Gede Sandra: Sri Mulyani, Menteri Terbaik Bagi Siapa?

Bila diukur selama 5 tahun terakhir data kemiskinan per 2013-2014 mencapai 28,2 juta (11,25%), turun juga  tetapi hanya 5,7%. Jadi saya tidak dapat melihat darimana angka 40% penurunan  kemiskinan yang dimaksud World Government Summit untuk keberhasilan SMI ini.

Lagipula, Dunia harus tahu bahwa standar kemiskinan Indonesia sangat rendah  (kurang dari US$ 1 perhari), setengah dari standar Dunia (kurang dari US$ 2 perhari).  Bila digunakan standar dunia, alhasil jumlah kemiskinan bisa meningkar 3-4 kali lipat  dari nilai sekarang.

Kemudian katanya SMI berhasil mengurangi ketimpangan pendapatan. Faktanya yang  terjadi adalah kebijakan austherity policy yang dilancarkan SMI kepada masyarakat  menengah ke bawah (pencabutan subsidi, penaikkan PNBP, pajak usaha kecil) telah  menghambat program berkeadilan yang dilancarkan Jokowi (seperti pembagian  sertifikat).

Memang ketimpangan turun, tapi hanya 0,03%. Pada era sebelum SMI,  Menkeu Bambang Brodjonegoro malah berhasil turunkan 0,2%, dari 0,41 ke 0,39. Seharusnya Bambang Brodjo yang dapat penghargaan. Angka 0,39 capaian SMI saat  ini, masih sangat jauh dari standar indeks Gini Ratio negara-negara Welfare State  yang sekitar 0,29. Jadi jelas teman-teman di World Government Summit telah  melakukan penilaian yang salah. Atau memang standar neoliberal terhadap  ketimpangan pendapatan sedangkal itu?

Selain itu mereka juga katakan SMI berhasil meningkatkan lapangan kerja. Ya  meningkat 2,6 juta (mayoritas disumbang oleh proyek infrastruktur Jokowi), tapi  struktur ketenaga kerjaan masih sangat timpang. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor informal, 69 juta orang (57%), masih lebih besar dari sektor formal 52 juta  (42,9%). Masih terdapat 7 juta penganggur, lapisan rakyat yang bahkan tidak terserap  sektor informal yang berkerja kurang dari 1 jam seminggu (wajarkah dengan standar  Dunia?).