Efek Domino Pembantaian Di Gaza

Meledaknya “penjara” Gaza yang selama ini dikepung oleh Israel  dan “bebasnya” 700.000 warga Palestina yang mendiaminya telah mengubah peta politik di Timur Tengah. Peristiwa ini mungkin hanya bisa disamakan dengan peristiwa runtuhnya Tembok Berlin.

Semua actor utama drama ini—Israel, Mesir, Otoritas Palestina, Arab Saudia, Uni Eropa dan AS—harus kembali memikirkan kembali kebijakannya.

Realita yang paling mengenaskan tentang 1,5 warga Gaza—yang telah berkurang dengan sangat drastis, karena agresi militer Israel—adalah mereka tak akan pernah mau lagi terkurung. Gaza harus bernafas, berdagang, disuplai dengan kebutuhan pokok, dan hidup dengan normal. Jika Mesir, di bawah tekanan Israel dan AS, terus melakukan kontrol akan Gaza sekali lagi, kondisi ini niscaya akan memicu huru-hara di Kairo, dan bukan tak mungkin melengserkan Presiden Hosni Mubarak. Sekarang Mesir berada dalam situasi simalakama antara Israel-AS dan Palestina.

Sebaliknya, Israel sendiri tak akan lagi bisa mendominasi dan mengendalikan semua aspek kehidupan di Gaza. Situasi ini, jika Mesir mau berpikir, akan membuat Mesir di atas angin.

Jika saja negeri ini bisa menaklukan ketakutannya terhadap AS-Israel, maka Mesir mempunyai kesempatan besar untuk memperbaiki citranya di mata bangsa Arab.

Syaratnya hanya satu, Mesir memberikan jalan kebebasan kepada warga Gaza. Artinya, Mesir mengambil kontrol penuh akan perbatasan Rafah, dan berhubungan langsung dengan Hamas. Lebih jauh, Mesir harus menjadi pembela rakyat Gaza. Infrastruktur Gaza, hancur oleh Israel, harus kembali dibangun. Dan membangun Gaza dari reruntuhan kematian saat ini akan menawarkan racun yang dibuat mereka selama ini—terutama akan membuat Ikhwan menurunkan tensi tekanannya pada Mubarak.

Arab Saudi juga mempunyai peranan besar dalam periode ini. Mereka, dengan kekuatan uangnya yang berlimpah bisa menjadi sponsor utama pembangunan kembali kota Gaza. Mereka harus membujuk Eropa dan AS—dan Israel yang kurang ajar—jika ada perdamaian di tanah Arab, maka Hamas pun ambil bagian. Ini mungkin berita buruk untuk Mahmud Abbas, Presiden Otoritas Palestina beserta Perdana Menterinya, Salam Feyyad. Mereka sudah gagal dalam mewakili rakyat Palestina.

Boikot terhadap Hamas—dipaksakan oleh Israel dan AS dan diterima secara pengecut oleh Eropa setelah Hamas memenangkan pemilu tahun 2006—adalah sebuah kebodohan politik. Para diplomat Uni Eropa tidak bisa lagi berkata apa-apa tentang Hamas. Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak mengatakan, “Hamas membuat kami menyuruh mereka bicara ketika dalam penjara.” Barak adalah yang pertama mengusulkan Gaza diubah menjadi kelaparan.

Dengan semua kejadian ini, Israel sudah menderita kekalahan strategi dan politik. Aksi kolektif Yahudi terhadap Palestina sudah menjelma menjadi "Palestina tak akan menyerah", dan akan terus melawan. Sebaliknya, citra mereka di mata internasional sudah sangat jelas; keji, amoral dan merusak semua hukum internasional. Sekarang mereka berhadap dengan Hamas, vis-à-vis, sesuatu yang mereka takutkan—sama menakutkannya dengan peristiwa 34 hari Perang Lebanon pada 2006 silam. Dua aktor utama ini—Hamas dan Hizbullah—menantang Israel dengan strategi perang dua arah. Strategi mereka sederhana; kalian sudah menghajar kami, kami akan menghajar kalian!

Sampai saat ini, Israel masih percaya bahwa Palestina akan menyerah, jika Israel membunuh lebih banyak lagi. Tahun 2006-2007, Israel sudah membunuh 800 warga Palestina, 126 di antaranya anak-anak. Dan sejak tahun 2004, hanya 7 orang Israel yang tewas akibat roket yang diluncurkan dari Gaza.

Selama 20 tahun, Hamas menawari Israel untuk gencatan senjata, dengan syarat, Israel harus emnarik diri dari gaza dan Tepi Barat. Hamas juga bersikeras agar Israel membuka perbatasan dan melepaskan para anggota parlemen Hamas dari penjara. Israel jauh dari setuju akan tawaran ini. Mereka masih saja percaya, serangan brutal akan mengubah warga Palestina. Dan sekali lagi, untuk kesekian kalinya, Israel salah.

(Sa/PS)