Konsep Ta'wil Syi'ah Bathiniyah & Pengaruhnya terhadap Hermeneutika (4)

C. Penyesatan Aqidah Islam.

Berdasarkan pada teori lahir dan batin (ad-Zhahir wa al-Batin) dan ta’wil liar, bebas dan spekulatif, Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah berhasil mengaburkan dan meruntuhkan bangunan sendi-sendi agama baik aqidah atau syari’at, dalam masalah tauhid mereka mempunyai terminologi sendiri dalam mengekspresikan “Tauhidullah” yang sama sekali tidak sesuai makna dan tujuannya dengan aliran dan mazhab lainnya, terminologi yang digunakan oleh mereka ialah: at-Tauhid, at-Tanzih, at-Tajrid. Mesikipun istilah tersebut secara general digunakan juga oleh aliran dan mazhab lainnya, akan tetapi makna dan artiannya jauh berbeda, sebagi contoh di bawah ini:

– Pengertian “Tauhid” Syi’ah Isma’iliyah.

Menurut mereka perkataan “at-Tauhdi” adalah bermaksud untuk mengetahui dan mengenal lima “Hudud al-Jismaniyah” dan lima macam “Hudud ar-Ruhaniyah”. Yang dimaksud dengan Hudud al-Jismaniyah dalam kamus Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah, adalah: Nabi, penerima wasiat Nabi, Imam, wakil Imam (al-Hujjah) dan pelaksana dakwa (ad-Da’i).

Adapun “Hudud ar-Ruhaniyah” (spiritual dignitaries) adalah: akal as-Sabiq (the precedent intelligence), an-Nafs at-Tali (the follower), malaikat Israfil (al-Jad), malaikat Mikail (al-Fath) dan malaikat Jibril (al-Khayal) [1].

Jadi menurut Syi’ah Isma’ilyah Bathiniyah, seseorang tidak dapat dikatakan bertauhid dan beriman kecuali bila ia meyakini dan mempercayai sepenuh hati hal-hal yang tersebut di atas [2]. Sementara tauhid dalam pemahaman mazhab lain secara umumnya adalah pengakuan atau pengiktirapan bahwa Allah Swt adalah Pencipta segala makhluk, Allah itu Esa tidak tuhan selan-Nya, dan Allah Swt tidak dapat diserupakan oleh makhluk-Nya.

– Pengertian “Tanzih” Syi’ah Isma’ilyah.

Bagi Syi’ah Isma’ilyah terminologi “at-Tanzih” maksudnya adalah meniadakan penamaan nama-nama Allah (Asmaullah) terhadap Pencipta (Allah), dan nama-nama Allah tersebut dialihkan kepada salah satu “Hudud ar-Ruhaniyah”, yaitu Aqal (aqal as-Sabiq), sementara Hudud al-Jamaniyah dan Hudud ar-Ruhaniyah keduanya dinamakan Asmaullah al-Husna[3]. Pengertian ini berbeda dengan pengertian mazhab lain, bagi pemahaman Ahlu Sunnah “at-Tanzih” adalah mengakui Asmaullah dan tiada yang menyerupakan Allah Swt.

– Pengertian “at-Tajrid” Syi’ah Isma’ilyah.

Syi’ah Isma’ilyah berpendapat bahwa perkataan “at-Tajrid” bermaksud meniadakan sifat-sifat ketuhanan atas seluruh makhluk-Nya, dan sifat ketuhanan hanya dinisbahkan kepada Pencipta (Allah) [4]. Pernyataan ini kita terima, namun yang kotradiksi di sini adalah tatkala mereka mengakui dan menetapkan sifat ketuhanan hanya milik Allah Swt saja, tapi mereka meniadakan nama-nama Allah (Asmaullah), sementara yang benar dan hakiki adalah pandangan bahwa Allah Swt adalah sang Pencipta, sebagai Tuhan segala makhluk serta mempunyai sifat-sifat dan nama-nama khusus yaitu Asmaullah al-Husna.

Dari keterangan diatas, Nampak bahwa Syi’ah Isma’ilyah Bathiniyah menafikan seluruh sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah Swt dan tersebut dalam al-Qur’an, seperti: Maha tahu (al-Alim), Maha kuasa (al-Qadir), Maha mendengar (as-Sami’), Maha melihat (al-Bashir) dan sifat-sifat laiinya, dan mereka berpendapat sifat-sifat tersebut adalah sifat para Malaikat, Nabi, Imam dan wakil Imam, jadi bukanlah sifat yang dimiliki oleh Allah, dan mereka berargumentasi bahwa hakakat pensucian (at-Tanzih) menuntut penafian tersebut, yaitu menghilangkan segala macam bentuk sifat bagi Allah Swt, dan bermaksud supaya Allah tidak serupa dengan makhluk ciptaan-Nya, sebab Allah tidak dapat diekspresikan dengan kata-kata dan tidak dapat diilustrasikan [5].

Jelas dari bentuk tauhid Syi’ah Isma’iliyah di atas bertentangan dengan aqidah Islam, yang menegaskan keesaan Allah Swt dan menetapkan sifat-sifat dan Asmaullah, dan yang fatal lagi Syi’ah Isma’iliyah mengadopsi pandangan filsafat Yunani tentang proses penciptaan alam semesta yang dikenali dengan teori “Emanasi” yang dalam bahasa arab disebut sebagai “al-Fayd atau as-Sudur” yang bermaknakan “Pelimpahan dan Pancaran”, dan tujuannya adalah untuk memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik, di mana proses kejadian alam ini terjadi scara berangsur dan dari satu sumber, yaitu akal creator (al-‘Aql al-Awwal atau al-a’Aql Fa’al), kemudian darinya lahir jiwa (an-Nafs), kemudian an-Nafs sendiri menghasilkan berbagai jenis akal dan seterusnya, jadi inti dari proses kejadian alama ini terjadi secara gradual pada alam jasmani, yakni jisim mutlak, dan seterusnya berkembang sendiri dengan membentuk perubahan-perubahan dalam perjalanan masa [6].

Dengan demikian, Syi’ah Isma’iliyah berkeyakinan bahwa Allah hanya sekedar menciptakan akal creator (al-‘Aql al-Awwal), kemudian akal tersebut berkembang dan berproses dengan sendirinya tanpa campu tangan sang Pencipta Allah Swt.

Untuk melihat lebih jelas penyelewengan aqidah yang dilakukan oleh Syi’ah Isma’iliyah, dapat dilihat dari konsepsi mereka tentang alam akhirat, di mana mereka menginterpretasikan segala jenis dan bentuk kehidupan di hari kiamat, sebab menurut mereka segala bentuk kehidupan di dalam alam akhirat itu hanyalah merupakan contoh saja, demi mendekatkan atau memudahkan pemahaman seseorang tentang keadaan alam akhirat, seperti:

  • Surga dan neraka, secara indrawi bagi mereka surga dan neraka itu adalah seruan mengikuti dakwah atau ajakan para Imam Syi’ah, adapun neraka adalah bermaknakan penolakan seruan dakwah para imam Syi’ah [7].
  • Hakikat kenikmatan yang ada di alam surga tidak nyata, konktrit dan dapat dirasakan oleh setiap orang, melainkan hakikat kenikmatan surga itu adalah mengenal dan mengetahui para imam Syi’ah [8].
  • Mukjizat tidak terjadi kepada para Nabi, sebab mukjizat itu hanyalah merupakan sebuah dongeng semata (Myth) dan Khurafat (Mythology) [9].

Bila kita renungkan secara seksama, disengaja atau tidak, fenomena penyelewengan-penyelewangan aqidah Islam yang dilakukan oleh gerakan Syi’ah Isma’iliyah seperti contoh-contoh di atas, dapat kita jumpai juga dalam wacana pemikiran sekuler dan liberal di Timur Tengah, seperti beberapa konsep tauhid, DR Hasan Hanafi merupakan salah satu tokoh dan pemikir liberal asal Mesir, menegaskan bahwa seluruh sifat-sifat Allah, di antaranya: al-Ilmu, al-Qudrah, as-Sam’u dan al-Bashru adalah merupakan sifat-sifat manusia [10].

Kemudian bila Syi’ah Isma’iliyah berani menafikan mukjizat-mukjizat para Nabi dan Rasul, maka kaum liberalpun demikian, DR Hasan Hanafi secara terang-terangan menafikan mukjizat Nabi dan dia iringi dengan pertanyaan: Apalah arti sebuah mukjizat, jika Allah sendiri mampu menciptakan secara langsung tanpa ada munasabah dan mement tertentu. Di samping itu baginya alam akhirat itu sendiri, hanyalah bahagian dari bentuk pengepresian dan angan-angan serta harapan belaka bagi orang-orang yang lemah hidupnya atau tertindas di alam dunia ini [11].

Ini sebuah fakta nyata, yang merupakan pengingkaran terhadap alam akhirat yang telah lama di propagandakan oleh gerakan Syi’ah Isma’iliyah.

Demikian beberapa pengaruh konsep ta’wil Syi’ah khususnya Syi’ah Isma’ilyah Bathiniyah terhadap peikiran sekuler dan liberal di Timur Tengah, keduanya mempercayai dan meyakini sepenuhnya bahwa teks-teks agama mengandung makan lahir dan batin, dan lahiriah suatu teks tidak dapat memberikan artian yang hakiki, oleh karena itu perlu dibantu dengan penta’wilan lebih lanjut agar makna lahir boleh difahami dan dimengerti.

Namun bedanya kalau menurut Syi’ah Isma’iliyah, pelaku ta’wil adalah khusus bagi para imam-imam mereka tanpa campur tangan orang biasa, begitupula halnya dengan tasawwuf, di mana praktek ta’wil hanya dapat dilakukan oleh para wali-wali “Auliyaullah”, sementara kaum sekuler dan liberal berpendapat lain bahwa penggunaan ta’wil dapat dilakukan oleh semua kalangan atau siapa saja dan tanpa ada batasan tertentu, oleh karena itu setiap individu mempunyai hak untuk menginterpretasikan teks-teks agama sesuai apa yang ia kehendaki dan pahami sendiri.

Adapun kesimpulan utama dari tulisan ini, dapat digaris bawahi bahwa kajian ta’wil dalam diskursus pemikiran Islam, telah diprakarsai oleh golongan Syi’ah Isma’iliyah, dengan memakai pendekatan teori “lahir dan batin”, atau dengan penamaan lain “al-Mithlu wa al-Mamthul”, at-Tanzil wa at-Ta’wil”, al-Ilmu wa al-Amal”.

Kemudian teori dan dan pendekatan tersebut diadopsi oleh ahli Tasawwuf dengan ganti nama “al-Hakikah wa as-Syari’ah”, “al-‘Amma wa al-Khas”. Selanjutnya teori tersebut direproduksi dan dikemas ulang oleh gerakan sekuler dan liberal masa kini di Timur Tengah dengan label yang berbeda-beda dan beranekaragam terminology, seperti: “al-Lafdz wa al-Ma’na”, al-Lafadz wa al-Maghza”, Ma’na al-Ma’na”, al-Lafadz wa al-Jauhar”, al-Lafadz wa al-Fahm”, al-Ma’na wa al-Maqashid”, at-Turats wa al-Hadatsah”, “ at-Turats wa at-Tajdid” dan penamaan lainnya yang berkisar tentang pendalaman ta’wil alias Hermeneutika.

Namun kita tidak sadar ternyata trend metode tersebut adalah merupakan hasil pengadopsian dan reproduksi atas gaya ta’wil Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah yang telah muncul pada tahun 250 Hijriah lalu, dan bedanya terletak pada kemasan dan penamaannya saja sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Ini suatu indikasi betapa besarnya pengaruh gerakan Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah terhadap konsep Hermeneutika gerakan sekuler dan liberal saat ini. Olehnya dapat dikatakan bahwa sekularisasi dan liberalisasi di Timur Tengah melalui konsep ta’wilnya adalah suatu gerakan yang “repetitive”, sebab konsep yang di bawah oleh mereka bukanlah konsep baru bagi aliran dan wacana pemikiran dalam studi keislaman, melainkan ia merupakan gerakan kuno yang telah berwujud dari dahulu, walaupun tampilan dan gaya yang bercorak moderen, dengan melabelkan dan mepropagandakan berbagai macam istilah yang kelihatannya “positif thinking” dan menarik, tapi hakikatnya malah akan menghancurkan agama Islam dari dalam atau dengan kata lain “MUSUH DALAM SELIMUT”, seperti dengan unsure kesengajaan menemakan diri sebagai gerakan: rasionalis “al-Aqlaniyah”, pencerahan “at-Tanwir”, kebangkitan “an-Nahdhah”, dan terminologi-terminologi lain yang mungkin oleh sebagian orang dapat tertarik dan terpengaruh, sebab slogan-slogan tersebut mengandung semangat kemoderenan (sprit of the times). Namun pada hakikatnya adalah "Tazwir ad-Din wa al-Afkar".
Wallahu A’lam.

Wallah A’lam.

Catatan:

  1. Lihat: Min al-Ijtihad Ila Naqd al-‘Aql al-Islami, Arkoun, hal: 80.
  2. Al-Kasyf, Ja’far bin Mansur al-Yaman, hal:51,42, Darul Andalus, Bairut-Lebanon, cet 1/1984, editor: DR. Musthafa Ghalib.
  3. Lihat: Zahrul Ma’ani, Idrsi ‘Imaduddin al-Qurasyi, hal:31, al-Muassasah al-Jami’iyyah, Biitut-Lebanon, cet 1/1991, editor: DR. Musthafa Ghalib. Kanzul Walad, Ibrahim bin al-Husain al-Hamidi, hal:11-12, Darul Andalus, Baerut-Lebanon, cet 1/1984. editor: DR. Musthafa Ghalib.
  4. Syajarah al-Yaqin, ‘Abdan, hal:115, Darul Afaq al-Jadid, Bairut-Lebanon, cet 1/1982, editor: DR. Arif Tamir. Kanzul Walad, Ibrahim bin al-Husain al-Hamidi, hal:27.
  5. Risalah Dhiyaa al-Ulum wa Misbah al-Ulum, Ali bin Hazdalah, hal:81-82, Dhimna Arba’ah Kutub Haqqaniyah, al-Muassasah al-Jami’iyyah.
  6. Rahat al-Aql, Hamiduddin al-Karamani, hal:144, Darul Andalus, Bairut-Lebanon, cet 2/1983. Risalah Jalaa al-Uqul wa Zubda al-Mahshul, Ali bin al-Walid, hal:95, Matba’ah Jami’ah as-Suriyah, Dimsyiq, cet 1/1958, Dhimna Muntakhabat Isma’iliyah, editor: DR. Adil Awwa.
  7. Risalah Mathali’ as-Syumus, fi Ma’rifat an-Nufus, Syihabuddin bin Nas ad-Dailami, hal:19, mansyuraat Darul Maktabah al-Hayat, Bairut-Lebanon, 1978, editor: DR. Arif Tamir. Kanjul Ma’ani, Idris Imaduddin, hal:33, al-Muassasah al-‘Jami’iyyah, Bairut-Lebanon, cet 2/1984, editor: DR. Musthafa Ghalib.
  8. Lihat: Zahru Budzr al-Haqaiq, Hatim bin Ibrahim al-Hamdi, hal:171-172, Mathba’ah al-Jami’ah as-Suriyah, Dimsyiq, 1958..
  9. Lihat: al-Majalis al-Muayyidiyah al-Miah at-Thsalits, Hebatllah as-Syairazi, hal:267-268, Darul Andalus, Bairut-Lebanon, cet 1/1994, editor: DR. Musthafa Ghalib..
  10. Lihat: Kitab Asas at-Ta’wil, al-Qadhi an-Nu’man bin Muhammad, Darul Ma’rifat, Kairo-Mesir, cet 1 tanpa tahun, editor: DR. Arif Tamir. Saraair wa Asrar an-Nuthaqaa, Ja’far bin Mansur, al-Yaman, Darul Andalus, Bairut-Lebanon, editor: DR. Musthafa Ghalib.
  11. Majalah al-Ibda’, DR. Hasan Hanafi, edisi Oktober 1991, Kairo-Mesir.