Ormas Islam VS Partai Islam?

Sekarang ada yang tidak nyambung dan paradok dalam kehidupan politik dan dinamikanya. Terutama antara ormas-ormas Islam dengan partai-partai Islam atau partai berbasis massa Islam. Paradoknya adalah pilihan-pilihan politik yang dilakukan antara ormas-ormas Islam dengan partai-partai Islam atau partai berbasis massa Islam.

Faktanya, tidak seperti di tahun 1955, di mana antara ormas-ormas Islam dengan partai-partai Islam dan partai berbasis massa Islam, semuanya memiliki arah tujuan, misi, dan sasaran yang sama. Mereka berpadu dalam satu muara di dalam Partai Masyumi, dan bersepakat memperjuangkan Islam, sebagai dasar ideologi negara.

Mereka, terutama ormas-ormas Islam mempunyai sikap dan pendirian kokoh, memberikan dukungan kepada partai-partai Islam, ketika itu partai-partai Islam memperjuangkan Islam sebagai dasar ideologi negara. Tidak terpecah. Khususnya, menghadapi kaum nasionalis sekuler, seperti Partai PNI, PKI, Sosialis, Gerindra, dan partai-partai lainnya, yang mengusung Pancasila, yang ingin mereka perjuangkan di Konstituante (parlemen), sebagai dasar ideologi negara. Polarisasinya sangat jelas antara golongan Islam dengan nasionalis sekuler.

Ketika itu, ormas-ormas Islam yang lahir lebih awal, dibandingkan dengan partai-partai politik, benar-benar menjadi pilar bagi partai-partai politik. Para pengurus dan anggota ormas-ormas Islam lah yang kemudian mengisi partai-partai Islam itu. Mengapa ada Partai Masyumi? Partai ini tak lain adalah gabungan dari ormas-ormas Islam, yang mereka memiliki kesepahaman bersama, dan kemudian mendeklarasikan Partai Masyumi, 7 Nopember 1947 di Yogyakarta, yang kemudian dikenal dengan ‘Ikrar 7 Nopember’, dan mereka melalui wadah Partai Masyumi bergiat dilapangan politik, yang bertujuan ingin menegakkan prinsip-prinsip Islam, serta memperjuangkan kedaulatan negara Republik Indonesia dari segala bentuk penjajahah. Dan, para pimpinan ormas Islam, dalam ikrarnya itu, hanya menjadikan Partai Masyumi, sebagai satu-satunya wadah bagi umat Islam.

Perjuangan politik ormas-ormas Islam itu, terkanalisasi lewat partai politik Islam, seperti Masyumi, dan mereka dengan gigih, ingin menegakkan kedaulatan Indonesia, yang bebas dari pengaruh asing, dan menjadikan Islam sebagai dasar ideologi negara. Padahal, para pelopor dan pemimpin Partai Islam, seperti Masyumi itu, tak lain mereka adalah produk dari pendidikan sekolah Belanda, tapi mereka memiliki ‘ghirah’ yang sangat luar biasa menegakkan prinsip-prinsip Islam. Mereka juga memiliki semangat nasionalisme yang kuat, dan itu diwujudkan melalui perjuangan mereka di arena politik, seperti yang dilakukan oleh Mohammad Natsir, Mohamad Roem, Syafruddin Parawiranegara, Kasman Singodimedjo, Burhanuddin Harahap, Sukiman Wiryosandjojo, Isa Anshari, dan lainnya.

Sampai Presiden Soekarno membubarkan Partai Masyumi, di tahun 1960, dan partai itu, tentu akan diingat sebagai ‘vanguard’ (pelopor) dalam memperjuangkan tegaknya Islam, sebagai dasar negara. Meskipun perjuangan mereka gagal, karena tindakan Soekarno.

Di Era Reformasi

Sekarang, di era reformasi, dan sesudah berulangkalinya pergantian kekuasaan dan pemimpin, semakin tidak padunya antara ormas-ormas Islam dengan partai-partai Islam atau partai berbasis Islam. Cenang perenang. Penuh dengan berbagai paradok. Konflik selalu menyertai. Tidak adanya kesatuan tujuan, sikap, pandangan, pemikiran, cita-cita dan landasan perjuangan. Mereka berjalan sendiri-sendiri. Mengikuti alur tujuannya masing-masing. Tidak ada keinginan yang sungguh-sungguh bersatu dengan satu tujuan, yaitu menegakkan Islam, dan menjadikan Islam  sebagai prinsip (mabda’) dari cita-cita perjuangan mereka. Satu sama lainnya, bersaing secara tidak sehat, yang disertai dengan intrik dan terkadang berbau fitnah.

Mengapa kondisi ini dapat berlangsung dan mendominasi ormas-ormas Islam, atau khususnya partai-partai Islam serta berbasis massa Islam? Semuanya, tak lain karena, mereka memiliki tujuan (ghoyah) yang berbeda-beda, bukan lagi tujuan mereka untuk mengagungkan dan menjadikan Allah dan Rasul, serta Akhirat sebagai tujuan mereka, tapi mereka sudah berlomba-lomba ingin menjadikan kenikmatan dunia, dan dengan menggenggam kekuasaan sebagai tujuan akhir mereka. Wajar mereka tak dapat mengikatkan tali persatuan atau ukhuwah (al-Imran : 103). Karena hakekatnya eksistensi mereka bukan untuk menegakkan agama Allah (Islam), dan bahkan ada diantara mereka yang menjadikan agama dan umat sebagai ‘bido’ah’ (dagangan). Materi dan kenikmatan dunia tidak pernah menjadi tali pengikat. Tapi, faktanya mereka satu sama lain, berlomba-lomba memperebutkan kehidupan dunia, dan mengejar kekuasaan. Padahal, semestinya kekuasaan menjadi sarana menegakkah hisbah (amar ma’ruf nahi munkar), menuju ridha Allah Ta’ala.

Pilpres 2009, antara Ormas Islam Vs Partai Islam?

Tentu, di pilpres 2009 ini, ada sebuah fenomena yang amat getir. Di mana umat Islam terpolarisasi menjadi beberapa kutub. Pengkutuban ini mempunyai implikasi yang serius bagi masa depan umat Islam, dan ini tidak akan dapat diselesaikan dengan waktu. Setiap kali berlangsung hajatan politik nasional, selalu berimplikasi kepada terpecah belah umat Islam. Semuanya menjadi sempurna. Akibat dari polarisasi, yang semakin mengkristal, dan masing-masing ormas Islam dan partai Islam mempunyai atau menjadikan ‘tokoh-tokoh’ yang menjadi capres dan cawapres menjadi patron (panutan) mereka. Sepertinya, mereka sekarang ini berlomba-lomba (fastabiqul khairot?) untuk memenangkan dan memberikan garansi kepada masing-masing ‘tokoh’ yang akan berlomba di pilpres Juli nanti.

Sebenarnya, apa yang menjadi pengikat atau ikatan ormas Islam dan partai-partai Islam dengan pilihan dan dukungannya kepada ‘tokoh-tokoh’, yang akan berlomba nanti. Apakah berdasarkan nilai-nilai, prinsip-prinsip Islam, dan tujuan-tujuan kemaslahatan yang benar-benar berdasarkan Islam, atau hanya sekadar ingin mendapatkan bagian kekuaasaan? Setiap ormas Islam dan partai-partai Islam dan massa Islam mempunyai alasan-alasannya masing-masing. Tapi, alasan-alasan yang mereka tentukan dan tetapkan, terutama dalam menjatuhkan pilihan, harus dapat dipertanggungjawabkan, baik itu kepada umat, bahkan kelak di hadapan Allah Ta’ala.

Sebaliknya, bukan hanya kepandaian masing-masing untuk memberikan pembenaran atas pilihan yang mereka lakukan, dan kemudian di ‘embel-embeli’, dalil-dalil syar’i (kaidah syar’iyah), dan logika-logika politik, yang seakan-akan itu benar.

Sekarang, partai-partai Islam, seperti PKS, PAN, PPP, PKB, dan PBB, serta sejumlah tokoh Islam, seperti Amin Rais, memberikan dukungan dan garansi terhadap pasangan SBY-Boediono. Masih ditambah dukungan dari 23 partai politik lainnya. Umat ingin tahu. Apakah yang menjadi landasan dasar dan kaidah syar’i yang mengharuskan mereka memberikan dukungan politik kepada pasangan SBY-Boediono? Apakah dukungan partai-partai Islam itu, benar-benar dilandasi oleh prinsip-prinsip (mabda’) syar’i, serta kemaslahatan umat secara umum, atau hanya karena lebih didasarkan, karena SBY-Boediono, yang ‘incummbent’, mempunyai potensi dan peluang memperoleh kemenangan di pilpres nanti? Sehingga, partai-partai Islam dan berbasis massa Islam ini menjatuhkan pilihannya kepada pasangan SBY-Boediono.

SBY-Boediono, secara terbuka dan eksplisit, sudah mengemukakan, bahwa Pancasila dan UUD’45, sudah menjadi harga mati. Artinya, sikap SBY-Boediono ini, menempatkan Pancasilan dan UUD’45, yang hakekatnya menurut Amin Rais, sebagai ideologi ‘man made’, harus mutlak, diatas semua ideologi, dan dasar pandangan hidup yang dianut bangsa Indonesia. Ini implikasinya akan menjadikan agama Islam sebagai subordinasi ideologi negara.

Pandangan SBY-Boeodiono ini akan mengambalikan, posisi ideologi diatas semuanya keyakinan agama, seperti di zaman Orde Baru, dibawah kepemipinan Soeharto. Akankah terjadi kembali pemasungan terhadap eksistensi agama, seperti Islam, khususnya bagi umatnya, melakukan aktifitas dan mengekspresikan keyakinannya, termasuk penegakkan syariah? Pernyataan SBY-Boediono ini, parallel dengan pernyataan Ketua Fraksi PKS, Mahfud Siddiq, yang menegaskan bahwa Pancasila dan UUD’45, sebagai sebuah ideologi negara sudah final.

Dibagian lainnya, ormasi-ormas Islam, yang terdiri NU, Muhammadiyah, DDII, ICMI, FPI, dan FUI, dan sejumlah ormas, serta ulama lainnya, mereka memberikan dukungan kepada JK-Win. Mengapa ormas-ormas Islam, para ulama tidak memberikan dukungannya bersama partai-partai Islam memberikan dukungannya kepada pasangan SBY-Boediono? Adakah para pemimpin ormas Islam itu, mempunyai landasan yang benar berdasarkan kaidah syar’iyah dalam menjatuhkan pilihan dukungan kepada pasangan JK-Win? Atau hanya sekadar mereka tidak diperhitungkan oleh SBY-Boediono?

Memang, ada nuansa perbedaan yang mengkristal mengapa, kelompok ormas-ormas Islam ini memberikan dukungannya kepada JK-Win. NU, Muhammadiyah, ICMI, dan para ulama lainnya, merasa bahwa pasangan JK-Win mereka nilai dapat menjadi kanalisasi bagi kepentingan umat. Pasangan ini belum terkena ‘cap’ sebagai bagian dari kepentingan asing, yang disebut sebagai kelompok neo-lib.

Hari-hari ini, masih terjadi perdebatan tentang posisi SBY-Boediono, yang dinilai sebagai sosok, yang lebih pro kepada kepentingan Barat, dan bukan hanya visi kebijakannya dibidang ekonomi, tapi yang paling nyata, pasangan ini di ‘inner circlenya’, tak lain adalah orang-orang yang berbau JIL (Jaringan Islam Liberal), kelompok ‘American boys’, seperti ‘Mallarangeng Bersaudara’, yang sekarang menakhodai Freedom Institute, dan Fox Indonesia, serta Indonesian Reseach yang menjadi tulang punggung gerakan mensukseskan pemenangan pasangan SBY-Boediono.

Tentu, umat Islam yang direpresentasikan oleh ormas-ormas Islam, mempunyai kekawatiran atas implikasi ‘duet’ SBY-JK ini, khususnya bagi masa depan gerakan Islam. Karena, seperti peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, kasus Ahmadiyah, dan penanganan terorisme, yang semuanya, tidak akan dapat dilupakan. Apalagi, kebijakan politik luar negeri AS, dibawah Barack Obama, tak banyak berbeda dengan pendahulunya, George Walker Bush, yang menghancurkan umat Islam, di mana-mana, dan sekarang Obama, mengarahkan kekuatan militer ke Afghanistan dan Pakistan.

Habib Mohmmad Riziq, yang baru keluar dari penjara,akibat peristiwa silang Monas, yang lalu, secara tegas bersama dengan ulama dan habaib, FPI memberikan dukungan kepada pasangan JK-Win. Seperti dalam maklumatnya, FPI, yang ditandatangani Habib Riziq Shihab, menegaskan, ‘Setelah bertemu beberapa kali antara FPI-JK, maka DPP-FPI, dan mendengarkan visi dan misi JK, maka DPP FPI, mendukung pasangan JK-Win dalam pilpres 2009, dengan amanat jaminan kebebasan menjalankan kibadah/syariah bagi setiap umat bergama, dan pelarangan segala bentuk penistaan terhdap agama apapun’.

Siapa yang benar diantara para pemimpin umat ini, pemimpin yang ada di ormas-ormas Islam atau di partai-partai Islam, yang telah melakukan ijtihad dan kontrak politik serta dukungan kepada masing-masing tokoh  itu?

Apakah landasan mereka hanya semata-mata kekuasaan, atau memang dilandasi oleh rasa takutnya kepada Allah Ta’ala, khususnya ketika menentukan pilihannya itu.

Akhirnya, siapa yang berhak mendapatkan dukungan dari umat ini, apakah tokoh yang didukung oleh partai-partai Islam, atau tokoh yang didukung oleh ormas Islam?

Dan, siapa diantara mereka yang dapat dipercaya, dan melaksanakan janjinya, serta melindungi kepentingan umat? Waktu yang akan membuktikannya. Siapa mereka yang sebenarnya? Waktu juga yang akan menentukannya. Wallahu’alam. (m)