota Fortuner. Sebagai gambaran, di Kalimantan sangat familiar jika Kepala Desa yang wilayahnya memiliki deposit batubara kemana-mana mengandarai Hummer, Toyota Fortuner atau jenis kendaraan mewah lainnya. Bahkan populasi mobil Hummer di Kalimantan jauh lebih banyak dibanding di Jakarta.

Kelebihan berikutnya, beliau adalah orang yang menerapkan filosofi satu mulut dua telinga, yaitu orang yang mampu menjadi pendengar yang baik, memberikan jawaban singkat namun solutif, sehingga membuat orang lain yang diajak berbicara merasa terhargai. Beliau terhitung langka mau memberikan sambutan baik dalam acara desa maupun undangan perusahaan. Bahkan saya menilai beliau memiliki emosi ‘nol’, karena setiap ada masalah seberat apapun selalu dihadapi dengan ketenangan, musyawarah, dan nyaris tanpa emosi. Sebagai pengalaman pernah suatu kali jalan desa rusak parah, disebabkan loading truck perusahaan tempat saya bekerja melakukan pengangkutan bibit tanaman sawit pada musim hujan, dimana hampir semua penduduk desa marah karena jalan desa hancur dan sulit dilalui sepeda motor, bahkan beberapa bagian jalan diblokir warga. Pada saat itu juga saya mengendarai sepeda motor menuju desa untuk menyelesaikan masalah tersebut dan berhenti berkali-kali untuk mengorek roda ban Karena dipenuhi lumpur, hingga pada satu tempat saya bertemu dengan Paman Adung beserta istrinya yang ternyata melakukan hal yang sama mengorek ban motor karena terganjal lumpur. Dalam kedaan spakboar depan patah dan kaki berdarah, rupanya beliau dan istrinya terpental dari sepeda motornya. Saat itu saya menilai wajar jika beliau marah kepada saya sebagai representasi perusahaan, karena membuat jalan hancur, bahkan membuat beliau dan istrinya celaka, dijalan itu beliau saya temui untuk menyampaikan permohonan maaf atas kerusakan dan ketidaknyamanan yang disebabkan perusahaan. Bukannya marah, malah kearifan beliau muncul, sambil tersenyum hangat beliau menjawab ”Gak apa-apa Pak Rahmat, namanya juga pembukaan lahan, saya yakin bulan depan jalan ini pasti bagus lagi”. Malah beliau mengingatkan saya “Jangan khawatir dengan warga, jalan yang di blokir sore akan dibuka, saya yakin perusahaan pasti bertanggungjawab”, pernyataan yang sangat menentramkan disaat saya panik.

Paman Adung adalah orang yang melawan arus Kepala Desa ‘pada umumnya’, padahal jika kita paham betul kultur Kalimantan, apalagi berada di wilayah tambang, cara preman atau kekerasan biasanya ditempuh untuk menyelesaikan masalah, tidak jarang permasalahan baru selesai jika sudah keluar mandau, atau harus ada yang terluka bahkan mati, tapi hal tersebut tidak dilakukan oleh Paman Adung. Semua masalah beliau selesaikan dengan musyawarah, membuat mereka yang bertikai tersenyum puas, bahkan beberapa kali saya dan pihak perusahaan sempat kecewa dengan sikap beliau yang terkesan lamban dalam menyelesaikan masalah ganti rugi tanah yang tumpang tindih, karena beliau tetap memilih jalur musyawarah. Prinsip beliau walau lambat, yang penting membuat ikhlas pihak yang bermasalah. Bahkan tidak jarang tanpa sepengetahuan perusahaan, beliau menalangi ganti rugi tanah yang tumpang tindih dengan biaya honor kepala desa atau kas desa, padahal hal tersebut bisa diajukan dengan menekan perusahaan, tapi sama sekali tidak beliau lakukan.

Satu bulan lalu saya meninggalkan pulau Kalimantan, dan informasi terakhir yang saya dapat, bahwa Paman Adung sedang melanjutkan kuliah S1 mengambil jurusan Administrasi Negara, karena pendidikan terakhirnya SMA, padahal usianya sudah 35 tahun. Sedang jarak dari Desa Mangkalapi ke Banjarmasin sekitar 6 jam, tapi dengan kegigihan dan cita-cita besar beliau tempuh. Tujuannya hanya satu, beliau ingin warga dan anaknya suatu saat meniru apa yang beliau lakukan tanpa harus beliau perintah, tapi dengan memulainya pada diri sendiri.

Satu hal yang saya ingat, kalau Paman Adung tidak ada di rumahnya saya pasti menemukan beliau di kebun karetnya, sedang menebas pohon liar dan menyiangi rumput, beliau lakukan itu dalam rangka memberikan contoh bagi masyarakatnya supaya memulai berkebun, agar tidak terus menggantungkan hidup dari mendulang emas dan mencari kayu ulin, karena beliau berpandangan, kalau hidup terus bergantung pada alam, suatu saat alam akan habis.

Memang Paman Adung adalah ‘malaikat’ yang mungkin Tuhan dikirim ke pedalaman, beliau tidak berbuat dengan mengumbar kata, tetapi melalui peneladanan. Hamdulillah ternyata masih ada “manusia pemimpin” model Paman Adung di zaman ini. Andai seluruh pemimpin bangsa ini bisa mengenal Paman Adung.