Ketika Kita Saling Bunuh

bentrok-mesir malam

*) Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi

Hantaman demi hantaman yang menerjang Islam dan kaum Muslimin sepertinya belum akan berhenti. Edisi fitnah terus bergulir. Skenario pemberangusan umat ini terus dibuat. Pembusukan dari dalam terus dilakukan. Dan itu akan estafet: sambung-menyambung menjadi satu, sampai Islam ini hancur jika itu dapat dilakukan.

Umat ini memang akan selalu demikian. Umat ini akan terus diburu karena dibenci. Namun umat ini terlalu kuat untuk diruntuhkan. Ia masih terlalu gagah untuk dilawan secara face to face. Musuh ternyata masih banyak yang pengecut. Wibawa Islam masih tinggi. Cahayanya memang tak akan pernah redup. Tapi, musuh Islam tak kehilangan akal. Mereka memutar otak setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, bahkan abad.

Itu sebabnya, di tengah kekuatan dan persatuan umat Islam yang masih kuat dan solid, musuh Islam melakuan politik “adu domba”, devide et impera ala imperialis klasik. Ini rupanya cukup ampun. Karena umat Islam yang imannya lemah dan dasar Islamnya dangkal mudah saja dikibuli. Mengherankan, tapi ini kenyataan. Ujung-ujungnya sesama Muslim berselisih: saling-mengkafirkan padahal sama-sama bersyahadat. Mereka saling-membid’ahkan padahal sama-sama Muslim. mereka saling-menyalahkan padahal sama-sama bodohnya. Ujungnya: mereka saling sikut, saling sikat, bahkan saling-bunuh. Ini sebenarnya tanda-tanda ‘kehancuran’. Ketika umat ini saling-bunuh, shaf mereka pun menjadi lemah. Musuh mereka pun semakin berani.

Aku jadi ingin sabda Nabi Muhammad Saw. mengenai fenomena saling-bunuh sesama Muslim saat ini. Dari Tsaubān ra. katanya Rasulullah Saw. bersabda demikian,

“Sesungguhnya Allah ta’ala telah memperlihatkan kepadaku (peta) bumu secara keseluruhan, sehingga aku dapat melihat bumi sebelah Timur dan Barat. Dan sesungguhnya kekuasaan ummatku akan sampai ke seluruh tempat yang telah diperlihatkan Allah Ta’ala kepadaku. 

Kepadaku diberikan dua macam perbendaharaan, yaitu: merah dan putih. Aku memohon kepada Tuhan untuk membantu ummatku, agar mereka tidak dibinasakan dengan musim susah yang berkepanjangan, dan agar mereka tidak dijajah oleh kekuasaan asing selain oleh mereka sendiri, sehingga kekuasaan mereka menjadi hancur-luluh. 

Tuhanku berfirman: ‘Ya, Muhammad! Apabila Aku telah memutuskan satu keputusan, maka keputusan-Ku tak dapat diubah lagi. Aku memperkenankan doamu untk ummatmu, bahwa mereka tidak akan binasa dengan musim susah yang berkepanjangan. Dan bahwa Aku tidak akan menjajahkan kepada mereka suatu kekuatan suatu musuh selain diri mereka sehingga kekuatan mereka hancur-luluh, sekalipun musuh-musuh mereka bersatu mengelilingi, kecuali bila sebagian mereka membinasakan yang sebagian dan mereka saling tawan-menawan.” (HR. Muslim).

Hari ini sesama Muslim saling-membinasakan. Saat ini sesama Muslim saling-tawan menawan, saling penjara-memenjara. Tidak ada lagi kata “islāh”: rekonsiliasi dan diskusi menurut ajaran Ilahi. Akhirnya kekuatan mereka pun hancur: meleleh dan ujungnya luluh-lantak. Para musuh mereka pun “tepuk-tangan” tanda bahagia. Misi mereka sepertinya hampir mendekati kenyataan ketika umat ini sampai pada taraf permusuhan yang menjadikan mereka saling-bunuh.

Coba kita renungkan kembali sabda Nabi Saw. yang lain. Dari ‘Āmir ibn Sa’d, dari bapaknya, dia berkata:

“Pada suatu hari Rasulullah Saw. datang dari daerah perbukitan. Ketika beliau sampai di Masjid Bani Mu’awiyah beliau masuk lalu shalat dua raka’at. Kami pun shalat pula bersama-sama dengan beliau. Beliau berdoa kepada Tuhan panjang sekali. Setelah berdoa lalu beliau berpaling ke arah kami, lalu berkata, 

“Aku mohon kepada Tuhanku tiga perkara. Dia memperkenankan dua perkara dan menolak satu perkara. Aku mohon kepada Tuhanku supaya jangan membinasakan ummatku dengan musim susah yang panjang, maka diperkenankan. Aku memohon supaya ummatku jangan dibinasakan dengan bencana tenggelam (seperti banjir yang melanda umat nabi Nuh, atau seperti tentara dan Raja Fir’aun yang tenggelam di laut merah). Permohonanku itu diperkenankan-Nya juga. Aku memohon supaya ummatku jangan dibinasakan karena pertentangan sesama mereka, permohonan ini tidak diperkenankan.” (HR. Muslim).

Apa ia kita ditakdirkan untuk saling-bermusuhan? Apa benar kita harus saling-bunuh? Apakah aksi saling-bunuh sudah mengalahkan toleransi? Atau mungkin karena ruh ukhuwwah islamiyyah sudah lama dihapuskan dari relung hati. Jika ingin yang terjadi, alangkah nestapanya umat ini. Padahal kita ini bersaudara: kiblat kita sama. Shalat kita pun sama-sama belajar dari Rasulillah Saw. melalui para ulama kita. Begitu juga dengan pusa, zakat, haji, dan segala macam bentuk yang lainnya. Dan sepertinya, aksi saling-bunuh ini belum akan selesai sebelum ummat ini benar-benar lemah tak berdaya. Wallāhu al-Musta‘ān.

 

*) Penulis adalah pengajar di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah (Medan, Sumatera Utara) dan Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Sumut.