Merangkul Malaysia Ganyang Zionis Israel

Indonesia dan Malaysia. Dua negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam ini seringkali mengalami kerenggangan hubungan. Belum hilang dari pemberitaan media, sebagaimana diberitakan bahwa Malaysia telah mengklaim kepemilikan beberapa aset kebudayaan milik Indonesia. Tak pelak hal itu membuat panas kuping sebagian masyarakat Indonesia.

Bahkan sampai ada yang menggalang dukungan untuk menyatakan perang terhadap malaysia dengan semboyan "ganyang Malingsia". Seperti halnya dilakukan oleh segelintir orang yang tergabung dalam Komonitas Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) beberapa waktu lalu di kantor PDIP lama di JL. Diponegoro. Jakarta Pusat.

Tidak sedikit terdengar selentingan-selentingan warga yang menghujat dan ingin sekali adu jotos dengan negara yang berbahasa melayu itu. Tari pendet, angklung, keris, reog Ponorogo, kain batik, lagu kebangsaan sampai masalah kedaulatan ambalat disebut-sebut sebagai pemicu permasalahan ini. Emosi masyarakat semakin meradang setelah beberapa media menyuguhkan video adegan penganiayaan sadis yang dilakukan oleh oknum warga Malaysia terhadap TKI yang bekerja disana. Ditambah lagi dengan beredarnya situs di Internet yang berisi tentang penghinaan dan pelecehan terhadap lagu kebangsaan Indonesia Raya yang di plintir liriknya.

Benar-benar membuat suasana semakin panas, walaupun belum diketahui secara pasti siapa dibalik situs tersebut. Postingan tertanggal 28 Juli 2009 memuat soal lagu kebangsaan Indonesia Raya yang diplesetkan. Dalam forum yang diberi judul Lagu Kebangsaan Indonesial tersebut, seseorang dengan nama Indonsial memposting teks lagu Indonesia Raya yang diplesetkan menjadi Indonesial.

Muslim adalah saudara

Sebagaimana diketahui, Indonesia dan Malaysia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Allah SWT mengisyaratkan bahwa setiap mukmin adalah saudara, sebagaimana dalam firman-Nya:

"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat" [QS. Al-Hujurat: 10]

Walaupun realitasnya kita hidup bersuku-suku maupun berbangsa-bangsa, berbeda bahasa dan warna kulit, tidak dibenarkan untuk saling mengunggulkan, bahkan saling berperang satu dengan yang lainnya atas dasar ashabiyah. Karena yang membedakan antara kita hanyalah Iman dan taqwanya, bukan ras, suku, bangsa atau yang lainnya. Dan perlu diketahui, mereka pernah lama hidup dalam satu naungan negara khilafah. Allah SWT telah memperingatkan:

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." [Al-Hujurat : 13]

Rasulullah SAW juga melarang keras sikap ashabiyah (Nasionalisme dan tribalisme) seperti itu, sebagaimana yang tercermin dalam sabdanya:

“Bukan termasuk Ummatku orang yang m engajak pada Ashabiyah,dan bukan termasuk ummatku orang yang berperang atas dasar Ashabiyah,dan bukan termasuk ummatku orang yang mati atas dasar Ashabiyah.“(HR.Abu Dawud).

Belajar dari sirah

Sebenarnya kasus pertikaian yang dialami oleh Indonesia dan Malaysia ini hampir sama seperti kisah semasa hidup Rasulullah SAW. Dimana Salah seorang tokoh Yahudi yang bernama Syas bin Qais yang sangat benci dengan bersatunya dua suku besar penghuni kota Madinah Aus dan Khazraj dalam ikatan Islam, membuat makar dengan mengirim seorang penyair agar membacakan syair-syair Arab Jahiliyah yang biasa mereka pakai dalam perang Buats. Perang Buats adalah perang yang terjadi selama 120 tahun (Ibnu Ishaq didalam Tafsir Al Mawardi)

Penyair suruhan Syas berhasil mempengaruhi jiwa sekumpulan kaum Anshar dari kalangan Aus dan Khazraj di suatu tempat di kota Madinah. Syair jahiliyah tersebut mengantarkan mereka kepada perasaan kebanggaan dan kepahlawanan mereka di masa jahiliyah dalam medan perang Buats. Perasaan kebangsaan dan kepahlawanan kaum Aus maupun Khazraj itu memuncak hingga mereka lupa bahwa mereka sesama muslim. Yang Aus merasa Aus dan yang Khazraj merasa Khazraj. Dalam puncak emosi perang itu mereka akhirnya berteriak-teriak histeris ”Senjata-senjata!”.

Dalam situasi kritis itulah, Rasulullah datang bersama pasukan kaum muslimin untuk melerai mereka. Rasulullah SAW bersabda:

“Wahai kaum muslimin, apakah karena seruan jahiliyah ini (kalian hendak berperang) padahal aku ada di tengah-tengah kalian. Setelah Allah memberikan hidayah Islam kepada kalian. Dan dengan Islam itu Allah muliakan kalian dan dengan Islam Allah putuskan urusan kalian pada masa jahiliyyah. Dan dengan Islam itu Allah selamatkan kalian dari kekufuran. Dan dengan Islam itu Allah pertautkan hati-hati kalian. Maka kaum Anshar itu segera menyadari bahwa perpecahan mereka itu adalah dari syaithan dan tipuan kaum kafir sehingga mereka menangis dan berpelukan satu sama lain. Lalu mereka berpaling kepada Rasulullah SAW. dengan senantiasa siap mendengar dan taat…” (Sirah Ibnu Hisyam Juz 1/555).

Kesimpulan

Masalah kebudayaan asalkan tidak bertentangan dengan syariah, itu tidak mengapa. Milik indonesia juga milik Malaysia, milik Malaysia juga milik Indonesia (terkait kepemilikan umum). Toh kepemilikan hakiki adalah kepunnyaan Allah SWT. Kaum Muslim adalah saudara. Baik yang berada di Indonesia, Malaysia, brunei, Irak dan dinegri-negri lainnya tidak dibenarkan untuk saling berperang satu dengan yang lainnya. Umat Islam harus waspada dengan politik "devide et impera" yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam. Mereka sadar betul jika Islam bersatu, maka Islam akan menjadi kekuatan yang sangat luar biasa baik secara geopolitik maupun secara geoekonomi. Itu berarti penjajahan mereka akan berakhir.

Sudah semestinya kita rangkul Malaysia. Bersatu dalam ikatan akidah Islam.Dalam naungan Khilafah, menjadi negara besar, kuat, bermartabat dan yang terpenting mendapatkan ridho-Nya. Kita galang kekuatan "ganyang zionis Israel"

Wallohu a’lam bi ash-showab

Jazakumullah khoir.

Saudaramu, Ali Mustofa Abdurrahman.