Dana Covid Pemerintah Mulai Sesak Nafas?

Eramuslim.com

by M. Rizal Fadillah

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020, yang namanya sangat panjang, dan susah dihafal itu sudah memberi keleluasaan penggunaan dana Anggaran Pendapatn dan Belanja Negara (APBN) untuk penanganan pandemi Covid 19.

Saking leluasanya, maka Pasal 27 memberikan an membebaskan para pembuat kebijakan keuangan yang terkait Covid-19 dari tuntutan hukum.

Dampak positifnya adalah kebijakan keuangan yang terkait penanggulangan pandemi menjadi prioritas. Sedangkan negatifnya bisa terjadi pemborosan, kebocoran, dan pengelolaan yang tidak becus.

Anggaran sangat mudah untuk dibesar-besarkan dari yang sebenarnya.

Mark up anggaran bisa terjadi dengan sangat gampang, seperti yang terjadi pada Bantuan Sosial (Bansos) yang menyeret mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dan anak Pak Lurah.

Indonesia menurut Laporan Bank Dunia termasuk 10 negara berpendapatan kecil menengah, dengan jumlah hutang Luar Negeri (LN) yang besar.

Sampai akhir Desember 2020, besaran hutang kita telah mencapai Rp. 6.074 triliun. Sementara total hutang baru Pemerintah tahun ini akan mencapai Rp. 1.439 triliun, akibat pandemi Covid 19.

Pemerintah sendiri mulai berjanji dan teriak untuk waspada.

Hutang yang tidak terkelola dengan baik akan menjadi back fire. Tragisnya lagu, hutang dikorupsi oleh orang-orang yang berlindung di sekeliling istana.

Padahal pandemi Covid-19 yang menjadi alasan keleluasaan penggunaan dan peningkatan hutang kini sudah terasa menjadi back fire. Alokasi dana penanganan Covid 19, juga mulai tersendat.

Jumlah pasien Covid yang semakin terus meningkat, dan mencapai angka di atas satu juta orang, dengan tingkat keterisian Rumah Sakit akumulatif 70%, telah melampaui angka batas aman yang ditetapkan oleh WHO, yaitu maksimal 60%.

Menurut Asosiasi Rumah Sakit (ARSSI) pemerintah mulai tidak mampu membayar klaim biaya pasien yang ditaksir sebesar Rp. 1 triliun lebih.