Suara Dari Kampus Perjuangan UI Depok: Enough Is Enough, Jokowi!

Penyalahgunaan keuangan negara tak tanggung-tanggung, sudah ratusan triliun dikorupsi yang motornya adalah PDIP. PDIP yang menjadi tulang punggung kekuasaan rezim despotik Jokowi berada di pusat korupsi dengan Megawati sebagai aktor intelektual utamanya. Kader-kader PDIP sudah ratusan yang ditangkap karena korupsi. Puncaknya, mega skandal korupsi super biadab Bansos yang ditujukan untuk membantu korban pandemi virus Cina. Alangkah biadabnya Mensos Juliari Batubara, seorang kader PDIP, yang tega berbuat demikian. Juliari pantas dihukum mati.

KPK yang merupakan lembaga produk kebanggaan reformasi untuk memberantas korupsi dirusak dan dimatikan secara biadab oleh rezim despotik Jokowi agar kekuatan oligarki leluasa bisa menggarong uang rakyat. PDIP yang korup dan sekutunya tak rela bila KPK bekerja dengan benar. Karena kalau KPK bekerja dengan benar, maka kader-kader PDIP tak akan ada yang tersisa, karena mereka semua adalah pelaku korupsi. Pokoknya KPK harus dimatikan.

Penghilangan Harun Masiku adalah kunci dari semua kebusukan Jokowi, Megawati dan PDIP. Kuat dugaan dalam kasus korupsi Harun Masiku, PDIP sebagai lembaga terlibat. Itu sebabnya harus dihilangkan. Bila tidak, maka akan membawa bencana yang bisa menyeret Megawati sebagai titik episentrum korupsi. Tidak cuma itu, PDIP bisa dibubarkan bila terbukti ada dana korupsi yang mengalir ke kas partai. Dalam skandal mega korupsi lainnya, seperti Bansos, Asabri dan lain-lainnya, PDIP disebut-sebut mendapat jatah korupsi.

Rezim despotik Jokowi selalu mengklaim kerja, kerja, kerja dengan pencitraan baju putih digulung selengan dan blusukan ke mana-mana. Tetapi itu hanya penipuan murahan karena hampir semua BUMN merugi. Rugi karena dua hal. Pertama, karena salah kelola akibat rezim despotik Jokowi tidak bisa bekerja, dan kedua, karena memang BUMN dijadikan sapi perah lahan korupsi oleh semua partai politik pendukung rezim despotik Jokowi.

Di samping korupsi yang merajalela selama rezim despotik Jokowi berkuasa, nepotisme juga mencapai puncaknya secara fantastis. Bagaimana mungkin BUMN bisa untung bila para komisarisnya diangkat dari para buzzer dan relawan bodoh yang tidak punya kemampuan dan hanya bisa caci-maki di medsos? Sebut saja Dede Budiarto, Kartika Djumadi, Ulin Niam, dan terakhir Abdi Slank. Apa kemampuan manusia-manusia super bodoh ini kecuali hanya menyebarkan fitnah kepada sesama anak bangsa, menyulut perpecahan, melakukan intimidasi biadab, dan semua hal yang merusak persatuan bangsa?

Seandainya rezim despotik Jokowi bekerja dengan benar dan memang punya kemampuan untuk bekerja, tak mungkin neraca APBN defisit terus sehingga harus melacurkan diri ke lembaga keuangan internasional untuk mencari pinjaman. Menkeu Sri Mulyani hanya bisa menaikkan pajak yang mencekik dan mengisap darah rakyat. Ketidakmampuan Sri Mulyani hanya puncak dari gunung es yang segera akan meledak. Akibat kebodohan ini rezim despotik Jokowi sudah menambah hutang yang jumlahnya fantastis. Di akhir pemerintahannya ditaksir utang negara akan mencapai 10.000 triliun !!!

Apa artinya? Bahwa setiap bayi yang lahir di bumi pertiwi sudah mendapatkan hutang sekian juta rupiah yang ditinggalkan rezim despotik Jokowi yang nirprestasi ini.

Puncak dari kegagalan, kebusukan dan kebiadaban rezim despotik Jokowi adalah rusaknya demokrasi. Hukum dilanggar, lembaga-lembaga hukum disalahgunakan, lembaga yang potensial jadi kendala seperti KPK dimatikan, dan rusaknya ruang publik karena mencuatnya perpecahan sesama anak bangsa akibat fitnah dan provokasi buzzer piaraan rezim di bawah asuhan Muldoko si Kakak Pembina. Para buzzer sengaja dipelihara oleh rezim despotik Jokowi untuk memuji dan menjilat rezim nirprestasi ini, melakukan provokasi dan intimidasi kepada anak bangsa yang berbeda pandangan politik, dan sebagai alat pengalih perhatian karena kegagalan rezim despotik Jokowi dalam memimpin negara.