M. Rizal Fadillah: ESEMKA dan EMKA

Emka kita sebut untuk MK. Mahkamah Konstitusi. Lembaga yang di samping menguji antara UU dan Konstitusi, sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik, juga memiliki kewenangan untuk mengadili Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Dominan kasus yang diadili adalah uji materiel UU dan Perselisihan Hasil Pemilu.

Untuk PHPU terhadap sengketa di tingkat daerah (Pilkada) telah banyak kasus diselesaikan. Pilpres pun selalu berujung di Mahkamah. Pilpres 2014 antara Capres Jokowi melawan Prabowo dengan keputusan menolak gugatan Capres Prabowo. Jokowi mulus melenggang jadi Presiden.

Kini pengulangan terjadi pada hasil Pemilu 2019. Dengan empat Hakim yang sama saat mengadili 2014, termasuk Anwar Usman yang saat ini menjadi Ketua. “Pertarungan” ulang antara Jokowi dan Prabowo dengan pasangan yang berbeda. Situasi proses Pilpres 2019 lebih hangat bahkan “panas”.

Keyakinan dukungan  lapangan Prabowo jauh lebih kuat, begitu juga dengan keyakinan angka kemenangan. Serangan kejanggalan, bahkan kecurangan, terhadap penyelenggara KPU lebih gencar sejak DPT, kotak suara kardus hingga quick count dan pengumuman dini tengah malam. Berujung insiden yang menewaskan dan mengindikasi pelanggaran HAM berat.

Gugatan siap diproses sidang pertama adalah hari ini 14 Juni. Mahkamah diuji integritas, kejujuran, transparansi serta pertanggungjawabannya kepada publik. Dan tentu saja Kepada Tuhan.

Masalahnya putusan yang bersifat final di tengah tingginya  perhatian dan harapan ini menjadi “touch stone” yang bisa menyelesaikan atau tidak. Apakah MK ini final seperti sifat putusannya atau hanya fase saja untuk proses politik lanjutan karena aspek integritas, kejujuran, dan pertanggungjawaban di atas dijalankan dengan baik ataukah bernuansa “bermain-main” dengan berlindung dibalik “tafsir-tafsir” kebenaran hukum. Hakim bisa menjadi sekedar “terompet undang-undang” ketimbang penegak keadilan, menggali nilai-nilai yang hidup, inovatif, progresif serta berkhidmat pada kepentingan bangsa dan negara. Ditunggu Hakim yang negarawan bukan politisi pragmatik.