Perempuan-Perempuan Gaza di Ladang Jihad Media

Lapangan kerja di bidang media di Jalur Gaza masih didominasi kaum lelaki dan hanya sedikit perempuan di Gaza yang bekerja sebagai wartawan. Penjajahan rejim Zionis Israel sejak tahun 1967 dan agresi Israel yang tiada henti ke wilayah itu, membuat partisipasi kaum perempuan di Gaza dalam berbagai aspek kehidupan jadi terkendala, salah satunya di bidang media massa.

"Kami sebagai jurnalis perempuan di Gaza menemui banyak kesulitan. Misalnya, kami tidak bisa bekerja lembur dan pulang ke rumah telat, meski banyak tugas yang masih harus kami kerjakan," kata Samar Aldreimly, satu dari segelintir perempuan Gaza yang bekerja sebagai wartawan.

Dominasi Kaum Lelaki

Samar mengungkapkan, di berbagai lapangan pekerjaan kaum lelaki masih mendominasi dan mereka kerap memandang sebelah mata perempuan yang bekerja sebagai praktisi media. Di sisi lain, Samar mengakui kesulitan kaum perempuan, terutama yang bekerja di sektor media massa untuk meningkatkan statusnya.

Hidaya Shamoun, perempuan Gaza yang berprofesi sebagai penulis mengungkapkan keluhan serupa. Menurutnya, peran kaum perempuan Gaza di sektor media massa masih minim. "Meskipun sudah banyak resolusi-resolusi internasional tentang pemberdayaan kaum perempuan, khususnya di bidang media, peran kaum lelaki masih dipandang lebih dominan dibandingkan kaum perempuan," ujarnya.

Menurut Nelly Al-Masry yang bekerja sebagai jurnalis dan peneliti di Pusat Urusan Perempuan Palestina di Gaza, perusahaan-perusahaan media dan kantor-kantor berita hanya sedikit memberikan ruang bagi kaum perempuan untuk bekerja di bidang itu.

"Banyak institusi media yang mempekerjakan kaum perempuan yang profesional di bidang media di bidang pekerjaan yang tidak banyak melibatkan mereka dalam tugas-tugas di lapangan. Misalnya mereka hanya dipekerjakan di perpustakaan," ujar Nelly.

Eternad Sa’ad, perempuan Gaza yang sudah lama bekerja di sebuah rumah produksi film independen, menceritakan pengalamannya sebagai pekerja media. Menurutnya, ia banyak menghadapi masalah dan kesulitan bekerja di bidang media. "Ketika pecah perang bulan Januari 2008, saya mengambil resiko keluar rumah untuk mendapatkan berita. Saya masih ingat, di hari pertama agresi Israel tanggal 27 Desember, saya dan beberapa kolega berada di kantor surat kabar Alayam. Suasana ketika sangat mengerikan, kami mendengar dentuman bom-bom Israel. Tapi saya keluar dan membawa kamera saya, tak peduli resiko yang akan saya hadapi," tutur Sa’ad.

Meski masih dipandang sebelah mata, sejumlah pria yang menjadi praktisi media massa menilai bahwa Gaza membutuhkan jurnalis-jurnalis perempuan. "Kehadiran kaum perempuan di sektor media massa sangat dibutuhkan," ujar Nasser Attalah, wartawan dan penyair di Gaza.

Mohsen Alefranji, dosen ilmu jurnalistik di Universitas Islam Gaza menambahkan, kaum perempuan yang bekerja di semua sektor media massa, mulai dari wartawan, penulis atau rumah produksi, meski jumlahnya masih sedikit menunjukkan peran nyata kaum perempuan di Gaza di bidang media dan di tengah masyarakat pada umumnya.

Sementara, sutradara film di Gaza Tareq Elian berpendapat, kaum perempuan yang memilih berkarir di bidang media harus mau bekerja keras dan meningkatkan kemampuannya sehingga bisa mengikis stereotipe kaum perempuan Gaza.

Tetap Optimis

Saat ini, dengan berbagai kendala dan keterbatasan kaum perempuan Gaza sudah mampu menunjukkan eksitensinya sebagai pekerja media meski jumlahnya masih sedikit. Sebagai contoh, Lubna Abu Ghadieen yang mampu menjadi produser di Pusat Urusan Kaum Perempuan Palestina di Gaza. Ia mennyatakan optimis dengan pekerjaan yang dilakukannya sekarang.

"Saya yakin, seorang perempuan bisa berperan untuk mereformasi keseluruhan masyarakat. Oleh sebab itu, kaum perempuan perlu senantiasa meningkatkan profesionalitasnya," ujar Lubna.

Ia tidak peduli dengan komentar-komentar negatif dari sebagian warga masyarakat Gaza terhadap kaum perempuan yang menjadi pekerja media. "Saya melakukan pekerjaan saya sebagai hobi dan profesi. Saya akan terus bekerja dan mencetak prestasi," tukasnya.

Keyakinan yang sama diungkapkan Naheel Alsultan, perempuan Gaza yang bekerja di radio lokal Al-Shabab. Naheel menegaskan bahwa dirinya mampu menjalankan pekerjaannya sebagai progamer radio meski harus menghadapi kesulitan, terutama dari sisi tradisi dan budaya konservatif masyarakat Gaza pada umumnya.

"Saya tetap harus pulang ke rumah sebelum malam, karena seorang perempuan tidak boleh berada di jalan pada malam hari," ujarnya. (ln/iol)