Menyentuh Mushaf al-Quran ketika Haid, Boleh atau Tidak?

Assalamu’alaikum, wr. wb.

Pak Ustadz yang dirahmati Allah,

Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan berkaitan dengan haid. Saya pernah mendengar dan membaca mengenai larangan-larangan sewaktu haid. Ada beberapa penceramah yang memberikan larangan yang berbeda-beda dalam hal larangan, yang membuat saya saat ini menjadi ragu-ragu. Sebelumnya saya tetap melakukan belajar tahsin Al-Quran di serambi/teras masjid dengan bimbingan seorang guru mengaji, walaupun saya sedang haid, karena menurutnya tidak apa-apa memegang/menyentuh Quran apabila untuk belajar. Namun beberapa waktu lalu saya mendengar ceramah dari seorang ustadz bahwa apabila sedang haid tidak boleh sama sekali menyentuh al-Quran meskipun untuk belajar dan tidak boleh juga masuk ke masjid walaupun itu di serambi masjid.

Mohon Pak Ustadz bisa memberikan penjelasan agar saya tidak ragu-ragu lagi.

Terimakasih sebelumnya atas penjelasan Pak Ustadz.

Wassalam,
Erita

Assalamu ‘alaikum warahmatulahi wabarakatuh,

Sebaiknya anda memang tidak menyentuh mushaf Al-Qruan saat sedang haidh, demi menghindarkan diri dari khilaf di antara ulama. Yang jelas masalah ini memang masalah khilafiyah besar di kalangan ulama. Meski kalau kita lakukan penelitian, kebanyakan ulama memang sepakat mengharamkan wanita haidh menyentuh mushaf. Kalau pun ada sebagian yang membolehkannya, itu hanya sebagian kecil pendapat.

Jadi memang sebaiknya anda tidak menyentuh mushaf dulu selama masa haid. Kecuali anda menggunakan sarung tangan atau alas kain untuk memegangnya. Beberapa ulama mengatakan bahwa bila terpaksa harus membolak balik mushaf, bisa menggunakan tongkat kecil.

Dan hal itu wajar, karena memang Allah SWT telah menetapkan adanya hari-hari istirahat buat wanita dari aktifits ibadah shalat dan puasa, selama masa mendapat haidh. Maka aktifitas membaca Al-Quran dan menyentuh mushaf pun sementara harus libur dahulu.

Wanita Haidh Masuk Masjid

Adapun masalah haramnya wanita haidh masuk masjid, ternyata juga merupakan masalah khilafiyah di kalangan ulama.

Dan memang benar adanya keharaman itu sebagaimana pendapat menurut jumhur ulama. Mereka umumnya menggunakan dalil qiyas. Yaitu menyamakan orang yang sedang haidh dengan orang yang sedang junub. Sebagaimana kita ketahui bahwa orang yang sedang junub dilarang masuk masjid kecuali sekedar lewat saja. Hal itu telah ditetapkan Allah SWT di dalam firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi…. (QS An-Nisa: 43)

Para ulama mengatakan bahwa makna jangan mendekati shalat adalah mendekati tempat shalat, yaitu masjid. Ayat ini bukan hanya melarang orang yang junub untuk shalat, tetapi menjadi dalil haramnya orang junub masuk ke masjid. Lalu wanita yang haidh diqiyas seperti orang yang junub, sehingga wanita haidh tidak boleh masuk masjid juga.

Di samping itu ada sabda Rasulullah SAW berikut ini.

Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh." (HR Bukhori, Abu Daud dan Ibnu Khuzaemah)

Namun sebagian ulama ada yang kurang sependapat dengan masalah ini. Mereka menolak pengqiyasan yang digunakan antara wanita haidh dengan orang yang sedang junub. Dan juga menolak keshahihan hadits di atas lantaran ada perawi yang dianggap tidak kuat. Dan ini memang masalah yang sangat lumrah terjadi di dunia ilmu hadits.

Jadi bagaimana sebaiknya? Apakah sebaikya memilih pendapat mayoritas (jumhur) ulama atau sebagiannya saja? Tentu Anda sepenuhnya punya hak dalam memilih. Toh keduanya merupakan hasil ijtihad fiqhiyah yang sudah ditetapkan oleh orang yang ahli di bidangnya. Namun berhati-hati dalam masalah keharaman tentu sikap yang jauh lebih baik.

Lepas dari masalah khilafiyah di atas, ada juga hal yang perlu anda perhatikan, yaitu tentang batasan masjid yang suci. Sebab tidak semua bagian dari masjid itu bisa dikategorikan wilayah suci. Misalnya, halaman masjid dan WC yang ada di areal masjid, tentu bukan areal suci. Dalam hal ini yang menentukan adalah takmir masjid. Mereka harus mengikrarkan kepada jamaah masjid batasan masjid yang suci. Apakah sebatas ruang dalam yang biasanya untuk ruang shalat di luar teras ataukah teras dianggap termasuk bagian dari wilayah suci masjid.

Bila ada ikrar bahwa teras bukan bagian suci masjid, maka wanita haidh boleh duduk di situ. Konsekuensinya, orang yang beri’tikaf di masjid tentu tidak boleh melewati area itu bila ingin i’tkafnya tetap berlangsung.

Wallahu a’lam bishshawab, Wassalamu ‘alaikum warahmatulahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.